Berita Tabanan
Krama Banjar Adat Tenten Gerudug PN Tabanan, Minta Keadilan dan Pertahankan Tanah Ayahan Desa
Puluhan krama Banjar Adat, Desa Adat Banjar Anyar, Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali, tampak menggerudug Pengadilan Negeri (PN) Tabanan, Selasa 5 April
Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Puluhan krama Banjar Adat, Desa Adat Banjar Anyar, Kecamatan Kediri, Tabanan, Bali, tampak menggerudug Pengadilan Negeri (PN) Tabanan, Selasa 5 April 2022.
Sebagian Krama yang membawa spanduk bertuliskan "kembalikan tanah leluhur kami" tersebut ini bertujuan untuk memberikan dukungan kepada Bendesa dan Kelian Adat setmpat dalam menjalani sidang mediasi atas gugatan salah satu BPR di wayah Denpasar.
Gugatan yang dimaksud adalah terkait akan dilaksanakan eksekusi lahan milik adat yang sebelumnya dijual melalui lelang.
Menurut Bendesa Adat Banjar Anyar, I Made Raka, kasus tanah adat atau tanah ayahan desa yang sebelumnya ditempati keluarga Ni Negah Sulastri yang akan dieksekusi baru mencuat beberapa waktu belakangan ini.
Baca juga: Minyak Curah Mulai Langka di Pasaran, Agen di Tabanan Batasi Pembelian Maksimal 5 Kilogram
Itu diketahui setelah adanya surat tembusan pelaksanaan eksekusi dari Pengadilan Negeri (PN) Tabanan kepada pihak desa adat sekitar 1 bulan yang lalu.
Sejatinya, sejak surat diterima sudah dilakukan upaya mediasi.
Namun, dalam mediasi tersebut hanya terdapat dua pilihan yakni eksekusi paksa atau eksekusi sukarela.
Namun, pihak warga Banjar Adat Tenten akan tetap memperjuangkan dan mempertahankan tanah ayahan desa seluas 469 M2 tersebut.
Dia menegaskan akan mengambil jalur hukum untuk bisa terus memperjuangkan karang ayahan desa karena merupakan tanah leluhur.
Baca juga: Dewan Segera Panggil Dinas Pendidikan Tabanan, Bahas PPDB hingga Anggaran Pusat untuk Proyek Sekolah
"Namun kami tetap mempertahankan tanah ayahan desa kami," jelasnya.
Dia menceritakan, dua tahun lalu seluruh karang ayahan desa/tanah desa adat yang ditempati oleh warga juga sudah disertifikatkan.
Hanya, untuk tanah ini (sengketa) sekitar tahun 2006 dan saat ini sudah tidak ada ahli warisnya karena pemilik atau yang tinggal di tanah tersebut sudah meninggal dunia.
"Saya waktu itu belum jadi Bendesa Adat karena mulai ngayah tahun 2007. Sedangkan sertifikat ini tahun 2006 yang ditempati oleh Nengah Sulastri (alm) serta keluarga dan belum masuk program PTSL itu. Sebelum ada PTSL dua tahun lalu, banyak tanah ayahan desa yang hilang atau kita kecolongan," ungkapnya.
Ke depannya, pihaknya tak ingin kecolongan lagi seperti sebelumnya. Semua tanah ayahan desa saat ini sudah disertifikatkan dan juga masuk di revisi awig-awig Desa Adat Banjar Anyar.
"Selain itu pengawasan lebih ketat, semua blok tanah ayahan desa sudah masuk di revisi awig-awig. Intinya kedepan kami tidak ingin terhadi hal seperti ini," tegasnya.
Baca juga: 28 TPS3R Diserahkan ke Desa, Sampah di Tabanan Kini Dikelola oleh Desa
Made Raka kembali mengatakan, sejak tidak ada yang menempati atau sudah dikuasi oleh Desa Adat juga dimanfaatkan sebagai posko seperti posko pecalang. Saat ini, pihaknya masih menunggu keputusan dari Pengadilan Negeri Tabanan.
"Kami meminta keadilan dan tanah itu kembali ke tanah atau karang ayahan desa. Sekarang kami juga sedang proses ke jalur hukum juga termasuk ke BPN," tandasnya.
Sementara itu, Kuasa Hukum Desa Adat Banjar Anyar, I Wayan Adi Aryanta mengungkapkan, tanah ayahan desa Adat Banjar Anyar dengan luas 469 M2 disertai bangunan sebelumnya ditempati oleh warga bernama Ni Nengah Sulastri.
Karena tak ada ahli waris, tanah tersebut putung (putus waris). Namun, diketahui sebelumnya bahwa tanah tersebut menjadi agunan di bank wilayah Denpasar sehingga muncul gugatan eksekusi lahan.
Dia selaku kuasa hukum juga menegaskan, Banjar Adat dan Desa Adat adalah Kesatuan Masyarakat Hukum Adat yang diakui dan dilindungi oleh Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Terlebih Desa Adat sudah diakui sebagai Subjek Hukum dengan Terbitnya Perda Provinsi Bali Nomor 4 tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali. Sehingga dengan hal itu Desa dan Banjar Adat bisa menempuh cara legal untuk memperjuangkan haknya.
"Jadi kami sudah sarankan agar menempuh cara lain agar tidak melakukan cara seperti kekerasan. Apalagi Desa Adat sudah memiliki legal standing untuk ajukan gugatan ke pengadilan," tegasnya.
Sejauh ini, kata dia, masyarakat adat sudah paham dengan utang piutang.
Bahwa saat memiliki hutang itu harus dibayar.
Namun dalam kasus ini berbeda, ada banyak kejanggalan yang ditemukan seperti tanah adat yang beralih ke tanah pribadi, kemudian saat pencairan kredit dengan agunan tanah ini juga ditemukan identitas palsu yakni berupa KTP atau NIK palsu.
Dengan temuan tersebut, pihak mencurigai ada oknum yang sengaja bermain dalam kasus ini.
Apalagi saat proses pengajuan kredit, sejatinya ada ahli waris dan sebaginya namun justru muncul identitas palsu. Sedangkan, di tanah ini tidak ada ahli warisnya.
"Keluarga almarhum ini sebenarnya memiliki dua orang anak. Satu orang meninggal dunia dan satu lagi nyentana sehingga tak ada ahli waris. Nah sehingga mungkin ada oknum yang membuat ahli waris palsu," ungkapnya.
Terpenting, kata dia, ketika ada identitas palsu di sana, maka segala macam perjanjian yang muncul setelahnya batal demi hukum. Sehingga pihak krama desa adat tentu menuntut keadilan dan perjanjian kredit itu bisa dibatalkan. (*)
Berita lainnya di Berita Tabanan