Berita Gianyar

Niat Selamatkan Status Anak, Solusi Keluarga Melina yang Menikah Tanpa Suami di Gianyar

Ni Putu Melina (22) asal Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar masih menjadi sorotan khalayak ramai.

Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Karsiani Putri
Tangkapan layar
Upacara pernikahan 'menyakitkan' dialami Ni Putu Melina (22) asal Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, Bali, 12 Januari 2022. 

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR- Ni Putu Melina (22) asal Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar masih menjadi sorotan khalayak ramai.

Sebab dia tetap melangsungkan pernikahannya tanpa mempelai lelaki yang sebelumnya menyatakan siap untuk nyentana.

Tetap dilangsungkannya pernikahan itu karena Melina tengah hamil dan ia pun tak ingin bayi dalam kandungannya lahir di luar nikah.

Baca juga: Pemilik Sulit Dihubungi, BPBD Gianyar Tunda Pemangkasan Pohon di Rumah Warga

Baca juga: Sastra Saraswati Sewana II Kembali Digelar Puri Kauhan Ubud Gianyar

Baca juga: Calon Mempelai Pria Tiba-tiba Batalkan Pernikahan H-2, Perempuan di Gianyar Bali Menikah Tanpa Suami

Orangtua Melina, I Ketut Suwardita, Senin (17/1) mengatakan, dalam prosesi pernikahan tersebut, mempelai lelaki tidak diganti dengan keris.

Namun didampingi oleh sepupunya agar pernikahan tersebut sah secara niskala.

"Mohon maaf, anak saya tidak menikah dengan keris, tetapi didampingi oleh sepupunya," ujarnya.

Ketua PHDI Gianyar, Wayan Ardana sebelumnya mengatakan, hal tersebut kerap terjadi di Bali.

Sebab, tujuan dari pernikahan demikian adalah untuk menyelamatkan bayi dalam kandungan, supaya tidak lahir di luar pernikahan.

Sebab di Bali hal tersebut dapat ngeletihin gumi, sehingga orangtua bayi dapat dikenakan sanksi adat dan si anak sendiri tidak boleh ke pura.

Sebelumnya diberitakan, upacara pernikahan 'menyakitkan' dialami Ni Putu Melina (22) asal Banjar Banda, Desa Saba, Kecamatan Blahbatuh, Gianyar, 12 Januari 2022.

Sebab ia menikah tanpa didampingi mempelai lelaki.

Hal tersebut karena si lelaki secara mendadak batal mau menikah dengan Melina.

Alasannya, lelaki yang masih satu banjar dengan Melina ini tidak mau 'nyentana' atau tinggal di rumah istri setelah menikah.

Karena perlengkapan upacara telah disiapkan, keluarga dan Melina pun memutuskan agar upacara pernikahan tersebut tetap dilangsungkan, meskipun tanpa suami.

Guru besar Fakultas Hukum Unud, Prof Dr Wayan Windia SH MSi menjelaskan, sahnya sebuah perkawinan dan perceraian di Bali dapat dilihat dari sudut hukum adat Bali dan hukum nasional.

"Persyaratan sahnya sebuah perkawinan menurut Kuna Dresta (adat kebiasaan di masa yang lalu) di Bali, sejatinya sangat sederhana," jelasnya kepada Tribun Bali, Senin (17/1).

Menurutnya, diantaranya, tidak ada pihak yang menyatakan keberatannya atas perkawinan.

Pernikahan tersebut disaksikan keluarga laki-laki, dan prajuru banjar atau desa di tempat perkawinan berlangsung.

Ada upacara byakawon sesuai agama Hindu.

Dan perkawinan sah sesuai hukum adat dan negara.

Demikian pula jika bercerai, harus dilakukan di hadapan prajuru banjar atau desa pakraman.

Kemudian hasilnya diumumkan dalam rapat banjar, atau desa pakraman dan perceraian pun dianggap selesai serta sah.

Namun tidak dapat dipungkiri, bahwa Kuna Dresta mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman.

Prof Windya menambahkan, bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan UU No 1 Tahun 1974. Kemudian tujuan perkawinan dalam pandangan agama Hindu, selain membentuk keluarga yang bahagia dan kekal.

"Serta tentu saja untuk mendapatkan keturunan, guna meneruskan tanggung jawab orangtua dan leluhurnya. Tanggungjawab yang dimaksud adalah tanggungjawab terhadap parhyangan, pawongan, dan palemahan," sebut dosen Unud asli Ubud ini.

Baca juga: VIRAL Perempuan di Gianyar Menikah Tanpa Suami, Ortu: Lelaki Mendadak Tak Mau Nyentana

Baca juga: Perempuan di Gianyar Menikah Tanpa Suami, Ini Kata PHDI

Berdasarkan sistem kekeluargaan patrilenial yang dianut di Bali, keturunan mengikuti garis kapurusa.

Artinya dalam hal memilih bentuk perkawinan biasa, keturunan mengikuti garis ayah atau bapak.

Sementara di Bali juga dikenal nyentana, atau keturunan mengikuti garis ibu karena dalam hal ini si ibu berkedudukan sebagai purusa.

"Selain itu, sesuai dengan sistem kekeluargaan patrilenial, adanya keturunan laki-laki dalam keluarga sangatlah penting. Karena hal ini terkait dengan tanggung jawab yang harus diteruskan," katanya.

Baik berupa swadharma (kewajiban) dan hak-hak (swadikara) seseorang dalam keluarga dan masyarakat (desa pakraman atau banjar).

Bagi pasangan suami istri yang sama sekali tidak memiliki keturunan, maka akan mengatasinya dengan mengangkat anak (sentana).

Anak yang diangkat dikenal istilah sentana paperasan.

Pasangan suami istri yang hanya dikaruniai anak perempuan saja, biasanya akan mengusahakan, salah seorang anak perempuannya menjadi sentana rajeg.

Dan berusaha menemukan laki-laki yang bersedia melangsungkan perkawinan nyentana, (kawin kaceburin) bagi anak perempuan tersebut.

"Apabila dalam keadaan tertentu, tidak ada laki-laki yang bersedia melangsungkan perkawinan nyentana. Karena kebetulan laki-laki tersebut adalah anak tunggal di keluarga. Atau karena alasan lain, maka untuk menghindari kaputungan atau camput bisa dengan cara perkawinan pada gelahang," kata Prof Windya. 

(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved