Berita Bali

Terkait Persepsi Wewidangan Desa Adat dan Fungsinya, Ini Penjelasan Pihak MDA Bali

Pemahaman yang rancu, antara hak milik dengan wewidangan. Seolah-olah wewidangan desa adat adalah yang menjadi milik desa adat saja

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
Tribun Bali/Putu Supartika
ilustrasi Kantor Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali - Terkait Persepsi Wewidangan Desa Adat dan Fungsinya, Ini Penjelasan MDA Bali 

Pengakuan otonomi desa adat ini kemudian turun ke perundangan undangan sampai Perda No.4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat di Bali.

 "Hak otonom di dalam wilayah negara dimanapun, di dunia ini selalu ada dan diakui," katanya.

Mulai dari keluarga atau rumah tangga, desa, kelurahan, banjar, desa adat, kecamatan, kabupaten atau kota, provinsi, instansi dan seterusnya.

"Sepanjang mereka punya wilayah, wilayah itu apakah merupakan hak milik atau merupakan wilayah admisnistratif baik dinas maupun adat," imbuhnya.

Misalnya di sebuah pekarangan rumah tangga, maka keluarga tersebut boleh membuat peraturan, tata tertib berkunjung, bagi yang ingin menumpang ke pekarangan rumah tangga mereka.

"Bahkan  rumah tangga atau keluarga itu, berhak mengusir seseorang yang bukan keluarganya dari pekarangannya," katanya.

Hak otonomi desa adat ini meliputi,  mengurus, mengatur, membina di wilayahnya atau wewidangannya.

Masalah-masalah seperti dijelaskan di atas mencakup parahyangan, pawongan, dan palemahan ( jadi mencakup semua aspek kehidupan di desa adat) : Sukreta Tata Parahyangan, Sukreta Tata Pawongan, dan Sukreta Tata Palemahan untuk tujuan kasukretaan wewidangan desa adat, untuk Bali yang Suka Sukreta Santhi Jagadhita.

Abdi Negara menjelaskan, dalam video yang beredar luas tersebut, juga nampak kebingungan, soal mengapa desa adat menutup ashram yang sudah dirasa sangat meresahkan masyarakat,  mengganggu ketertiban, kedamaian, keharmonisan, kerukunan dan sangat melanggar etika antar keyakinan yang sangat berbeda.

"Video itu salah persepsi, masih bingung seolah desa adat menutup ashram sampradaya asing adalah karena perbedaan keyakinan semata," tegasnya.

Alasan desa adat menutup ashram sampradaya asing non dresta Bali, kata dia, bukanlah karena perbedaan keyakinan yang sangat berbeda semata.

Baca juga: Desa Adat Disebut Tidak Langgar Hukum Tutup Ashram ISKCON, Begini Penjelasan Ketua MDA Bali

"Karena  Islam, Kristen, Katolik, Buddha, Khonghucu juga sangat berbeda dengan Hindu Bali atau Hindu dresta Bali, tetapi penganut Islam, Kristen, Katolik  , Buddha, Khonghucu hidup damai, harmonis dan rukun di tengah tengah wewidangan desa adat, karena memegang teguh etika pergaulan antar agama dengan keyakinan yang berbeda," katanya.

Ia memaparkan, alasan desa adat menutup ashram sampradaya asing yang non dresta Bali itu karena sampradaya asing tersebut telah secara sistematis, terstruktur dan masif menyebarkan keyakinan mereka yang sangat berbeda itu di tengah tengah umat yang sudah beragama, dalam hal ini di tengah tengah umat Hindu Bali atau di tengah-tengah desa adat.

"Mereka, sampradaya asing tersebut telah menjelek-jelekkan Agama Hindu Bali (Hindu dresta Bali), terutama ritualnya, adatnya, budayanya dan juga desa adat tidak lepas ikut dijelek-jelekkan dengan berbagai cara dan metode," katanya.

Sampradaya asing ini, juga telah melakukan manipulasi, penipuan terhadap ajaran-ajaran Hindu Bali dan Hindu Nusantara yang luhur, dengan menerbitkan dan menyebarkan buku buku hasil manipulasi itu yang tentunya sangat menyesatkan.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved