Pelanggaran HAM Berat

Ada Dipihak Pembela NKRI, Prof. Wirawan Tak Trauma Dengan Peristiwa Pembantaian 1965-1966

Ada dipihak pembela NKRI, Prof. Wirawan tak trauma dengan Peristiwa Pembantaian 1965-1966.

Penulis: Putu Yunia Andriyani | Editor: Putu Kartika Viktriani
Ist
Prof. Dr. A A Bagus Wirawan, S.U., Guru Besar purna tugas dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana yang menjadi saksi hidup peristiwa 1965-1966, mengaku tidak trauma dengan pembantaian pada peristiwa tersebut. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Pada Rabu, 11 Januari 2023 lalu, Presiden Jokowi secara resmi mengakui 12 peristiwa pelanggaran HAM berat. 

Peristiwa-peristiwa tersebut termuat dalam laporan akhir Tim Pelaksana Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran HAM yang Beray Masa Lalu (PPHAM). 

Salah satunya peristiwa 1965-1966 yang terjadi hampir di seluruh daratan Indonesia, termasuk Provinsi Bali

Prof. Dr. A A Bagus Wirawan, S.U., Guru Besar purna tugas dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Udayana yang menjadi saksi hidup peristiwa tersebut. 

Peristiwa itu diakuinya sebagai peristiwa yang sangat mencekam karena terjadi tidak hanya di Bali tetapi di seluruh Indonesia. 

“Puncaknya itu pasca 30 September 1965 (kejadian G30S PKI) selanjutnya sampai pertengahan 1966. 

Pembunuhan terhadap anggota simpatisan PKI dan pembakarannya terjadi pasca itu,” kata Prof. Dr. A A Bagus Wirawan, S.U.

Di Klungkung sendiri, Prof. Wirawan mengatakan para anggota atau simpatisan PKI itu ditembak dan dikubur massal. 

Walaupun mencekam, pemilik nama sapaan Prof. Wirawan ini mengatakan dirinya tak trauma sama sekali atas kejadian tersebut. 

Baca juga: Ingin Tenang Lahir Batin, Mantan Pangkostrad Bongkar Patung Sejarah Penumpasan G30S/PKI

Prof. Wirawan yang saat itu kelas 2 SMA merupakan anggota GSNI, ormasnya PNI yang terdiri dari kelompok pelajar. 

Sementara, orang-orang yang dibantai pasca G30S PKI merupakan anggota dan simpatisan dari PKI

Dirinya merasa berada di pihak yang benar karena mendukung pemerintah yang sah, NKRI

Bahkan menurutnya, hal yang lebih menakutkan terjadi sebelum G30S PKI karena yang berkonflik secara langsung adalah PNI dan PKI

“Darah saya masih muda, masih SMA, pemberani, lagi ikut barisan tameng atau banteng bersama teman-teman dan orang yang lebih tua,” tambahnya. 

Prof. Wirawan ini menceritakan peristiwa 1965-1966 sudah dimulai sejak tahun 1960-an. 

Pada saat itu kekuatan PKI semakin besar karena Presiden Soekarno membubarkan dua partai besar, yaitu PNI dan Partai Masyumi. 

Kekuatan PKI tidak bisa diusik, meskipun pemilihan umum sudah tidak diadakan lagi kala itu. 

PKI semakin berjaya, terbukti dengan adanya penambahan anggota dan peresmian cabang-cabang di berbagai daerah. 

 

Termasuk di Bali, berjayanya PKI terus terjadi hingga tahun 1964 yang diwarnai dengan perselisihan antara PNI dan PKI

“Konflik di Bali itu secara mental dan fisik karena antara PKI dan PNI mereka saling caci maki dan saling singgung. 

Karena mereka kekuatannya besar, jadi kalau mereka berselisih, masyarakatnya kena juga,” ujarnya. 

Lelaki asal Klungkung ini kemudian melanjutkan ceritanya tentang penembakan seorang parlemen PNI, Made Parlemen, di Lapangan Klungkung

Penembakan yang terjadi pada 20 Mei 1964 atau saat peringatan Hari Kebangkitan Nasional, diduga kuat dilakukan oleh anggota PKI

Parlemen sendiri merupakan sebutan untuk koordinator tameng atau banteng dari sebuah partai.

Saat itu, Prof. Wirawan ikut sebagai pasukan tameng yang saat itu berjaga pada Hari Kebangkitan Nasional. 

Situasi menegangkan kemudian berlanjut pada Palebonan Raja Klungkung, sosok yang berpihak pada PNI. 

Orang Puri Klungkung merupakan musuh PKI atau pemilik slogan “pembela rakyat” dan  digolongkan sebagai orang feodal. 

“Situasinya semakin tidak kondusif, jadi waktu Palebonan Raja Klungkung itu, penjagaan oleh pasukan tameng semakin diperketat,” tutur Prof. Wirawan. 

Tidak hanya di Klungkung, kondisi ini terjadi secara merata di seluruh wilayah di Bali yang dipantau Prof. Wirawan melalui surat kabar. 

Dendam yang semakin mendalam antara PNI kepada PKI memuncak pasca G30S PKI, yang oleh Soeharto dan TNI AD disebabkan oleh PKI

Pembunuhan dan penjarahan pun tidak terelakkan oleh orang-orang PNI kepada PKI yang membuat situasi semakin mencekam. 

Ribuan nyawa melayang, inflasi besar-besaran, dan penjarahan kepada toko-toko Cina yang menyebabkan Soekarno diturunkan dari jabatannya. 

Belum lagi dampak erupsi Gunung Agung 1963 yang masih terasa menyebabkan masyarakat semakin melarat. 

Hingga saat pengamanan oleh RPKAD pada 1965 sampai dengan dikeluarkannya Supersemar pada Maret 1966, barulah situasi menjadi stabil. 

Melalui proses pengadilan, tokoh-tokoh PNI kemudian diadili dan menjadi tahanan politik di Irian, Papua. (yun)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved