Berita Buleleng

Diduga Gelar Kegiatan Menyimpang dari Dresta Hindu Bali, Ashram di Desa Alasangker Buleleng Ditutup

Penutupan ini dilakukan lantaran pihaknya merasa kegiatan agama yang dilakukan di Ashram tersebut menyimpang dari dresta Hindu Bali

Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/Putu Supartika
Ilustrasi - aksi Tolak Hare Krisna di depan Monumen Bajra Sandhi 

TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA – Salah satu Ashram yang terletak di Desa Alasangaker, Kecamatan/Kabupaten Buleleng, Bali, ditutup aktivitasnya oleh prajuru desa adat, dan kepala desa setempat, Rabu 28 April 2021.

Penutupan ini dilakukan lantaran pihaknya merasa kegiatan agama yang dilakukan di Ashram tersebut menyimpang dari dresta Hindu Bali.

Perbekel Desa Alasangaker, Wayan Sitama mengatakan, saat melakukan penutupan, pihaknya sempat bertemu dengan pengurus ashram tersebut.

Bahkan penutupan ini juga dihadiri oleh Majelis Desa Adat (MDA) Buleleng dan PHDI Buleleng.

Baca juga: Terkait Penutupan Ashram di Padang Galak, MDA Bali Mendukung Sikap Desa Adat Kesiman

Sebelum melakukan penutupan, Sitama mengaku sempat memberikan pemahaman kepada pengurus ashram tersebut, bahwasanya sebagian masyarakat Bali saat ini cukup sensitif dengan adanya  kegiatan sampradaya non dresta Hindu Bali.

"Kami bertemu dengan pengurusnya baik-baik. Saya sampaikan kepada pengurusnya bahwa kami menjaga situasi di desa ini biar aman.

Jangan sampai nanti ada kelompok masyarakat dari luar desa datang ke desa kami, marah-marah karena adanya ashram ini.

 Saya sebagai orangtua di desa mengambil sikap persuasif agar jangan sampai terjadi keributan. 

Akhirnya MDA, PHDI dan Kelian Desa Adat sepakat untuk menutup aktivitas di ashram tersebut," katanya.

Pasca diputuskan untuk menutup ashram tersebut, pengurusnya kata Sitama sempat meminta waktu untuk berkoordinasi terlebih dahulu dengan anggota lainnya.

Namun demikian, Sitama menyebut, pihaknya tetap tegas meminta agar ashram yang mulai beroperasi sejak tiga tahun belakangan itu ditutup, mulai Rabu 28 April 2021.

"Kami nanti akan memasang spanduk berisi informasi jika ashram tersebut telah ditutup.

Kami juga akan membuatkan surat pernyataan yang nantinya ditandatangani oleh pengurus ashram tersebut, kelian adat, MDA, PHDI dan saya sendiri," jelasnya.

Sitama pun tidak memungkiri, saat ashram tersebut hendak didirikan, sekitar tahun 2013-2014 pengurusnya sempat datang  memohon izin, sembari membawa surat izin yang diterbitkan oleh Kementerian Agama, Pemprov Bali hingga Klian Desa Adat Alasangker.

Baca juga: Gubernur, Kapolda, Danrem dan MDA Bali Teken Nota Kesepakatan Sistem Pengamanan Berbasis Desa Adat

Berdasarkan dari surat-surat itu lah, Sitama akhirnya mengizinkan ashram itu dibangun di wilayahnya.

"Kalau saya sendiri yang tidak menyetujui, kan tidak enak. Zaman itu penganut hare krishna di Bali juga kan sudah biasa. Namun satu tahun belakangan ini keberadaanya mulai ditolak.

 Ashram itu akhirnya  dibangun tiga tahun lalu di wilayah Alasangker lantaran pemilik tanahnya menikah dengan seorang pria asal Tabanan yang mengikuti aliran Hare Khrisna," terangnya.

Sepengetahuan Sitama, jumlah anggota yang ada di ashram tersebut sebanyak 24 orang, yang terdiri dari 9 kepala keluarga, asal Pupuan Tabanan, Desa Sambangan Kecamatan Sukasada, dan Kelurahan Banyuning Kecamatan Buleleng.

 "Aktivitas yang selama ini dilakukan di ashram tersebut berupa kegiatan agama sesuai kepercayaan mereka, pernikahan, kadang sebulan sekali anggotanya juga melakukan pertemuan di ashram tersebut," tutupnya.

Sampradaya Non Dresta Hindu Bali Telah Meresahkan Masyarakat

Sebelumnya diberitakan Tribun Bali, Ida Pangelingsir Agung Putra Sukahet selaku Ketua MDA Bali dalam rilisnya mengatakan bahwa Hindu secara global adalah sangat majemuk, ada Hindu India, ada Hindu Nusantara (Indonesia) yang juga disebut Hindu Dharma, juga ada macam corak Hindu lainnya di berbagai negara

Lanjutnya, di Negara India, Hindu itu sangat majemuk, dan ada ratusan sampradaya di India. Dimana satu dengan yang lain berbeda, bahkan banyak yang  sangat berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Sedangkan Hindu Nusantara juga majemuk.

"Ada Hindu Bali (Hindu Dresta Bali), Hindu Jawa, Hindu Tengger, Hindu Sunda, Hindu Toraja, Hindu Kaharingan dan lain sebagainya," ucapnya.

Namun kemajemukan Hindu Nusantara ada benang merahnya, yakni perjalanan sejarah, menyebabkan banyak kesamaannya dan sedikit perbedaannya.

Baca juga: MDA Bali Telah Terbitkan Surat Pengakuan Prajuru untuk 1.400 Desa Adat

Perbedaan di dalam Hindu Nusantara, hanyalah pada tradisinya saja, tidak terletak pada  keyakinannya.

"Semuanya menganut Panca Sradha, semuanya menganut Panca Yadnya, sistem teologinya juga sama," katanya. Kitab suci Weda yang dipakai pegangan juga sama, termasuk berpegang pada Atmanastuti.

"Hindu, khususnya Hindu Bali yang merupakan bagian dari Hindu Nusantara yang sangat menghormati dan  sangat menerima adanya perbedaan antar keyakinan, terlebih kalau hanya sekedar perbedaan tradisi," katanya.

Krama Bali, kata dia, umat Hindu Bali (Hindu Dresta Bali) bukanlah anti orang asing. Serta bukanlah anti budaya asing bahkan juga terbukti dalam sejarahnya telah beralkulturasi dengan asing dan budaya asing.

Namun, ditegaskannya, Hindu Bali tidak pernah mentolelir usaha-usaha penyebaran keyakinan yang sangat berbeda di tengah-tengah masyarakat yang sudah beragama. Terlebih kalau disertai dengan pendiskreditan agama masyarakat setempat dengan cara-cara memanipulasi ajaran-ajaran luhurnya.

Misalnya, Hindu India kalau sengaja disebarkan di tengah tengah umat yang sudah beragama, dengan keyakinan yang berbeda dalam hal ini adalah di Indonesia. Atau sebaliknya jika Hindu Bali atau Hindu Nusantara sengaja disebarkan di tengah-tengah umat beragama, yang dengan keyakinan berbeda, misalnya sengaja disebarkan di India, maka itu menjadi tindakan  sangat buruk jauh dari keluhuran dan kemuliaan agama.

Sebab Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945 dan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah perjanjian bangsa yang menjadi dasar utama terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Daerah-daerah, kerajaan-kerajaan, suku suku bangsa dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Rote dengan segenap tumpah darahnya (agamanya, adat istiadatnya, suku bangsanya, budayanya, bahasanya), berjanji mendukung sepenuhnya NKRI.

Di sisi lain, NKRI mengayomi, melindungi semua daerah , semua kerajaan, semua suku bangsa beserta segenap tumpah darahnya.

"Hal itulah yang menegaskan 4 ( empat) konsensus dasar bernegara tersebut, adalah harga mati dan tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun dan oleh pihak manapun juga," tegasnya.

Atas dasar perjanjian bangsa itulah maka agama, adat istiadat, budaya asli daerah, dan bahasa daerah adalah otonom, diayomi dan dilindungi oleh Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa adat identik dengan Bali sebagai salah satu pembentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa adat adalah lembaga sosial religius yang ada di Bali sejak lebih dari seribu tahun lampau, adalah kesatuan masyarakat hukum adat di Bali yang memiliki wilayah, kedudukan, susunan asli, hak hak tradisional, harta kekayaan sendiri, tradisi, tata krama pergaulan hidup masyarakat secara turun temurun dalam ikatan tempat suci.

Seperti Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa, serta tugas dan kewenangan serta hak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Berbicara tentang desa adat berarti berbicara tentang Agama Hindu Bali (Agama Hindu Dresta Bali ), krama Bali, adat Bali dan budaya Bali.

"Desa adat selama sejarah NKRI telah membuktikan mempunyai kedudukan dan peran yang sangat penting karena kontribusinya di dalam setiap aspek pembangunan bangsa dan negara di Bali," katanya.

Setiap program pembangunan pemerintah, khususnya yang membutuhkan peran serta masyarakat Bali secara luas maka pastilah desa adat berperan dan diperankan.

"Bahwa ditolaknya keberadaan aliran Hare Krishna (ISKCON) dan sampradaya asing lainnya di Bali , sebenarnya bukanlah karena perbedaan keyakinan yang dianutnya semata, tetapi lebih karena telah menimbulkan keresahan, serta mengganggu ketenangan, kedamaian yang luas di Bali dan di seluruh nusantara.

"Karena Hare Krishna ( ISKCON) dan sampradaya asing lainnya telah melakukan sikap dan tindakan yang buruk yang sangat bertentangan dengan Pancasila dan Nilai Nilai Bhinneka Tunggal Ika," tegasnya.

Diantaranya, telah melakukan upaya yang masif dan strategis menyebarkan keyakinan dan cara beragama mereka yang sangat berbeda di tengah-tengah masyarakat umat Hindu Bali (Hindu Dresta Bali) dan Hindu Nusantara lainnya.

Kemudian sangat sering melalui tokoh-tokoh mereka telah mendiskreditkan tatacara keagamaan Hindu Dresta Bali, keyakinan Hindu Bali, juga upacara keagamaan Hindu Dresta Bali.

"Telah sering melalui tokoh-tokoh mereka mendiskreditkan pula adat istiadat Bali dan desa adat di Bali," katanya.

Telah melaksanakan tindakan yang sangat tercela, dengan memanipulasi ajaran-ajaran luhur nan mulia Hindu Bali dan Hindu Nusantara dengan telah menerbitkan dan menyebarluaskan buku buku hasil manipulasi tersebut," katanya.

“Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa penyebaran yang strategis dan masif aliran Hare Krishna (ISKCON) dan sampradaya asing lainnya adalah mempunyai niat tercela untuk menggantikan Hindu Bali (Hindu Dresta Bali) di Bali, serta menggantikan berbagai tradisi Hindu Nusantara di Indonesia," tegasnya.

Itu berarti telah menusuk kepada nilai inti yang terdalam, yaitu bermaksud dengan cepat atau lambat meniadakan Hindu Bali, adat istiadat Bali, budaya Bali dan desa adat di Bali, menggantikan dengan tatacara keagamaan, adat, dan budaya asing miliknya.

Surat Keputusan Bersama Parisada Hindu Dharma Provinsi Bali dan Majelis Desa Adat Provinsi Bali Nomer : 106/ PHDI- Bali/XII/2020 dan Nomer : 07/SK/MDA- Prov Bali/XII/2020 memang sebatas pada pembatasan kegiatan pengembangan ajaran sampradaya Non-Dresta Bali di Bali.

"Namun patut sangat dipahami bahwa setiap desa adat di Bali mempunyai hak otonom untuk menjaga, melindungi, mengatur di wilayah hukum adatnya, kerukunan, ketenangan, ketertiban dan kedamaian wilayahnya, karena atas kontribusi Desa Adat yang demikianlah maka Bali dikenal luas sebagai daerah yang rukun, toleran, tertib, aman dan damai," sebutnya.

Desa Adat , hak-hak, kewenangan tradisinya diayomi dan dilindungi oleh Pancasila, Nilai Nilai Bhineka Tunggal Ika, UUD 1945, perundang undangan di bawahnya sampai dengan Peraturan Daerah No.4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.(*)

Artikel lainnya di Berita Bali

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved