UMP Bali
Pengamat Kebijakan Publik Minta Biaya Keagamaan di Bali Dimasukan ke Komponen Penyusunan UMK
besaran upah minimum kabupaten di tahun 2024, UMK itu tujuannya untuk bisa mensejahterakan rakyat khususnya para buruh dan para pekerja.
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Beberapa Kabupaten di Bali telah mengeluarkan nominal besaran upah minimum kabupaten (UMK), seperti Jembrana naik Rp 24 ribu dan Buleleng naik Rp 25 ribu dari tahun sebelumnya.
Prof. Dr. Drs. Anak Agung Gde Oka Wisnumurti, M.Si Dosen FISIP Univ. Warmadewa, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik pun turut menyoroti hasil perhitungan UMK tersebut.
Prof. Wisnumurti mengatakan, UMK itu tujuannya untuk bisa mensejahterakan rakyat khususnya para buruh dan para pekerja.
“Sehingga penetapan Undang-Undang UMK itu ditetapkan agar bagaimana buruh dan tenaga kerja itu terlindungi dari sisi upah yang mereka dapatkan atas pekerjaan yang mereka lakukan di suatu usaha apakah perusahaan atau usaha-usaha lainnya berorientasi pada bisnis,” bebernya, Sabtu 25 November 2023.
Baca juga: UMK Gianyar 2024 Dirancang Naik Rp 90 Ribu Lebih
Lebih lanjutnya ia mengatakan sebagaimana diatur dalam UU Nomor 6 Tahun 2023 yang digunakan sebagai dasar hukum tentang cipta kerja.
Khususnya pada pasal 88 ayat 2 yang dikatakan bahwa pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya untuk wujudkan hak buruh atas penghasilan yang layak ini kata kunci yang pertama.
Artinya pemerintah berupaya melaui kebijakan yang dibuat sebagaimana diatur dalam UU bagaimana buruh mendapatkan haknya.
Jadi upah atau gaji yang diterima adalah hak buruh yang didapat atas jasa yang mereka lakukan dan selanjutnya UU ini juga diturunkan dalam peraturan pemerintah ini dari sisi kebijakan.
Maka pemerintah juga sudah mengeluarkan peraturan pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 itu sebagai pengganti peraturan nomor 36 tahun 2021.
Dari sisi kebijakan pemerintah, kata Prof. Wisnumurti, sebenarnya sudah memberikan perlindungan terhadap hak-hak buruh untuk dapatkan penghasilan yang layak.
Yang disebut penghasilan layak tentu dikembalikan ke masing-masing pemerintah daerah untuk mengatur lebih lanjut apakah itu dalam bentuk perda, pergub untuk provinsi dan perbup di kabupaten/kota.
“Dalam membuat peraturan ini maka pemerintah daerah wajib melibatkan pengusaha, pemerintah dan kelompok buruh itu bisa duduk bersama untuk rumuskan bersama apa yang dimaksud dengan kehidupan layak,” imbuhnya.
Kehidupan yang layak ini kaitannya dengan situasi dan kondisi daerah yang tentunya mempertimbangkan aspek ekonomi makro dan mikro di daerah masing-masing, sehingga akan ada perbedaan antara upah di tingkat provinsi atau antar kabupaten satu dengan yang lain.
Walaupun perbedaan ini mestinya tidak terlalu jauh antara satu dengan yang lainnya maka komponen-komponen yang diperhitungkan itu pertama kan tingkat produktivitas daerah kemudian perkembangan ekonomi daerah, kemudian angka inflasi daerah, kemudian kebutuhan buruh sendiri berkaitan dengan harga-harga yang dibeli di daerah masing-masing.
“Anggap saja kebutuhan pokok seperti beras, gula, apakah ada perbedaan di daerah satu dengan daerah lain sehingga menyebabkan adanya perbedaan tingkat kemurahan tenaga kerja antara yang satu dengan yang lain,” paparnya.
Apapun itu, lanjut Prof. Wisnumurti, prinsip dasarnya adalah bagaimana buruh ini bisa diperhitungkan tidak saja dirinya tapi juga keluarganya agar bisa mendapatkan kehidupan yang layak.
Maka paling tidak UMP bisa dipakai pedoman oleh daerah dalam menyusun UMK walaupun tidak bisa memastikan kemampuan perusahaan-perusahaan di daerah dalam memberikan upah yang layak.
Dari sisi pemerintah mengatur regulasi dan pengusaha mengatur kemampuan mereka membayar upah, dan dari sisi pekerja mereka mendapatkan upah yang layak.
Inilah pentingnya mereka harus duduk bersama merumuskan bersama-sama agar jangan di satu sisi ada ketidakadilan.
Ketika disinggung, pantaskah UMP Bali sebesar Rp 2,8 juta, Prof Wisnumurti mengatakan kita harus lihat standar minimal UMK yang harus diberikan mungkin ada perbedaan segmentasi pekerjaan yang mestinya juga harus diatur karena UMK itukan patokan umum.
Tipelogi perusahaan penting juga untuk tentukan pendapatan mereka.
Karena di Bali di samping ada hotel yang besar juga banyak sekali berkembang UMKM yang notabene memperkerjakan tenaga kerja.
“Kalau melihat kepantasan saya pikir secara makro Bali mestinya UMK-nya di atas rata-rata nasional karena daerah pariwisata dengan asumsi tenaga kerja banyak terserap di pariwisata. Tetapi logika kita disamping ada yang bergerak di sektor pariwisata juga ada UMKM yang melibatkan tenaga kerja. Paling tidak di atas Rp 3 juta lah asumsinya kalau 3 juta per bulan berarti 100 ribu per hari,” tandasnya.
Saat tenaga kerja mendapatkan upah Rp 100 ribu per hari dengan masa kerja 1 bulan dinilai sangat cukup terlebih lagi di Bali ada beban budaya yang harus mereka tanggung.
Jadi masyarakat Bali selain menanggung beban hidup juga harus menanggung budaya yang nilainya kalau dihitung per bulan relatif besar.
“Ini perlu masuk ke salah satu komponen perhitungan menyusun UMK di Bali, kenapa? Karena anggap Purnama Tilem setiap bulan dua kali, belum lagi odalan, belum lagi iuran banjar, suka duka. Ini yang memang perlu diperhatikan sebenarnya ada cara lain disamping UMK perusahaan bisa memberikan tunjangan sehingga take home pay bisa lebih dari mereka dapatkan dalam standar UMK. UMK itu kan take home pay bisa dihitungkan apakah tunjangan beras untuk keluarga, sehingga kebutuhan beras sudah tak dipikirkan dari gaji yang diterima atau tunjangan transport ini yang harus dimusyawarahkan,” tutupnya.
Kumpulan Artikel Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.