Berita Bali

ADA APA? Turis Naik Tapi Okupansi Hotel Terjun 20 Persen di Bali, Dampak Turis Nginap di Vila Ilegal

Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mencatat penurunan okupansi sebesar 10-20 persen di awal tahun 2025 dibandingkan tahun-tahun

Pixabay
ILUSTRASI - Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mencatat penurunan okupansi sebesar 10-20 persen di awal tahun 2025 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal, jika dilihat dari data kedatangan wisatawan ke Bali seharusnya jumlah okupansi meningkat.  

TRIBUN-BALI.COM  – Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali mencatat penurunan okupansi sebesar 10-20 persen di awal tahun 2025 dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Padahal, jika dilihat dari data kedatangan wisatawan ke Bali seharusnya jumlah okupansi meningkat. 

“Kalau kita lihat ya dari jumlah kedatangan wisatawan setiap tahun itu khususnya di bulan Januari, Februari, Maret itu harusnya okupansi itu naik kalau kita lihat. Ini ternyata, saya bilang antara stagnan malah turun. Jadi bisa antara 10-20 persen itu ternyata sekali turun di tahun 2025. Terbaru ya,” ungkap Sekjen PHRI Bali, Perry Markus, Selasa (29/4). 

Ia mengungkapkan, stagnasi bahkan penurunan okupansi terjadi hampir merata di seluruh Bali, termasuk di hotel-hotel anggota PHRI yang berjumlah sekitar 380-an hotel. “Iya hampir sama. Di seluruh akomodasi yang ada khususnya hotel-hotel berbintang,” ujar Perry.

Okupansi hotel mengalami penurunan menimbulkan tanda tanya. Disinyalir ‘turis siluman’ ini menginap di akomodasi ilegal milik rekannya yang juga merupakan Warga Negara Asing (WNA) seperti di vila dan homestay. Hal tersebut jelas merugikan akomodasi menginap berizin.

Pihaknya kembali mendesak Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali untuk turun tangan menertibkan keberadaan akomodasi ilegal yang semakin marak. Perry  menegaskan bahwa keberadaan akomodasi tanpa legalitas telah merugikan hotel-hotel resmi di Bali, terutama dari segi okupansi dan pendapatan.

Baca juga: DPRD Badung Apresiasi Mercure Kuta yang Taat Dalam Bayar Pajak!

Baca juga: DPRD Badung Sidak Eden Hotel, Terkait Administrasi Perizinan, Infrastruktur dan Perpajakan

“Jelas bahwa untuk akomodasi atau hotel yang sudah mempunyai legalitas resmi pasti merasa sangat dirugikan dengan yang tidak mempunyai legalitas atau illegal,” ungkapnya. 

Menurut Perry, saat ini terdapat ketidaksesuaian antara peningkatan kedatangan wisatawan mancanegara dengan tingkat hunian hotel berbintang di Bali. Meski jumlah wisatawan meningkat, tingkat okupansi justru stagnan bahkan menurun. “Ternyata wisatawan ini akhirnya menginap di akomodasi-akomodasi yang tadi sudah disampaikan. Terserap ke sana. Jelas pasti dirugikan dengan hal itu,” paparnya.

PHRI mencatat bahwa sulit untuk memverifikasi jumlah pasti akomodasi ilegal karena sifatnya yang tidak tercatat. Untuk itu, Perry mengatakan pihaknya tengah berupaya bekerjasama dengan Online Travel Agent (OTA) agar hanya akomodasi legal yang dapat bermitra.

“Saya sudah bicara juga dengan teman-teman di Online Travel Agent. Agar di Online Travel Agent bisa akomodasi yang bekerja sama dengan OTA bisa menjadi anggota PHRI atau akomodasi yang ilegal, yang legal. Sehingga kita bisa tahu,” jelasnya.

Perry menambahkan, berdasarkan data dari Dinas Perizinan Terpadu, terjadi pergeseran investasi di Bali. Jika sebelumnya investasi didominasi sektor hotel dan restoran, kini beralih ke perumahan, yang kemudian dialihfungsikan menjadi vila dan akomodasi menginap.

“Perumahan artinya apa? Berarti banyak orang membangun perumahan. Tetapi, kita khan nggak lihat. Bukan perumahan yang dalam arti perumahan untuk tempat tinggal. Jadi, intinya perumahan yang tadi itu perumahan yang kemudian dialihkungsikan menjadi akomodasi,” katanya.

Selain maraknya akomodasi ilegal, Perry juga menyebut pemotongan anggaran pemerintah untuk kegiatan Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition (MICE) sebagai faktor lain yang memperparah penurunan okupansi. “Pengaruh itu adalah pengaruh dari pemotongan anggaran. Ya terutama khususnya MICE yang ada,” katanya.

Perry mengingatkan, penurunan tingkat hunian tidak hanya berdampak pada pelaku usaha hotel, tetapi juga mengancam keberlangsungan ekosistem pariwisata Bali. Jika terus dibiarkan, persaingan tidak sehat bisa terjadi dan berdampak luas, termasuk terhadap penerimaan pajak dari sektor hotel dan restoran. “Kalau dia tidak berizin, berarti tidak bayar pajak. Banyak hal. Jadi implikasinya, multiplier efeknya pasti ke mana-mana,” tegasnya.

Menanggapi hal tersebut, digelar rapat koordinasi optimalisasi regulasi dan pengawasan sektor akomodasi di Provinsi Bali yang berlangsung di Kantor Dinas Pariwisata (Dispar) Provinsi Bali pada, Senin (28/4). 

Pada rapat tersebut juga membahas vila, hotel hingga homestay yang disebut tidak memiliki izin pariwisata akan dilakukan pendataan. Dengan demikian akomodasi pariwisata di Bali bisa terdaftar sehingga bisa memberikan pendapatan pada daerah. 

Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata, Rizki Handayani Mustafa mengatakan, pihaknya sedang mengkaji data resmi Badan Pusat Statistik (BPS) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) terkait adanya akomodasi yang tidak resmi atau berizin di Bali.

Menurutnya masih ada perbedaan data di lapangan sehingga masih perlu dilakukan identifikasi akomodasi yang belum berizin.  Terkait pendataan nantinya akan dilakukan koordinasi dan disepakati tindak lanjutnya bersama dengan pemerintah daerah dan pusat. 

“Terkait akomodasi yang belum resmi kami baru ada data BPS dan BKPM yang kita sedang kaji karena ada perbedaan di lapangan. Ada ribuan perbedaan dan masih dilakukan identifikasi,” jelas, Rizky. 

Di sisi lain, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung mulai melakukan pendataan terkait dengan keberadaan rumah mewah dan kos-kosan yang menampung WNA. Vila yang berkedok rumah mewah itu pun, kini mulai menjamur untuk menghindari pengenaan pajak.

Bahkan dari informasi sebelumnya ada ratusan rumah mewah yang berkedok vila sudah dibangun di Badung. Bahkan kini Badan Pendapatan Daerah Kabupaten Badung juga akan melakukan pendataan yang bekerjasama dengan pemerintah desa.

Bupati Badung I Wayan Adi Arnawa mengakui jika di Kabupaten Badung banyak vila yang berkedok rumah mewah. Pihaknya menduga, semua itu dilakukan untuk menghindari pengenaan pajak. “Kita akan data kembali terkait keberadaan vila yang berkedok rumah mewah itu. Bahkan kita akan membuat regulasi terkait dengan hal tersebut,” ujarnya.

Diakui, kos-kosan dan rumah mewah berkedok vila ini menjadi perhatian serius pemerintah, sehingga wisatawan asing yang menempati dapat dikenakan retribusi. “Hal ini bukan pekerjaan rumah yang bisa dilakukan dengan cepat. Kami akan lakukan secara bertahap,” tegasnya.

Wakil Bupati Badung Bagus Alit Sucipta juga mengatakan hal yang sama. Pihaknya mengaku jika keberadaan kos-kosan dan rumah mewah ini harus segera ditata agar tidak berpengaruh terhadap kualitas pariwisata Badung.

“Kalau seperti ini terus, yakni banyak wisatawan asing datang ke Badung, tapi tidak ada kontribusi yang masuk ke daerah. Hal ini harus dicarikan jalan keluarnya. Jadi ke depan Badung akan menuju quality tourism. Pintu gerbangnya di Badung dan semestinya pajak dari mereka itu bisa maksimal,” terangnya. (sar/gus)

Identifikasi Izin Akomodasi via OSS

Deputi Bidang Industri dan Investasi Kementerian Pariwisata, Rizki Handayani Mustafa menjelaskan, terkait pengurusan perizinan akomodasi dengan Online Single Submission (OSS) yang diduga menjadi penyebab tak terkendalinya pembangunan di Bali, dia juga mengatakan telah diidentifikasi dan akan diajukan ke BKPM. 

“OSS tujuannya untuk mempermudah tapi di lapangan ada beberapa kasus sehingga perlu didiskusikan kembali. Seperti KBLI (Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia) kalau kita lihat, permukiman itu untuk perumahan. Perizinannya tidak salah tetapi pemakaiannya yang salah, sehingga perlu diawasi,” kata dia. 

Demikian ke depan setelan pendataan ini rampung, akomodasi yang belum berizin akan diarahkan untuk mengurus izin atau teregistrasi untuk akomodasi pariwisata. Dengan demikian pemetaan akan jumlah akomodasi pariwisata di Bali bisa dilakukan.

Sementara itu, Kepala Dispar Bali, Tjokorda Bagus Pemayun mengatakan Bali sudah memiliki Perda terkait dengan bagaimana bangunan dan sebagainya. Tentu ini akan menjadi atensi dari pemerintah provinsi Bali untuk menindak hal-hal yang begitu.

“Karena bagaimanapun juga wisatawan asing datang ke Bali, tadi kan saya sebutkan bagaimana kita melihat keindahan Bali, orangnya dan budayanya. Budaya itu dalam artian semua bangunannya dan sebagainya,” kata Tjok Pemayun. 

Sementara itu, Bali Villa Rental and Management Association (BVRMA) mendukunga Pemkab Badung melakukan pendataan akomodasi illegal. “Sebenarnya, sudah sejak lama kami menantikan kebijakan tegas dari pemerintah terkait pendataan, penertiban, pembinaan, dan pengawasan terhadap akomodasi non-resmi ini. Karena ini sangat merugikan kita,” ujar Ketua BVRMA, Kadek Adnyana beberapa hari lalu.

Pihaknya mengakui saat ini banyak properti mewah yang disewakan secara komersial tanpa izin operasional yang jelas. Hal ini tidak hanya merugikan pelaku usaha vila rental dan manajemen yang taat aturan, tetapi juga menciptakan persaingan tidak sehat.

“Harga sewa yang ditawarkan jauh lebih murah, karena mereka tidak mengikuti standar kualitas layanan, tidak membayar pajak, dan tidak memiliki kewajiban legal sebagaimana pelaku usaha resmi,” jelasnya.

Adnyana mengakui jika transaksi sewa sering dilakukan melalui platform online dan pembayaran dilakukan di luar negeri. Para wisatawan datang ke Bali dengan alasan sebagai teman atau kerabat pemilik properti, sehingga menghindari deteksi sebagai wisatawan komersial.

Pihaknya mengaku, jika hal ini terus dibiarkan, tidak hanya industri vila rental yang merugikan, tetapi juga negara yang kehilangan potensi pajak yang signifikan. (sar/gus)

 

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved