Hari Pahlawan

I Gusti Ngurah Made Agung, Raja Badung yang Berani Menentang Perjanjian Merugikan dengan Belanda

Sosok I Gusti Ngurah Made Agung adalah Raja Badung yang berani melawan kebijakan Belanda.

TRIBUN BALI/ I PUTU SUPARTIKA
Ilustrasi - monumen Puputan Badung 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sosok I Gusti Ngurah Made Agung adalah Raja Badung yang berani melawan kebijakan Belanda.

Bahkan perjanjian yang dilakukan Raja Badung sebelumnya dengan Belanda ditentangnya.

Akademisi Unud dan Budayawan, IDG Windu Sancaya menyebut, ketika naik tahta tahun 1902, I Gusti Ngurah Made Agung mewarisi kerajaan Badung dalam keadaan yang sangat memprihatinkan.

Baca juga: Ida Dewa Agung Jambe Jadi Pahlawan Nasional Pertama dari Klungkung, Bali

“Ada sejumlah perjanjian yang dilakukan oleh Raja Badung sebelumnya yang sangat merugikan posisi kerajaan Badung baik dari segi politik, ekonomi dan sosial kebudayaan,” kata Windu Sancaya.

Dari segi politik, misalnya, Raja Badung mengakui tunduk pada Belanda.

Kemudian dari segi ekonomi, hak tawan karang tidak boleh dilakukan, dan dari segi tradisi dan kebudayaan dilarangnya tradisi masatya.

Baca juga: Kisah Perjuangan Ida Dewa Agung Jambe, Raja Klungkung Yang Dinobatkan Sebagai Pahlawan Nasional

Dan pada saat I Gusti Ngurah Made Agung menjadi raja, hak tawan karang itu diperlakukan lagi dan Kerajaan Badung menentang perjanjian yang dilakukan oleh raja-raja sebelumnya.

“Hal inilah yang membuat pemerintah kolonial Belanda yang berkedudukan di Singaraja dan Batavia menjadi marah, lalu membuat gara-gara dengan adanya kasus kapal Srikumala (Sri Komala) yang terdampar di Sanur,” paparnya.

Pihak Belanda menuduh rakyat Sanur telah merampas kapal beserta isinya dan menuntutRaja Badung I Gusti Ngurah Made Agung untuk membayar ganti rugi sebesar 7 ribu gulden.

Baca juga: BREAKING NEWS : Raja Klungkung Ida Dewa Agung Jambe Ditetapkan Sebagai Pahlawan Nasional

Tuntutan itu ditolak, karena setelah dilakukan pemeriksaan di Sanur ternyata rakyat Sanur tidak ada melakukan perampasan sebagaimana yang dituduhkan Belanda.

Meskipun ada pihak-pihak yang menganjurkan agar Raja Badung membayar saja tuntutan ganti rugi tersebut, tetapi I Gusti Ngurah Made Agung tetap menolak untuk membayar.

“Jadi masalah bukan karena beliau memang tidak suka, tetapi karena Belanda yang memancing mencari gara-gara. Nah, karena penolakan itulah Belanda mulai melakukan blokade dan pengepungan terhadap Kerajaan Badung, yang menyebabkan beliau mau tak mau harus bersiap menghadapi invasi Belanda,” paparnya.

Baca juga: Penataan Taman Makam Pahlawan Diklaim Bakal Mempercantik Wajah Kota Negara

Hal itu terjadi setelah raja mengadakan konsultasi dengan Raja Klungkung dan Tabanan yang mendukung posisi I Gusti Ngurah Made Agung.

Windu Sancaya juga mengatakan jika I Gusti Ngurah Made Agung merupakan orang yang hebat, baik sebagai raja maupun pujangga.

Beliau menguasai banyak hal dan sebagai orang yang sangat terpelajar pada zamannya.

Hal itu bahkan diakui oleh Ida Pedanda Ngurah dari Grya Gede Belayu yang merupakan teman akrabnya, selain Ida Pedanda Made Sidemen.

“Hal serupa juga diakui oleh pihak Belanda sebagaimana disebutkan oleh V.E. Korn dalam bukunya Adatrecht van Bali. Pemikiran beliau dalam bidang politik, pemerintahan dan ketatanegaraan sangat luar biasa,” katanya.

Setahun setelah menduduki tahta kerajaan, beliau mulai menuliskan gambaran mengenai tatanan politik dan kehidupan kemasyarakatan di kerajaan Badung yang beliau anggap ideal.

Gagasan itu ditulis dan diuraikan dalam karyanya yang berjudul Niti Raja Sasana dan Dharma Sasana yang ditulis pada tahun 1903, kurang lebih setahun setelah masa pemerintahannya dimulai.

“Jelas sekali terikat dan terserah banyaknya permasalahan ketatanegaraan dan perlindungan terhadap masyarakat yang mesti dibenahi di Kerajaan Badung. Beliau mencita-citakan sebuah Kerajaan Badung yang besar dan bermartabat. Ada banyak tantangan dari luar dan dari dalam kerajaan sendiri yang beliau hadapi. Ini sesuatu yang luar biasa,” katanya.

Namun sayang, sebelum berhasil mewujudkan gagasannya, Belanda datang dengan upaya menguasai Bali secara keseluruhan. 

Dan setelah memikirkan dan mempertimbangkan secara mendalam, beliau akhirnya memilih jalan puputan.

“Selogan bliau adalah matine tan tumut pejah yang artinya beliau tidak mau menyerah pada kesewenang-wenangan Belanda meskipun risikonya harus mati. Maka terjadilah perang puputan Badung pada 20 September 1906, yang juga melibatkan kerajaan Kesiman dan Pemecutan yang merupakan tiga raja bersaudara,” katanya.

Dengan kemajuan teknologi termasuk adanya teknologi AI, Windu Sancaya menyebut ada beberapa hal yang bisa dipelajari dari sosok I Gusti Ngurah Made Agung.

Salah satunya yakni seseorang bagaimana pun perlu memiliki visi yang benar terhadap kehidupan ini, yaitu martabat dan harga diri bangsa harus dijunjung tinggi.

“Lebih-lebih kita memiliki suatu budaya yang luhur. Tanpa itu maka kita akan mudah larut dalam arus global,” katanya. (*)
 
 
 
 
 

Artike lainnya di Hari Pahlawan

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved