Berita Karangasem

Awig-awig Ihwal Pelestarian Hutan di Bali, Menhut & Wamenbud Giring Dukung Target FOLU Net Sink 2030

Yakni dengan menciptakan kondisi lahan dan hutan menyerap lebih banyak emisi karbon dari pada yang dilepaskan.

Tribun Bali/Eka Mita Suputra
PELESTARIAN - Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni bersama Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha di sela-sela pembukaan Youth Impact Weekend di Samsara Living Museum, Desa Jungutan, Karangasem, Jumat (6/12). 

TRIBUN-BALI.COM  - Awig-awig diharapkan menjadi ujung tombak bagi pelestarian hutan di Bali. Di tengah masifnya pengaruh industri pariwisata serta perubahan iklim yang semakin nyata.

Hal ini menjadi fokus perhatian Menteri Kehutanan (Kemenhut) RI, Raja Juli Antoni saat mengunjungi Samsara Living Museum, di Desa Jungutan, Kecamatan Bebandem, Kabupaten Karangasem, Jumat (6/12).

Ia menyoroti bagaimana aturan adat memiliki peran yang kuat dalam pelestarian hutan. Terutama untuk mendukung target pemerintah, FOLU Net Sink 2030. FOLU Net Sink 2030 merupakan target pemerintah pusat untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan mengendalikan perubahan iklim. 

Yakni dengan menciptakan kondisi lahan dan hutan menyerap lebih banyak emisi karbon dari pada yang dilepaskan.

Baca juga: BERANTAS Korupsi Tidak Hanya OTT, KPK Sosialisasi Lewat Seni dan Film Lewat ACFFEST 2024

Baca juga: SEKDA Budiasa Tegaskan Jembrana Siap Dukung Terwujudnya Asta Cita 

“Saya percaya desa dengan tradisi dan budayanya, memiliki aturan adat yang mengikat masyarakat. Sehingga sangat efektif jika dikaitkan untuk menjaga hutan dan lingkungan,” ujar Raja Juli Antoni di sela-sela acara pelestarian hutan melalui pendekatan pariwisata berbasis budaya di Samsara Living Museum, Jumat (6/12).

Ia mencontohkan, para pelaku penebang hutan liar terkadang tidak jera walau telah mendapatkan hukuman penjara. Justru yang efektif penerapan sanksi sosial dari sanksi adat. Hal ini yang justru membuat masyarakat adat secara kolektif menjaga hutan.

 “Kalau di Bali kan ada awig, itu AD/ART di desa adat. Ini bisa memberikan sanksi sosial apabila ada warga merusak hutan. Hal seperti ini yang menurut saya sangat efektif,” ujarnya.
Aturan adat ini modelnya bukan legal formal dari negara, tetapi kesepakatan antarwarga yang ada di wilayah tersebut, dengan sanksi yang berbeda disesuaikan dengan wilayah masing-masing.

“Jika awig atau aturan adat ini dikontekstualisasi dengan tantangan perubahan iklim saat ini, tentu akan sangat membantu kami dalam mencegah kerusakan hutan,” ungkap dia.

Sehingga ke depan ada kolaborasi antar lembaga, hingga masyarakat di tingkar adat untuk mencapai target FOLU Net Sink 2030. “Tanpa kolaborasi semua pihak, saya rasa apa yang kita targetkan bersama, tentu akan sulit tercapai,” ungkap Raja Juli Antoni. 

Acara pelestarian hutan melalui pendekatan pariwisata berbasis budaya di Samsara Living Museum juga dihadiri Wakil Menteri Kebudayaan (Wamenbud) RI, Giring Ganesha dan beberapa undangan terkait. Giring pun mengingatkan masyarakat Bali untuk tetap berpedoman pada kearifan lokal Tri Hita Karana, dalam konteks menjaga hutan lingkungan, berlandaskan budaya.

“Tri Hita Karana, ada Parhyangan bagaimana menjaga hubungan dengan tuhan. Bagaimana tradisi leluhur, yang meyakini Tuhan selalu menjaga hutan di sini. Pawongan, hubungan antarmanusia melalui kesadaran kolektif untuk melestarikan huran dan lingkungan. Serta Palemahan, menjaga keseimbangan dengan alam, melalui konservasi hutan berbasis budaya,” jelas Giring. (mit)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved