Berita Bali

Ada Apa Dengan Pendidikan di Bali? Putus Sekolah 200 Siswa, Tak Bisa Baca 400 Siswa

Menurutnya, tanpa pemetaan masalah yang jelas, intervensi atau solusi yang diberikan bisa saja tidak tepat sasaran.

istimewa
ILUSTRASI - Ada Apa Dengan Pendidikan di Bali? Putus Sekolah 200 Siswa, Tak Bisa Baca 400 Siswa 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Kasus ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) tak bisa membaca di Kabupaten Buleleng menyita perhatian banyak pihak. 

Kasus ini bahkan sudah menjadi sorotan nasional, sebab jumlah siswa yang tak bisa membaca sentuh angka 400-an siswa. 

Tanggapi hal tersebut, Ketua Komisi Penyelenggara Perlindungan dan Pengawasan Anak Daerah (KPAD) Bali, Ni Luh Gede Yastini menilai kondisi tersebut sangat memprihatinkan dan perlu ditindaklanjuti dengan langkah konkret.

“Kondisi ini memang sangat memprihatinkan bagi dunia pendidikan kita karena angka yang diberitakan juga cukup tinggi, namun demikian kami berharap agar dilakukan assessment lebih dalam terkait kondisi ini,” ucapnya, Senin 21 April 2025. 

Baca juga: Kuota Jalur Afirmasi SMP di SPMB 2025 Naik, Untuk Siswa Kurang Mampu dan Disabilitas di Denpasar

Ia menekankan pentingnya pendalaman lebih lanjut terhadap faktor-faktor penyebab ketidakmampuan membaca pada anak-anak. 

Menurutnya, tanpa pemetaan masalah yang jelas, intervensi atau solusi yang diberikan bisa saja tidak tepat sasaran.

“Mengenai anak tidak bisa membaca, apa faktor penyebabnya yang harus lebih digali lagi dan dipastikan sehingga intervensi atau langkah penanganan/solusi bisa dilakukan tepat sasaran dan efektif,” imbuhnya.

Yastini menggarisbawahi bahwa ada tiga aspek utama yang harus diperhatikan dalam penanganan kasus tersebut. 

Pertama, kondisi anak, termasuk kemampuan baca tulis dan hal-hal yang mungkin menjadi hambatan seperti faktor psikologis. 

Kedua, lingkungan keluarga yang semestinya berperan besar dalam mendukung pembelajaran anak. 

Ketiga, peran sekolah dalam memastikan akses pendidikan yang berkualitas bagi semua siswa.

“Dalam penanganan ini juga ada 3 aspek yang menurut kami harus diperhatikan,” katanya.

Pertama, kondisi anak. Sejauh mana kemampuan baca tulisnya termasuk kondisi yang menghambat anak, misalnya kondisi psikologis atau ada hal lain.

Kedua, kondisi keluarga. Hal ini karena sangat penting sebagai bagian yang harus dapat mendukung anak dalam pembelajaran dan memberikan motivasi bagi anak.

Kemudian yang ketiga, yakni lingkungan sekolah. 

“Bagaimana komitmen sekolah dalam memberikan perhatian kepada anak memberikan pendidikan berkualitas pada semua anak,” terangnya.

Diketahui, kondisi ini mencuat usai adanya laporan yang menyebutkan ratusan siswa di sejumlah SMP di Buleleng tidak dapat membaca secara lancar. 

Dugaan sementara mengarah pada dampak pembelajaran daring selama pandemi Covid-19 yang menyebabkan terkendalanya akses dan kualitas pendidikan di daerah.

“Kami sejauh ini fokus pada anak putus sekolah dan kalau laporan belum pernah ada laporan kasus anak tidak bisa membaca ke KPAD. Makanya belajar dari kasus ini, ke depan kami akan koordinasi juga terkait hal ini dengan dinas pendidikan kabupaten/kota,” tutupnya. 

Sebelumnya, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Bali pencatatan data putus sekolah di Bali masih belum maksimal terhitung. 

Ketua KPAD Bali, Ni Luh Gede Yastini saat ditemui, Jumat 17 Januari 2025, mengatakan pihaknya sempat menggali data ke dinas-dinas berkait pendidikan di Kabupaten/Kota.

“Faktanya bahkan ada dinas yang menyebutkan tidak ada putus sekolah. Padahal di situ ada perkawinan usia anak. Kemudian juga anak hamil yang tidak diharapkan otomatis akan putus sekolah. Dan itu tidak mendapatkan perhatian oleh pemerintah maupun oleh masyarakat,” jelas Yastini. 

Terjadinya putus sekolah ini harus dilihat juga dari hulunya. Putus sekolah ini banyak terjadi di Kabupaten Karangasem

Bahkan KPAD Bali sempat bersinergisitas untuk melakukan penelitian dengan Fakultas Kedokteran yang meneliti tentang aspek kesehatan anak dan masyarakat. 

“Begitu dilakukan penelitian ditemukan anak putus sekolah sampai di atas 200 agak terfokus satu Desa. Dan desa itu memang terkenal dengan kondisi sosial ekonomi yang ya cukup parahlah. Dan itu faktornya juga kompleks,” imbuhnya. 

Desa tersebut adalah Desa Munti, Karangasem

Kebanyakan data yang didapat merupakan anak yang putus sekolah di tengah jalan. 

Sementara yang lainnya terdapat data tidak tercatat di antaranya anak selesai sekolah setelah SD tidak tercatat serta anak usia sekolah tidak sekolah.

Kumpulan Artikel Karangasem

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved