Human Interest Story

Dari Hobi Jadi Rejeki, Warga Bangli Mampu Kuliahkan Anak Berkat Budidaya Burung Murai Ekor Panjang 

Bisnis budidaya burung murai batu impor atau murai batu ekor panjang yang dilakoni I Nyoman Susila, mampu menghasilkan keuntungan besar.

|
Tribun Bali/Muhammad Fredey Mercury
I Nyoman Susila saat ditemui di peternakan Murai Batu Ekor Panjang Mahottama BF miliknya, Minggu (15/10/2023) 

TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Bisnis budidaya burung murai batu impor atau murai batu ekor panjang yang dilakoni I Nyoman Susila, mampu menghasilkan keuntungan besar.

Berawal dari sekadar hobi, ayah tiga anak itu bisa menyekolahkan anak hingga jenjang kuliah di jurusan kedokteran salah satu universitas negeri di Bali.


Hobi memelihara burung telah dilakoni Susila sejak kecil.

Baca juga: 25 Kelompok Masyarakat Buleleng Dapat Bantuan Mesin Perahu hingga Budidaya Ikan Air Tawar

Hingga pada tahun 2009, ia mencoba membudidayakan sejumlah burung. Mulai dari Kenari, Love Bird hingga Murai Batu lokal. 


Namun berkat kejeliannya melihat peluang pasar, Susila akhirnya mengubah haluan pada tahun 2011.

Ia fokus memelihara murai batu impor saja hingga saat ini. Alasannya karena budidaya murai batu impor lebih mudah dibandingkan jenis burung lain.

Di samping juga tinggi peminat.

Baca juga: Terancam Punah, Distanak Gianyar Budidaya Ayam Ras Bali


Perbedaan murai batu lokal dengan impor itu terletak pada panjang ekornya.

Murai batu lokal, panjang ekornya maksimal 18 hingga 20 sentimeter. Sedangkan murai impor panjang ekornya 30 hingga 40 sentimeter.

Bahkan bisa lebih dari 40 sentimeter.

"Kalau di tempat saya panjang ekornya 36 sampai 37 sentimeter," ujarnya ditemui Minggu (15/10/2023). 

Baca juga: Omzet Menjanjikan, Budidaya Bunga Krisan di Buleleng Masih Minim


Pemilik peternakan Murai Batu Ekor Panjang Mahottama BF ini menyebut, harga murai batu impor lebih tinggi dibandingkan yang lokal. Kata dia, harga burung murai batu lokal anakan usia 1 hingga 2 bulan berkisar Rp1 juta hingga Rp2,5 juta.

"Sedangkan untuk murai batu lokal juara, harganya berkisar Rp5 juta sampai Rp10 juta," sebutnya.


Lanjut Susila, di usia yang sama yakni 1 sampai 2 bulan, harga murai batu ekor panjang/impor justru lebih mahal. Pada saat pandemi Covid-19, harganya berkisar Rp5 juta sampai Rp25 juta.

Baca juga: Berpeluang Jadi Kewirausahaan Baru, Pengembangan Budidaya Madu Kele Diusulkan ke Kemensos

"Bahkan pada saat Covid-19, saya pernah jual anakan di harga Rp39 juta. Itu usia 2 bulan. Kalau harga sekarang, itu harga anakan Rp5 juta sampai Rp15 juta," ungkapnya.


Penurunan harga pasca pandemi ini, dikarenakan pola hidup masyarakat yang berubah.

Kata Susila, pada saat pandemi di mana ada pembatasan aktivitas, banyak masyarakat memilih memelihara burung sebagai hiburan. 


Sebaliknya karena saat ini aktivitas masyarakat sudah kembali normal, permintaan pasar saat ini lebih banyak ke murai batu impor dewasa, yakni usia 6 sampai 7 bulan.

Baca juga: Budidaya Lebah Trigona di Desa Kamasan, Kembangkan Madu Kele Dari Sumatera Hingga Kalimantan

Di usia ini, burung murai batu impor sudah mengeluarkan kicauan.

"Harganya juga cenderung lebih stabil. Rata-rata berkisar Rp10 juta hingga Rp15 juta. Tergantung panjang ekornya," kata dia.


Walaupun tergolong mudah membudidayakan burung ini, Susila tak menampik ada kendala. Misalnya pada musim kemarau, di mana terjadi penurunan produksi.

"Kalau dulu 10 sampai 20 ekor sebulan. Sekarang hanya 7 ekor sebulan," ucapnya.


Saat ini Susila memiliki 16 pasang indukan murai batu impor. Biasanya burung murai impor bertelur selama setahun, dengan masa jeda selama empat bulan. 


Selama 12 tahun berkecimpung di budidaya murai batu impor, Susila mengaku sudah menghasilkan lebih dari 700 ekor anakan murai batu, yang tersebar di seluruh Indonesia bahkan hingga ke luar negeri. Bahkan tak jarang murai batu hasil budidaya Mahottama BF memenangi lomba. 


"Kebanyakan pembeli biasanya datang langsung kesini. Ada juga pengepul dari Jawa yang secara khusus beli di sini."

"Selanjutnya dia jual lagi ke wilayah Jawa, Sumatera, Kalimantan, bahkan ke Malaysia hingga Singapura. Kalau saya hanya fokus membudidayakan saja," kata Pria asal Banjar Antugan, Desa Jehem, Kecamatan Tembuku, Bangli itu. 


Berkat kejeliannya melihat peluang, Susila mampu menambah penghasilan rata-rata Rp10 juta per bulan, di luar penghasilan tetapnya sebagai Kepala Sekolah SMKN 1 Bangli.

Ia juga mampu membiayai pendidikan anaknya hingga jenjang perkuliahan di jurusan kedokteran salah satu universitas negeri di Bali. (*)

 

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved