Berita Denpasar

Makna Upacara Matipat Bantal atau Upacara Mamitan Dalam Hindu 

Upacara matipat bantal atau mejauman sering pula disebut upacara mamitan.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Karsiani Putri
AA Seri Kusniarti
Ilustrasi- Pernikahan Hindu di Bali yang dalam salah satu prosesinya ada matipat bantal atau mejauman. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Upacara matipat bantal atau mejauman sering pula disebut upacara mamitan.

Di Bali, upacara perkawinan atau pawiwahan antar sesama pemeluk Hindu.

Sering dikatakan belum lengkap atau belum final apabila belum melaksanakan upacara mejauman atau matipat bantal. 

"Upacara ini dilaksanakan oleh pihak purusha (mempelai pria), ke tempat atau ke merajan rumah pihak pradana (mempelai wanita). Bagi perkawinan biasa," jelas Ida Rsi Bhujangga Waisnawa Putra Sara Shri Satya Jyoti, kepada Tribun Bali, Jumat, 4 Februari 2022. 

Baca juga: Cintai Agama Hindu, Warga New Zaeland Jalani Upacara Sudhi Wadani di Bali

Baca juga: Abulan Pitung Dina, Berikut Makna Upacara Bayi Berusia 42 Hari Dalam Hindu

Baca juga: Imlek 2573, Umat Hindu dan Etnis Tionghoa Sembahyang di Kongco Dwipayana Denpasar

Namun, kata beliau, apabila perkawinan nyentana maka pengantin perempuan akan menjadi pihak purusha dan pengantin pria yang menjadi pihak pradana.

Sehingga keluarga perempuan yang kini berstatus purusha, dan akan melaksanakan kewajiban untuk upacara matipat bantal atau mejauman. 

Hal tersebut dilakukan ke rumah pihak pradana karena dalam hal ini pengantin pria yang nyentana.

"Upacara matipat bantal, berasal dari kata ketupat atau ketipat dan bantal. Ketupat adalah nasi yang dimasak, memakai tempat ulatan janur atau daun kelapa muda yang berbentuk pipih hampir segi empat," jelas pensiunan Dosen Unhi ini. 

Hal tersebut melambangkan sebuah Yoni, yakni lambang alat vital milik wanita.

Sedangkan bantal adalah nama sebutan jajan dalam Bahasa Bali.

Bukan bantal dalam arti Bahasa Indonesia, yaitu alat atau alas tidur.

"Jajan Bantal ini dibuat dari beras dan ketan, yang dicampur dengan parutan kelapa dan di masukkan dalam wadah yang dibuat dari janur berbentuk bulat panjang kemudian dikukus," ucapnya.

Bentuk bulat panjang ini, kata beliau, sebagai simbul Lingga atau alat vital milik laki-laki.

Mejauman asal katanya dari kaum atau jarum.

Jarum adalah alat untuk menyambungkan antara satu benang atau kain, dengan benang atau kain lainnya.

Sehingga akan menjadi bentuk utuh yang diinginkan, misalnya seperti baju, celana, kain dan lain-lainnya.

Itu bermakna bahwa mejauman adalah simbol penyatuan dalam hal ini penyatuan keluarga purusha dengan keluarga pradana.

Kata mamitang, berarti memohon.

Yang diartikan sebagai pemberitahuan, pendahuluan, dan penyampaian pendahuluan.

Baca juga: Hukum Karma Hingga Anak Cucu, Ini Penjelasannya Dalam Hindu Bali

Baca juga: Purnama Sebentar Lagi, Pahami Makna dan Sarana Upakaranya Dalam Hindu Bali 

"Contoh misalnya kata 'mamitang lugra' yang berarti kata mohon maaf terlebih dulu, kepada orang yang diajak bicara yang belum kita kenal betul atau orang yang kita anggap lebih tua atau orang yang disucikan dan dihormati," jelas beliau. 

Kata 'mamitang' tidak sama dengan artinya dengan kata mapamit.

Sehingga dari pengertian kata-kata tersebut, maka kata upacara mejauman, matipat bantal, dan mamitang.

Pada dasarnya memiliki arti dan tujuan yang sama.

Sebab dalam upacara mejauman ini, terkandung arti pengikatan antara keluarga purusha dan keluarga pradana menjadi bentuk keluarga besar yang disebut mapewarangan.

Mepewarangan artinya sama-sama terikat, membiayai atau bertanggung jawab baik pihak purusha ataupun pihak pradana sama-sama mempunyai andil tanggung jawab terhadap kedua mempelai. 

Baca juga: FAKTA-FAKTA Viralnya Akting Tukang Bakso yang Terjatuh: Berharap Dikasihani Warga

Sedangkan simbol tipat dan bantal, adalah simbol penyatuan purusha dan pradana, atau laki-istri sehingga sah menyatu sebagai suami-istri.

"Mengenai istilah 'mamitang' adalah istilah untuk menyampaikan permohonan bahwa pihak pradana, atau yang berperan sebagai pradana atau orang yang nyentana, akan tidak lagi ngaturang ayah sehari-hari seperti sebelum mereka kawin di merajan tempat kelahirannya," jelas beliau. 

Sehingga kata mamitang ini adalah terbatas pada konsep ayah-ayahan yang tadinya dilakukan setiap hari atau setiap saat, kini karena keadaannya sudah berbeda maka ia hanya bisa ngayah sewaktu-waktu saja.

Untuk itulah, kata mamitang berbeda dengan kata mapamit. 

Sebab kata mapamit, kata beliau, adalah berarti memutuskan, putus dengan leluhur (sanggah atau merajan), dan putus dengan keluarga.

Sedangkan kata mamitang hanya bersifat mengurangi tanggung jawab untuk ayah-ayahan di merajan, tetapi tidak melepaskan keluarga, leluhur dan lainnya.

Baca juga: Purnama Sebentar Lagi, Pahami Makna dan Sarana Upakaranya Dalam Hindu Bali 

Baca juga: Ngerupuk Sebagai Wujud Solidaritas Umat Hindu

Baca juga: ARTI Mimpi Tentang Vampir, Pertanda Buruk yang Dimana Kejahatan Akan Menguasai Pikiranmu

Baca juga: ARTI Mimpi Tentang Burung Hantu, Ketakutan Berlebihan Akan Menghantui, Berhati-hatilah!

"Hal ini justru diikat lebih berat dengan konsep banten jauman,  yaitu simbol pengikatan yang lebih erat antara keluarga purusha dan keluarga pradana.

(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved