Kebakaran di Denpasar

Kakak Beradik Korban Gudang Elpiji Maut, Korban Tewas Kebakaran Gudang Gas di Denpasar Jadi 5 Orang

Jenazah kakak beradik itu dipulangkan oleh kerabat untuk dimakamkan di kampungnya di Mompol, Desa Golo Lajang

|
Tribun Bali/Adrian Amurwonegoro
Foto tangkapan layar media sosial kebakaran gudang gas di Jalan Cargo Permai, Denpasar, pada Minggu 9 Juni 2024 pagi -Kakak Beradik Korban Gudang Elpiji Maut, Korban Tewas Kebakaran Gudang Gas di Denpasar Jadi 5 Orang 

Laporkan pada APH. Begitu juga dari pihak Polri, tegakkan aturan para pengoplos elpiji.

"Jangan pandang bulu. Jangan biarkan terjadi kelangkaan di masyarakat. Hak masyarakat pra sejahtera itu dirampas oleh oknum pengusaha yang menggunakan elpiji 3 kg yang seharusnya tidak mereka gunakan," ujarnya.

Pada Keputusan Menteri ESDM nomor 37 tahun 2023 telah ditegaskan bahwa yang berhak menggunakan elpiji 3 kg yaitu rumah tangga prasejahtera, UMKM, nelayan dan petani sasaran.

Maka, di luar dari kelompok tersebut diharapkan tidak menggunakan.

"Siapa yang tidak boleh menggunakan LPG 3 kg? Hotel jangan sampai menggunakan LPG 3 kg, restoran, laundry/binatu, las, pembatikan, peternakan, tani tembakau, agar jangan menggunakan. Maka dari penyalurannya harus diawasi ketat di Bali," ujarnya.

Menurutnya, ke depannya penyaluran elpiji 3 kg harus diawasi lebih ketat.

Pertamina diharapkan tidak hanya menerapkan kebijakan penggunaan KTP pada setiap pembelian 3 kg, tapi juga disertai dengan pengawasan dan penindakan yang tegas.

"Kebijakan Pertamina dengan mewajibkan penggunaan KTP itu hanya pendataan by name by address, tapi klasifikasinya kan sudah jelas. Karena dari dulu kebijakan yang dibuat tidak tegas sehingga elpiji 3 kg salah sasaran," ungkapnya.

Menurutnya, yang jadi korban dari permainan ini adalah masyarakat pra sejahtera.

"Kasihan masyarakat mengalami kelangkaan. Padahal masyarakat disuruh membeli dengan KTP sekaligus didata. Jangan aturannya hangat-hangat tahi ayam," katanya. (sar)

Kriminolog Unud Desak Polda Bali Usut Tuntas

KRIMINOLOG Universitas Udayana (Unud) Bali, Prof Rai Setiabudhi turut angkat bicara mengenai kasus kebakaran gudang elpiji yang diduga menyimpan kejanggalan menjadi tempat praktik pengoplosan gas elpiji subsidi ke nonsubsidi.

Saat dihubungi Tribun Bali, Rabu 12 Juni 2024, Prof Rai mengaku mengikuti isu-isu kelangkaan elpiji.

Ia menyoroti dugaan pengoplosan itu harus benar-benar diusut tuntas dan transparan, apalagi menyebabkan belasan korban luka bakar dan 5 di antaranya tewas.

Tak berhenti di situ, dampak dari pelaku pengoplosan elpiji ini juga menyebabkan keresahan di masyarakat karena mengakibatkan kelangkaan di pasaran.

Memang dari hitung-hitungan, para pelaku pengoplosan ini bakal mendapat keuntungan lebih dari bisnis gelap yang "menggiurkan" tersebut.

Sebagai kriminolog, Prof Rai menegaskan pengoplosan itu merupakan perbuatan kejahatan atau kriminal.

Rata-rata elpiji 3 kg subsidi di pasaran dibanderol sekitar Rp 20 ribu. Kemudian 3 tabung gas 3 kg dioplos ke tabung gas 12 kg.

Dengan modal Rp 60 rb, kemudian dijual di kisaran harga Rp 200 ribu untuk gas 12 kg.

Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sudah mengeluarkan sinyal menemukan adanya temuan dugaan tindak pengoplosan elpiji di hotel dan kafe, melalui hasil sidak.

Temuan dugaan pengoplosan itu didapati melalui inspeksi mendadak (Sidak) pengawasan elpiji 3 kg bersubsidi di Jakarta, Bogor, Depok dan Bali.

Tim sidak menemukan harga Elpiji 12 kg dan 50 kg yang dijual jauh di bawah harga jual Pertamina, yang kemudian diindikasikan adanya dugaan tindak pengoplosan elpiji non subsidi dengan elpiji bersubsidi.

"Ya, saya mengikuti soal kelangkaan dan apalagi ada dugaan yang ngoplos sehingga isi tabung menjadi berkurang. Semua perbuatan itu adalah perbuatan jahat atau kejahatan, di mana pada prinsipnya perbuatan yang membahayakan dan atau merugikan adalah termasuk perbuatan jahat kriminal," kata Prof Rai.

Prof Rai mendesak Polda Bali untuk membuktikan dugaan pengoplosan dalam peristiwa kebakaran itu di samping menyelidiki penyebab terjadinya kebakaran, serta menindak pemilik usaha yang kabarnya sudah diperiksa polisi.

"Terhadap kasus kelangkaan gas dan mengoplos gas, bila itu terbukti, menimbun atau mengoplos gas, hal ini adalah perbuatan melawan hukum yang mesti segera ditindak dan disidangkan, dan diberikan sanksi pidana," tutur dia.

Profesor Unud ini mengatakan, sanksi pidana yang bisa dikenakan kepada pelaku usaha pengoplosan adalah ancaman penjara 5 tahun hingga denda Rp 40 miliar.

"Banyak sekali peraturan perundang-undangan yang dilanggar oleh perbuatan tersebut. Di antaranya melanggar KUHP termasuk mencuri, menipu, menadah, dan lain-lain, melanggar UU Perlindungan Konsumen UU No 8 tahun 1999 karena sangat merugikan konsumen yang sangat luas," paparnya.

"Juga melanggar UU tentang Minyak dan Gas Bumi UU No 22 tahun 2001. Jadi, sesungguhnya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan tersebut sanksinya sangatlah berat. Dapat dipidana penjara selama 4 sampai 5 tahun dan denda Rp 2 miliar hingga Rp 40 miliar," ujarnya.

Untuk menanggulangi hal tersebut terjadi, Prof Rai yang mendalami seluk beluk kriminalitas ini mengatakan, harus dilakukan tindakan yang tegas dalam penegakan hukumnya, dengan menjatuhkan sanksi maksimal sesuai dengan ancaman sanksi yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Setelah itu pencegahan preventif, dilakukan pengawasan yang ketat dari aparat penegak hukum terutama polisi, dan dari pihak Pertamina sebagai lembaga penanggung jawab penyedia elpiji, terutama pengawasan terhadap sub agen, maupun pedagang/pengecer elpiji.

"Saat ini pengawasannya sangat lemah dan kurang ketat," ungkapnya.

Di masyarakat juga beredar isu praktik pengoplosan yang "dibekingi" atau dilindungi pihak tertentu dalam kegiatan usahanya. Mengenai hal itu, Prof Rai tak ingin berspekulasi.

Menurutnya, hal itu harus benar-benar dibuktikan terlebih dahulu, namun hal itu harus ditanggulangi agar praktik pengoplosan "dihanguskan".

"Soal muncul isu, soal praktik gelap ada yang membekingi, itu kan isu. Belum tentu kebenarannya. Semua harus dibuktikan atau ada buktinya. Janganlah terlalu percaya pada isu, sebelum ada bukti. Yang penting sekarang bagaimana cara menanggulangi agar praktik-praktik seperti itu, kedepan tidak lagi terjadi," katanya. (ian)

Kumpulan Artikel Denpasar

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved