Berita Nasional

Gratifikasi dari Perspektif Filosofi Pancasila dan Membangun Peradilan Korupsi yang Holistik

Gratifikasi dari Perspektif Filosofi Pancasila dan Membangun Peradilan Korupsi yang Holistik

Istimewa
Agus Widjajanto 

Salah satu negara yang menolak menandatangani konvensi internasional tentang gratifikasi adalah Jepang, karena sudah menjadi tradisi budaya setempat.

Walaupun begitu, Jepang adalah negara yang tingkat korupsinya sangat  rendah. 

Di negara kita pun, sudah menjadi tradisi turun temurun sejak zaman kerajaan - kerajaan sampai sekarang, memberikan sesuatu sebagai ucapan terima kasih, menghadiahkan sesuatu dalam acara seperti pernikahan, ulang tahun, meninggal dunia, membalas budi baik orang, menghargai kinerja orang yang berprestasi, dan lain sebagainya adalah budaya masyarakat kita.

Tepatnya lebih pada persoalan sopan santun, etika, moral.

Dalam pergaulan bersama di masyarakat, orang tua sering mengingatkan soal etika, seperti ucapan, terima kasih, tolong dan mohon maaf.

Adalah dinilai tidak beretika, ketika orang sudah dibantu, tapi tidak ada ucapan terima kasihnya dari orang yang dibantu.

Ungkapan terima kasih itu bisa disampaikan secara verbal atau dalam bentuk pemberian sesuatu sebagai wujud apresiasi.

Jadi bukan soal pamrih atau tidak pamrih, namun, sekali lagi lebih pada soal etika.

Adanya larangan gratifikasi (dengan beragam bentuk dan jenisnya) dalam Undang-Undang  Tipikor justru tidak sesuai dengan tradisi, budaya, adat, etika dalam kehidupan bermasyarakat yang sudah berlangsung turun menurun.

Apakah kemudian hal itu, dengan memasukan gratifikasi dalam Undang-Undang Tipikor sebagai suatu tindak korupsi bagi pejabat/ASN, pegawai pemerintahan kemudian bisa menghilangkan korupsi di Indonesia?

Dikaitkan dengan filsafat Pancasila dimana adalah konsep pemikiran yang berfokus pada nilai-nilai dasar yang menjadi panduan dalam kegidupan berbangsa dan bernegara, salah satu sila dari Pancasila yakni sila kelima berbunyi "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia".

Keadilan disini tentu bisa berbeda dari sudut pandang masing masing, yang pada prinsipnya mempunyai makna adil terhadap sesama dan menghormati hak-hak masyarakat Indonesia secara etika dan adat yang ada. 

Apabila dikaitkan dengan gratifikasi yang merupakan bentuk pemberian atau hadiah sebagai rasa terima kasih atas bantuan dari seseorang kepada orang lain yang sudah menjadi budaya luhur dari orang Indonesia, sebagaimana budaya orang Jepang, maka gratifikasi harusnya tidak masuk dalam klasifikasi delik pidana. 

Namun jikalau didalam aturan hukum formil sesuai Undang-undang Tipikor yang telah memasukan gratifikasi sebagai perbuatan pidana bagi Pejabat Negara/ASN, Pegawai Pemerintah, Penegak Hukum, maka maknanya jadi berbeda.

Dimana suatu tindakan korupsi dianggap sebagai tindakan penyekewengan dari sila kelima dari Pancasila yang dapat menyebabkan ketidak adilan antar pemerintah dan masyarakat serta ketidak adilan terhadap negara.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved