Berita Denpasar
Capai 1000 Hektar Per Tahun, Prof. Suparta Sebut Alih Fungsi Lahan di Bali Mulai Masuk Zona Merah
Alih fungsi lahan di Bali kian hari kian memprihatinkan, tidak saja hutan, lahan pertanian pun juga banyak beralih fungsi
Penulis: Ragil Armando | Editor: Karsiani Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Alih fungsi lahan di Bali kian hari kian memprihatinkan, tidak saja hutan, lahan pertanian pun juga banyak beralih fungsi menjadi perumahan ataupun proyek-proyek lainnya.
Tak ayal, akibatnya hal ini membuat banyak lahan yang beralih fungsi tersebut menjadi sumber bencana baik alam, seperti banjir dan tanah longsor.
Baca juga: Sebanyak 4 Orang Pasien Covid-19 di Kota Denpasar Sembuh, Meningggal Dunia Nihil
Baca juga: GUPBI Bali Akan Gelar Mepatung Massal Guna Permudah Masyarakat Bali untuk Dapatkan Daging Babi
Ataupun bencana non alam seperti ancaman kelangkaan pangan di Bali.
Hal ini seperti diungkapkan Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana, Prof. Nyoman Suparta saat diwawancarai, Jumat, 5 November 2021.
Ia menyebut bahwa alih fungsi lahan di Bali mencapai 1000 hektar per tahun.
“Ya cukup massif, sudah sangat, sudah zona kuning cenderung merah, sudah 1000 Ha per-tahun cukup besar itu,” katanya.
Ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Bali periode 2005-2021 ini menyebut jika alih fungsi lahan tersebut terjadi karena tidak adanya kebijakan kuat yang mencegah fenomena tersebut.
Baca juga: Konsorsium Program Internasional, Upaya Percepatan Internasionalisasi di Lingkup PTV
Baca juga: Perekonomian DipredikSi Baru Mulai Pulih Paling Cepat pada Semester II 2022, Ini Dampak Bagi UMKM
“Begini, itu kan dalam aturan di daerah, kan subak punya kewenangan, tapi nggak diadopsi 100 persen, jadi BPN menjadi penentu sekarang, kalau BPN membolehkan boleh, kalau nggak ya nggak. Usulan saya supaya subak dilibatkan proses pembaliknamaan tanah, sekarang subak nggak bisa terlibat, kalau kehendak BPN ya jalan,” paparnya.
Bahkan di sejumlah daerah, menurutnya banyak lahan hutan yang diubah menjadi lahan pertanian.
Lalu, lahan itu dijual murah-murah dan siap pakai untuk pemukiman.
“Untuk perumahan ya kayak sekarang jadinya, dijual, kemudian berubah perumahan, tanpa sepengetahuan kita ada alih fungsi lahan,” paparnya.
Dirinya menyebut bahwa dari data yang dimilikinya, alih fungsi lahan terbanyak terjadi di kawasan Bali Selatan dan Barat, seperti Denpasar, Badung, Tabanan, dan Jembrana.
Padahal, sejak lama pihaknya sudah mewanti-wanti pemerintah supaya ada kebijakan yang berpihak kepada petani, agar tidak sampai terjadi fenomena menjual lahan secara masif.
Misalnya, dengan memberikan keringanan pajak tanah, terutama untuk lahan pertanian.
“Hampir semua massif, seperti di Jembrana, Tabanan, Denpasar, Badung, massif, saya nggak ngerti kenapa tidak bisa dikendalikan, padahal kita sudah ngomong itu untuk mengendalikan alih fungsi lahan itu,” paparnya.