Berita Nasional

Gratifikasi dari Perspektif Filosofi Pancasila dan Membangun Peradilan Korupsi yang Holistik

Gratifikasi dari Perspektif Filosofi Pancasila dan Membangun Peradilan Korupsi yang Holistik

Istimewa
Agus Widjajanto 

Remunerasi hakim di Inggris dinaikan hingga 500 persen, agar para hakim tidak lagi terpengaruh iming-iming para pihak dalam perkara. Mendirikan komite khusus di parlemen yang tugasnya memeriksa laporan keuangan negara yang terdiri dari 7 orang yang mempunyai integritas dan kapabilitas mumpuni, di angkat dan disumpah langsung oleh Raja Inggris.

Terpenting menurut Peter Caray, adalah menggalakan revolusi mental  dengan cara pendekatan agama dan filsafat ultilarianisme, yaitu memaksimalkan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.

Doktrin ultilarianisme di populerkan oleh Jeremi Bhetam dan adiknya Samuel Bhetam yang menitik beratkan pada efisiensi, persahabatan dan integritas dalam pemerintahan.

Hal ini patut jadi pembelajaran bagi bangsa ini kedepan, khususnya revolusi mental. 

Kedua negara ini memiliki sistem yang kuat, tranparan dan akuntabel, ditangani oleh pihak yang benar benar independen. 
Sementara Indonesia, walaupun  sudah memiliki lembaga Ombudsman, KPK, Kejaksaan Agung dan Bareskrim Polri, tetapi struktur hukum tersebut belum bisa menekan korupsi. Sebaliknya, tidak jarang terjadi peradilan yang aneh, perdata dijadikan pidana, kepentingan politik dibawa ke ranah hukum. 

Apabila saat ini penegak hukum lebih berorientasi pada kepentingan untung rugi (dagang), keadaan ini mirip dengan tontonan atas peradilan di Amerika, sebagaimana dikatakan William T. Pizzi, pakar hukum Amerika dalam pembelaannya yang sangat fenomenal yakni,  Trial Without Trust (peradilan sesat). 

Ada beberapa hal menjadi pemicu kondisi tersebut antara lain: 

1. Sistem. Kita mempunyai sistem yang sangat menunjang terjadinya korupsi, salah satunya adalah sistem pemilu langsung, untuk Pemilu Kepala Daerah maupun Presiden. Dengan biaya/ cost yang begitu tinggi, sehingga antara modal dengan pendapatan sangat tidak berimbang, memberi upaya untuk melakukan korupsi. Hal ini seperti lingkaran setan yang tidak mungkin dicegah oleh penegak hukum, maka tidak heran banyak kepala daerah terjerat kasus korupsi

2. Budaya. Korupsi sulit diubah karena kondisi ekonomi yang diakibatkan sistem yang membuat kesejahteraan tidak merata, sehingga yang kaya makin kaya, yang miskin tetap saja miskin. Fakta yang bertentangan dengan cita-cita Proklamasi dan esensi Kontitusi kita. 

3. Peraturan perundang-undangan, yang kadang ambivalen/tidak tegas, baik tujuan pencegahan maupun dalam penindakan. Contohnya Pasal 4 UU Tipikor yang berbunyi: "Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapus dipidananya pelaku tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan 3."

Konsekuensi bunyi pasal tersebut membuat para koruptor cenderung memilih pasang badan ketimbang menyerahkan kerugian baik berupa gratifikasi maupun hasil korupsinya. 

Hal ini merintangai upaya pengembalian kerugian negara. Lain halnya apabila pasal tersebut berbunyi, “Apabila pelaku tindak pidana korupsi telah mengembalikan kerugian negara atau perekonomian negara, maka dapat dipertimbangkan dan/atau tidak akan dituntut pidana”.

Begitu pula sebaliknya, “Apabila ternyata terbukti tidak mau mengembalikan kerugian negara dan atau perekonomian negara, pelaku akan dijatuhi pidana maksimal beserta denda disertai perampasan seluruh aset miliknya". 

Seperti apa yang pernah dikatakan oleh Guru Besar Hukum Dari Universitas Padjadjaran Bandung, Prof Dr I Gde Pantja Astawa, Kalau berbicara tentang "common enemy" (musuh bersama), masing-masing rezim pemerintah yang berkuasa, berbeda beda. Misalnya, antara pemerintah Orba dan pemerintahan pasca reformasi sampai sekarang.

Pada masa Orba, 'common enemy" nya adalah (Partai) KOMUNIS (Indonesia), sedangkan rezim pasca reformasi hingga saat ini 'common enemy' nya KORUPSI. Walaupun common enemy pada masa Orba adalah Komunis, tidaklah lantas berarti bahwa pada zamannya tidak ada korupsi.

Bedanya, kalau pada masa Orba korupsi dilakukan "di bawah meja" birokrat, pungli, sedangkan sekarang  mejanya sekalian di korupsi saking ganasnya korupsi yang terjadi saat ini.

Dengan kata lain Korupsi masa kini sudah sistemik, sudah menjelajah dan merasuki berbagai bidang kehidupan. Karena sudah sistemik, tentu upaya menanganinya tidak bisa dilakukan secara parsial, reaktif, pilih kasih dan di "framing" (karena berbagai alasan yang berujung pada kepentingan kekuasaan), tapi harus dilakukan secara holistik, komprehensif, menyeluruh dengan membangun SISTEM yang berbasis pada budaya bangsa, Pancasila, UUD 1945 dan hukum positif yang ada. Kalau hendak membangun Sistem (yang tidak korup), dapat menggunakan pendekatan Sistem Lawrence Friedman, yaitu :

1. Legal Structure - Khususnya Badan atau Aparat Penegak Hukum yang dibangun harus bersih dan berintegritas (Polisi, Jaksa, KPK). 

2. ⁠Legal Substance - Hukum positif yang hendak dibuat harus sedemikian rupa substansinya menutup peluang terjadinya korupsi

3. ⁠Legal Culture - Harus berbasis pada budaya dan Idiologi negara, Pancasila sebagai "filter", mana model pemberantasan korupsi di negara lain bisa diadopsi dan mana yang tidak perlu diadopsi, termasuk konvensi-konvensi internasional tentang korupsi, TPPU dan gratifikasi, yang bisa di adopsi dan yang tidak perlu diadopsi. Semuanya itu disesuaikan dengan Budaya dan Filsafat Pancasila

Selama ini praktek pemberantasan korupsi masih berkutat atau berpusar pada hal-hal yang sangat tidak substansial, bahkan cenderung atau bertedensi "cari Panggung" (istilah anak-anak muda "Pansos - Panjat Sosial"), reaktif, tidak berdasar pada sistem masing-masing aparat penegak hukum bergerak sendiri-sendiri dengan model dan stylenya yang berbeda. 

Tidak ada sinergitas, masing-masing lebih mementingkan ego sektoralnya dan memandang sesama Aparat Penegak Hukum sebagai rival. 

Maka, perlu kemauan bersama untuk memperbaiki, baik dari segi sistem, mental maupun politik dari pemegang kebijakan, baik pemerintah, DPR, maupun para penegak hukum.  Dengan rendahnya tingkat korupsi tentu akan bermanfaat bagi seluruh masyarakat dan negara untuk kesejahteraan bersama. 

 

Penulis: Agus Widjajanto

Praktisi Hukum, pemerhati  Sosial budaya dan Sejarah bangsanya , saat ini sedang menempuh pendidikan S3 Ilmu Hukum Di Universitas Padjajaran Bandung

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved