Berita Tabanan

8 Siswi SMPN 2 Tabanan Kerauhan Sejak 3 Pekan Lalu, Dosen UNHI: Harus Dicek Itu Mungkin Histeria

Beberapa siswa SMP Negeri 2 Tabanan mengalami kerauhan, sebelum pelajaran diberikan tirta.

Penulis: I Made Ardhiangga Ismayana | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM / I Made Ardhiangga Ismayana
Para siswa siswi SMPN 2 Tabanan diberikan Tirta, saat akan atau sebelum memulai pelajaran, Selasa 1 November 2022 - 8 Siswi SMPN 2 Tabanan Kerauhan Sejak 3 Pekan Lalu, Dosen UNHI: Harus Dicek Itu Mungkin Histeria 

Suatama kemudian memberikan solusi kepada para warga SMPN 2 Tabanan.

Suatama yang juga paham terkait Dukun Ketakson atau kerauhan ini mengimbau agar para siswa mendapat pendampingan yang maksimal.

Seperti pendampingan melalui guru-guru di sekolah antara lain guru agama, guru budi pekerti, dan guru Bimbingan Konseling.

Tidak lupa juga peran orangtua yang harus mendampingi anaknya dengan baik saat di rumah disertai dukungan masyarakat dan teman-teman.

Suatama mengatakan, ia curiga para siswa tersebut memiliki pola hidup yang kurang sehat.

Contohnya, sering memainkan handphone hingga larut malam sehingga mempengaruhi waktu tidur mereka.

Terlalu sering bermain handphone juga kemudian berpengaruh pada waktu bangun tidur yang sering kesiangan.

Waktu yang dihabiskan untuk bermain handphone juga membuat waktu belajar mereka tersita dan sangat sedikit.

Tentu saja hal ini lantas memberikan dampak pula terhadap kesehatan fisik dan mental siswa-siswi tersebut.

“Fisik dan mental mereka akan melemah dan mereka akan memikul beban sehingga tak bersemangat ke sekolah. Apalagi saat ini mereka akan masuk ke dalam persiapan mengikuti ujian, tentunya hal ini kurang baik bagi pelajar,” ujar Suatama.

Faktor lain misalnya adalah adanya beban tersendiri akibat konflik di rumah mereka yang kemudin terbawa hingga ke sekolah.

Hal itu jelas, menurut Suatama, memiliki hubungan yang kuat, antara pola hidup dan peristiwa yang dialami para siswa.

Menurutnya, ada hal-hal yang selain dipikirkan secara magis harus juga dipikirkan secara logis.

Suatama memberikan imbauan kepada para siswa.

Diharapkan agar para siswa mampu mengontrol diri sehingga tidak didekte oleh ambisi dan emosi yang tinggi.

Tentu pengontrolan diri ini memerlukan pendampingan baik dari guru-guru di sekolah maupun orang tua, atau psikolog bila perlu.

Selain itu, pengobatan juga perlu dilakukan segera seperti melukat sebagai realisasi jalan magis religius serta melalui pengobatan medis apabila diperlukan.

Berdasarkan pengalamannya menangani kasus kerauhan, kerauhan sebenarnya akan menunjukan ciri-ciri yang berbeda.

Seperti yang ia terangkan dalam Dharma Wacana tentang Kerauhan yang tayang di YouTube Tribun Bali.

“Lihat dari sorot matanya, itu merupakan bagian tubuh yang dapat menunjukkan ciri khas orang kerauhan. Biasanya mata orang yang benar-benar kerauhan akan menunjukkan sesuatu yang berbeda,” kata Suatama kepada Tribun Bali.

Sebelumnya, Suatama menjelaskan ada beberapa hal atau syarat yang barus dipenuhi dalam proses kerauhan.

Syarat tersebut antara lain adanya sakralisasi diri, dilakukan di tempat tersendiri, menggunakan pakaian tersendiri, memiliki Ista Dewata tersendiri, dan ada yang mapinunas.

Kerauhan juga dibagi menjadi beberapa jenis berdasarkan sosok yang memasuki raga manusia.

Pertama, adalah Kerauhan Dewa Hyang, ciri-cirinya adalah tutur katanya sangat halus dan memiliki aura yang menyejukkan.

Orang-orang yang kerauhan Dewa Hyang akan menunjukkan mudra atau sikap-sikap tertentu yang halus seperti seorang Dewa.

Kedua, kerauhan Bhuta Kala, yang mana orang yang kerauhan Bhuta Kala ini akan memohon sesuatu atau labang.

Ketiga, Kerauhan Bebayi atau penyakit yang bertutur kata atau raos sangat kasar dan sembarangan.

Untuk memastikan seseorang benar-benar kerauhan, orang-orang yang ketakson tersebut boleh diuji.

Pengujiannya sendiri bukan dilakukan dengan menyodorkan api atau menyiram dengan air panas, melainkan dengan mengajukan pertanyaan.

"Tanya saja siapa saya, siapa di samping saya. Kalau dia tidak bisa jawab, bisa saja itu bohong atau dia pura-pura kerauhan," ujar Suatama.

Orang yang Ketakson akan sadar dengan sendirinya apabila tujuan Ketakson itu sendiri sudah terpenuhi atau sudah diberikan penetralisir.

Ditambah lagi dengan penguatan secara magis religius dengan melukat atau menyucikan jiwa dan pikiran.

Namun, bagi apabila sudah diberikan penetralisir ataupun caru belum juga selesai, kemungkinan orang tersebut mengalami gangguan kejiwaan.

Solusinya tentu berbeda, yaitu memerlukan pendampingan dari orang tua, para guru di sekolah, dan bila perlu psikolog.

Perlu juga melakukan meditasi atau yoga semasih untuk memaksimalkan proses pengontrolan diri dan pikiran serta pola hidup sehat.

Dengan demikian, fisik dan mental dapat terjaga kestabilannya dan fenomena kerauhan abal-abal ini tidak merajalela. (ang/yun)

Kumpulan Artikel Bali

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved