WWF di Bali
Banyak Pembangunan Cafe dan Restoran di Jatiluwih Bali, Status Warisan Budaya Terancam
Saat World Water Forum (WWF) 2024 berlangsung di Bali, beberapa delegasi juga sempat diajak berkunjung ke Subak Jatiluwih.
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA – Pembangunan Restoran dan Cafe mulai menjamur di kawasan Subak Jatiluwih, Tabanan, Bali.
Subak Jatiluwih sendiri telah mendapatkan status warisan budaya tak benda dari UNESCO pada 29 Juni 2012.
Tentunya hal ini akan berpengaruh pada status yang telah diberikan UNESCO.
Saat World Water Forum (WWF) 2024 berlangsung di Bali, beberapa delegasi juga sempat diajak berkunjung ke Subak Jatiluwih.
Baca juga: Sukses Siapkan Kendaraan Listrik dalam Ajang WWF di Bali, PLN Siagakan 104 Personil
Ismunandar selaku Duta Besar Wakil Delegasi Tetap RI untuk UNESCO mengatakan sebenarnya kearifan tradisional tidak hanya subak.
“Jadi bagaimana kita meng-kontekstualisasi lagi. Kalau zaman dulu mungkin berbagi dengan hasil panen sedikit-sedikit sekarang kan tidak cukup dengan itu karena hasil pariwisata yang kemudian harus melibatkan semua dan dibaginya lebih banyak lagi,” kata Ismunandar, Jumat 24 Mei 2024.
Sementara ketika disinggung terkait banyaknya pembangunan cafe dan restoran di seputaran Subak Jatiluwih, Ismunandar mengatakan perlu dilakukan penyadaran di masyarakat.
Terdapat dua sisi pemberian label status warisan budaya tak benda dari UNESCO yang pertama yakni dapat membantu untuk mempromosikan situs warisan dunia.
“Tapi di sisi yang lain adalah kewajiban kita memeliharanya kalau tidak memelihara dengan baik ya bisa saja status dicabut. Ada pelaporan berkala 2 tahun sekali. Kalau ada warga dunia yang melihat ini kok jadi rusak dari janji awalnya bisa ada pelaporan, yang lebih utama bagaimana kita menjaga bersama bukan nunggu laporan,” imbuhnya.
Saat WWF, subak di Bali memang disorot oleh UNESCO.
Peserta WWF di edukasi terkait bagaimana pengetahuan tradisional dari nenek moyang dan kebudayaan dalam kaitannya dengan manajemen air.
“Yang kurang saat ini kan kita menikmati kelimpahan air di hilir tapi lupa yang menjaga hutannya di hulu. Kemarin ada rekan-rekan penghulu adat di Bali yang menyebutkan bahwa kalau di budayanya mereka berbagi hasil-hasil dari penanaman di hilir dan mereka bagi juga di hulu,” tutupnya.
Kumpulan Artikel Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.