Serba Serbi

Menelik Sejarah GPIB Jemaat Pniel Singaraja, Gereja Protestan Tertua di Bali

Menelik sejarah GPIB Jemaat Pniel Singaraja, Gereja Protestan tertua di Bali, dibangun Pemerintah Kolonial Belanda.

Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Putu Kartika Viktriani
Tribun Bali/Ratu Ayu Astri Desiani
Suasana GPIB Jemaat Pniel Singaraja. 

Tertera pula dua nama warga Belanda yang ditugaskan untuk membangun gereja tersebut. 

Christine memuturkan, gereja ini mulanya dibangun diatas lahan milik Puri, atau yang disebut dengan tanah Eigendom (tanah hak milik,red).

Lahan tersebut dibeli dengan menggunakan dana dari Pemerintah Kolonial Belanda, berdasarkan inisiatif dari seorang warga Belanda bernama Gerardus Fortgens. 

Asal tahu saja, Gerardus merupakan seorang insinyur yang merancang jalan Singaraja-Kintamani.

Ia menikah dengan seorang wanita pribumi bernama Saodah, dan meninggal dunia pada 1949 silam.

Saat penataan ruang Kota Singaraja, utamanya di sekitar rurung ngenjet atau yang kini dikenal dengan Jalan Ngurah Rai, Gerardus mengusulkan membangun gereja pertama di Buleleng, yang jemaatnya khusus dari pegawai pemerintah kolonial Belanda. 

"Waktu itu Singaraja menjadi bagian wilayah kekuasaan kolonial Belanda. Kekuasaan Puri masih diakui selama mau bekerjasama dan berstatus sebagai daerah Swapraja. Sehingga sebagai dukungan, keluarga Puri memberi izin kepada pemerintah kolonial Belanda untuk membangun gereja di atas tanah Puri, tepatnya di Jalan Ngurah Rai ini," terangnya. 

Setelah mendapatkan izin dari Puri, pemerintah kolonial Belanda pun mengutus Mevr. C Prins dan Wolmerstett untuk membangun gereja tersebut.

Pendeta pertama yang memimpin peribadatan di gereja tersebut ialah Ds. Franken.

Pada awal berdiri, umat yang beribadah sebagian besar berasal dari Belanda dan para wisatawan, dengan jumlah jemaat sekitar 15 hingga 30 orang.

Hal ini terlihat dari jumlah bangku inventaris gereja. 

Selanjutnya pada 1942, pemerintah kolonial Belanda kalah perang dari Jepang.

Mereka menyerah tanpa syarat ditandai dengan penandatanganan Kapitulasi Kalijati.

Seluruh kekuasaannya di Hindia Belanda termasuk Kota Singaraja dan Gereja Nederland Hevormde Kerk diserahkan kembali kepada Raja Buleleng yang saat itu dijabat oleh Anak Agung Panji Tisna. 

Christine menyebut, AA Panji Tisna saat itu kebetulan sudah menganut agama Kristen.

Halaman
123
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved