KISAH Perjuangan Irma Kasri di Jerman, Kirim 400 Lamaran Hingga Masuk Perusahaan Software Top Dunia
Walaupun harus menulis 400 lamaran, Irma memetik berbagai pelajaran berguna dari proses itu.
Menulis 120 lamaran sudah standar
Dalam proses mencari pekerjaan baru, Irma menulis lamaran sangat banyak. Dia memperhitungkan, apa yang harus ditulis dalam lamaran, mengingat dia berkuliah S2 jurusan bisnis, tetapi pengalaman kerjanya beragam.
Itu juga memengaruhi pemilihan perusahaan yang akan dia lamar. Dia membuat lamaran 10 buah per minggu.
Tetapi mengingat ketika bekerja di bagian human resource dia juga mengurus lamaran orang-orang yang berminat untuk magang, dia kira-kira bisa mengetahui pelamar mana yang dipilih.
Untuk setiap lamaran orang harus mengadakan riset. Sebaiknya bagaimana membuatnya? Pekerjaannya di bidang apa? Sekarang juga ada jejaring seperti LinkedIn, di mana orang bisa melihat siapa orangnya, sehingga lamaran harus diformulasikan dengan baik.
Ketika itu dia mendapat dua panggilan dua kali di Swiss, tapi tidak jadi karena masalah visa.
Akhirnya Irma mengikuti seminar di Arbeitsamt, atau badan tenaga kerja Jerman. Di sana dia mendapat informasi, standarnya, setelah orang membuat lamaran 120 buah, dalm jangka waktu enam bulan, baru diterima di suatu perusahaan.
Ketika bergumul soal lamaran, banyak pikiran bermunculan di benaknya. “Apa karena gua pake foto, ya? Apa karena gua pakai kerudung? Karena itu engga ada yang mau terima? Udah gitu, bahasa Jermannya engga bagus.”
Mungkin ada sekitar 400 lamaran yang ia tulis ketika itu. Tapi yang penting bagi dia, pokoknya mendapat pekerjaan.
“Karena rasanya seperti anti klimaks. Selama kuliah bekerja, tetapi setelah kuliah tidak mendapat pekerjaan.”
Yang jelas dia belajar beberapa hal bagus ketika itu. Antara lain harus sabar walaupun banyak tantangan. Selain itu, dia belajar bahwa di Jerman banyak sekali perusahaan kecil, yang walaupun kecil tetapi nomor satu di dunia.
Seperti perusahaan penyedia oksigen di kota Kiel, juga berbagai perusahaan yang memproduksi alat kesehatan. Dan mereka juga berlokasi di kota-kota kecil di Jerman.
Jadi, kalau menengok kembali sekarang, Irma merasa, masa itu bukan masa yang buruk.
Akhirnya kembali ke perusahaan sama
Akhirnya, Irma mendapat posisi di SAP lagi. Dan bidangnya kembali menyangkut dengan akuntansi tepatnya controlling.
Ketika itu, mereka butuh orang yang bisa masuk dalam waktu singkat, yaitu untuk menggantikan pegawai yang cuti hamil. Setelah pekerjaan itu selesai, ia mendapat pekerjaan menggantikan staf lain lagi yang juga cuti hamil.
Selama itu, Irma berpikir, berpindah-pindah bagian tidak menguntungkan dirinya yang sedang mencari pekerjaan tetap. Tetapi setelah berbicara dengan bagian manajemen, dia mendapat informasi bahwa itu adalah sesuatu yang menguntungkan, karena dia membawa pengetahuan dari berbagai bidang.
Seperti halnya juga, walaupun harus menulis 400 lamaran, dia memetik berbagai pelajaran berguna dari proses itu.
“Engga hanya result-nya tapi prosesnya yang penting,” begitu kesimpulan yang diambil Irma.
Di SAP jabatan Irma adalah Business Development Senior Specialist, dan timnya bernama: Demand Management Office”.
Pekerjaannya adalah mengurus proses di tahap awal sebelum proses sales sebuah produk.
Ia menjelaskan, dari bulan Januari hingga Juni dia banyak mengurus apa yang disebut account planning management jadi program agar orang-orang bagian sales bisa membuat planning sendiri untuk menjual produk SAP ke perusahaan tertentu, dan timnya juga menetapkan jumlah target hasil penjualan yang ingin dicapai.
Jadi tim di mana Irma bekerja mengorganisir program untuk penjualan, memonitor pencatatan hasil yang tercapai, menyediakan sumber-sumber untuk kolaborasi antara berbagai stakeholders yang bisa berada di berbaga negara.
Sebaliknya, paruh kedua setiap tahun adalah masa untuk memformulasikan strategi untuk perencanaan tahun berikutnya, termasuk riset untuk menentukan ke manakah produk sebaiknya dijual.
Perbedaan kebudayaan jelas jadi tantangan
Tantangan yang jelas di tempat kerja di Jerman, tentu culture difference. Tapi itu juga sudah dirasakan Irma ketika bekerja di Tanah Air, mengingat koleganya berasal dari berbagai daerah lain di Indonesia.
Jadi tantangan yang dirasakan Irma adalah terhadap dirinya sendiri, yang ia rasa sulit mengemukakan pendapat akibat asuhan yang didapat dulu.
Ia lalu berusaha mengetahui sebanyak mungkin tentang sistim dan angka. Sehingga jika mengemukakan pendapat, akan didengarkan orang.
“Jadi positioning diri sendiri dulu, begitu loh, supaya idenya bisa didengarkan orang lain, atau diperhitungkan.”

Selain itu dia kerap berurusan dengan orang baru dari banyak negara karena salah satu tugasnya adalah membimbing orang yang magang. Jadi cara pendekatan dengan orang baru harus terus-menerus dipoles.
“Ngomong sama orang Inggris beda, sama orang Jerman beda, sama orang Afrika beda lagi.” Jadi harus bisa mengerti perbedaan kebudayaan yang bisa menguntungkan positioning di pekerjaan, demikian dijelaskan Irma.
Kalau dalam kehidupan sehari-hari, tantangannya adalah bahasa Jerman, karena masih kurang lancar. Terutama jika kebetulan berkomunikasi dengan orang lanjut usia “yang dialek Jermannya kentel,” kata Irma sambal tertawa.
Tapi kota Heidelberg, tempat Irma bermukim, bersifat cukup internasional dan warganya terbiasa bersikap terbuka, mengingat dulu di kota itu ada markas tentara AS, dan kota itu juga menerima sekitar 10.000 pengungsi Suriah ketika gelombang pengungsi datang di tahun 2015. Jadi di kota itu cukup ramah bagi pengguna Bahasa Inggris.
Harus belajar menghargai diri sendiri
Pelajaran terbesar yang diperoleh Irma sejak tinggal di Jerman adalah: menjadi dan menghargai diri sendiri. Karena orang Indonesia tentu minoritas di Jerman.
Selain itu, ia jadi menyadari bahwa orang Jerman banyak yang bersikap sangat terbuka dan tidak dingin seperti stereotype yang sering disebut terhadap orang Jerman.
Ia bercerita, ketika datang pertama kali di Jerman, ia tinggal bersama “oma-opa” berusia 70-an yang tidak bisa bahasa Inggris, sedangkan dia tidak bisa bahasa Jerman.
Tapi dia diterima dan diajak ikut aktivitas mereka, misalnya kumpul-kumpul dengan “oma-oma” yang lain.
Ketika bekerja di bidang human resource dia juga mendapat pelatihan tentang perbedaan kebudayaan. Di situ, Irma sudah belajar, bahwa jika baru kenal, orang Jerman rasanya seperti dingin, tapi jika sudah kenal, mereka jadi friends for life, dan itu benar, kata Irma.
Selain itu, cara berpakaian Irma yang sudah merepresentasikan bukan saja orang Indonesia, melainkan agamanya, juga sangat membantu dia untuk percaya diri.
Ia ingin menunjukkan bahwa “pekerjaan itu tidak tergantung pada lu dari mana, dari culture apa, atau agama apa. Kalo lu bisa kerja, ya bisa kerja aja. Dan at the end setiap orang itu otentik.”
Jadi pelajaran terbesar yang Irma dapat di Jerman: “Kalau saya bisa menghargai diri saya sendiri, orang lain juga bisa menghargai diri saya.”
Hidup di mana saja pasti ada tantangannya. Tapi Irma percaya, kalau kita baik terhadap orang lain, orang lain juga akan baik kepada kita.
Saran Irma untuk orang-orang yang ingin bekerja di Jerman: “Ya coba aja!”
Artikel ini telah tayang di kompas.com dengan judul https://www.kompas.com/global/read/2021/10/04/201956770/perjuangan-irma-kasri-wni-di-jerman-tulis-400-lamaran-sampai-masuk?page=all#page2