Berita Denpasar
Saat Berlangsungnya Kerauhan Ida Bhatara Serangkaian Tradisi Pangrebongan Akan Terapkan Prokes Ketat
Untuk itu, pemedek atau krama adat akan dibagi kedatangannya. Sehingga tidak berkerumun, sesuai dengan prokes imbauan jaga jarak
Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali, A A Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Tradisi pangrebongan akhirnya kembali diadakan, setelah dua kali ngubeng atau ditiadakan.
Hal ini disampaikan Bendesa Adat Kesiman, I Ketut Wisna.
“Pangrebongan akan dilangsungkan tanggal 2 Mei 2021,” jelasnya kepada Tribun Bali, Selasa 27 April 2021.
Lanjutnya, diharapkan agar di parahyangan berjalan lancar.
Baca juga: Tradisi Pangrebongan di Desa Adat Kesiman Denpasar, Digelar Demi Tercapai Keseimbangan
Sedangkan di pawongan, akan sangat memerhatikan protokol kesehatan (prokes) dengan ketat.
Untuk itu, pemedek atau krama adat akan dibagi kedatangannya. Sehingga tidak berkerumun, sesuai dengan prokes imbauan jaga jarak.
“Pamedek atau krama adat, akan dibagi dari pagi untuk persembahyangan. Dimana akan dimulai pada pukul 09.00,” sebutnya.
Kemudian akan ada hampir setiap jam, banjar yang berbeda-beda sebab di Desa Adat Kesiman ada 31 banjar yang berbeda.
“Maka akan ada yang khusus sembahyang, juga tidak banyak yang datang untuk mewakili banjarnya,” tegas Wisna. Serta sudah dibagi dari pagi pukul 09.00 sampai pukul 10.00. Kemudian pukul 11.00 berbeda lagi.
“Jadi nanti bergantian dari krama adat di Kesiman Petilan ada 9 banjar. Kemudian ada dari jam 11-12 itu dari Kesiman Kertalangu ada 9 banjar juga. Lalu ada dari Kesiman Kelurahan sejak jam 1 sampai jam 2,” imbuhnya.
Untuk proses pangrebongan akan berjalan seperti biasa.
Hanya saja, dari yang akan bertugas itu ataupun area arena ngerebong atau di wantilan akan diperluas. Serta tidak ada aktivitas lain di daerah sana. Seperti dagang dan kegiatan lain akan dikosongkan untuk kali ini. Sehingga acara mider buana tidak berdesakan seperti sebelumnya.
Mider buana adalah bagian dari ngerebong.
I Wayan Turun, Warga Banjar Kedaton, Desa Adat Kesiman, Denpasar menjelaskan mider buana biasanya dengan barong dan rangda.
Baca juga: Ini Kisah Dibalik Tradisi Pangrebongan di Desa Adat Kesiman Denpasar
Kemudian setelah ngerebong, adalah ngerebeg dengan membawa tumbak-tumbak. Biasanya berpakaian poleng.
“Saya juga ikut di sana saat ngerebong nanti, lalu di depan saya ada namanya Mangku Gumi,” sebut tetua desa ini.
Mider dilakukan sebanyak tiga kali, baru setelah itu nyimpen ke tengah pura.
Setelah itu ada prosesi selanjutnya. Lalu setelah malejar baru ngunying. Tempatnya di Pura Agung Petilan Pangrebongan.
“Petilan dalam kamus Jawa Kuna berarti rakyat atau hamba. Tilan dalam Jawa Kuna adalah rakyat, maka Petilan adalah kumpulan rakyat. Atau rakyat Kesiman dan sekitarnya berada di sana,” jelasnya.
Ia menegaskan pula, kerauhan hingga ngunying atau ngurek saat ngerebong itu, memang adalah kehadiran ida bhatara ke dalam tubuh umat yang dipilih beliau.
“Sejak dahulu memang, orang yang ngerebong membawa keris,” katanya.
Bahkan ada yang berada di luar pura, jika memang dipilih maka ia harus diajak ke dalam area ngerebong.
Siapapun itu, biasanya yang terpilih akan kerauhan. Terkadang pecalang yang kerauhan, itu artinya ia harus ikut ngerebong.
“Bhatara yang memilih umatnya, lalu yang terpilih ini diajak ke tengah ikut ngerebong. Ada yang ngunying, ada lanang ada istri memang pilihan ida bhatara. Istilahnya terkena ketelan ida dan kerauhan serta tidak sadar,” ujarnya.
Baca juga: Cerita Batu Perahu, Saksi Bisu Kisah Kedatangan Ratu Gede Mas Mecaling dari Nusa Penida ke Kesiman
Uniknya, seseorang yang kerauhan terkadang merasa dadanya membesar saat dada itu akan ditusuk keris.
Ia merasa badannya menebal seperti ada perisai yang melindunginya secara niskala. Inilah yang disebut keagungan dewata dalam kehidupan beragama Hindu di Bali. Sehingga saat umat itu menusuk keris atau ngurek, badannya tidak terluka.
Bahkan terkadang bukan hanya di dada, ada yang ngurek juga di ulu hati, leher, hingga ke matanya.
Namun hingga saat ini semuanya selamat, karena memang itu adalah karunia ida bhatara-bhatari yang berada di sana.
Kemudian setelah para umat menghaturkan ayah ini, mereka juga merasa senang. Bahkan yang tidak dapat menghaturkan ayah, akan merasa ada yang bergetar di dadanya.
Setelah itu umat akan diberikan tirta, dan ia sadar serta senang setelah menghaturkan ayah.
“Tidak hanya pemangku saja, siapapun yang diketel oleh ida bhatara pasti akan ikut ngerebong,” katanya.
Tujuan ngerebong ini, kata dia, adalah memang untuk pembersihan jagat.
Dahulu dipercaya agar jagat Kesiman aman, damai, sentosa, dan tidak grubug atau terhindar dari malapetaka.
“Ngerebo desa ini sesuai dengan isi dari prasasti Meranggi,” imbuhnya.
Awalnya bernama ngerebo desa, lama-lama namanya menjadi ngerebong lalu pangrebongan. Yang intinya adalah ida bhatara mider buana ke kiri.
“Dua kali memang tidak dilaksanakan karena pandemi, namun sekarang akan kembali dilakukan. Tentunya dengan protokol kesehatan yang ketat,” ucapnya.
Hal ini sudah melalui rapat desa adat. Ia mengatakan, terkadang pemangku juga kerauhan di rumahnya sebab ida bhatara tedun.
Mangku kerauhan dan meminta agar ngerebong dilakukan lagi. Sebab walaupun kemarin ngubeng, tetap saja ada yang kerauhan.
Beruntungnya, sejak dahulu dilakukannya ngerebong, masyarakat Kesiman aman sejahtera hingga saat ini.
Ngerebong juga sudah diakui sebagai warisan budaya non benda di Indonesia, dan sudah dimulai sejak abad ke-16 hingga saat ini. (*)
Artikel lainnya di Berita Denpasar