Berita Nasional

Lahirnya Pancasila dan Sejarah Para Pendiri Bangsa dalam Konsep Ketatanegaraan

Lahirnya Pancasila dan Sejarah Para Pendiri Bangsa dalam Konsep Ketatanegaraan

istimewa
Agus Widjajanto. 

Diterjemahkan oleh Soepomo sebagai bentuk ketertarikannya  dengan sistem pemerintahan Jepang dalam bentuk Tenno - Haika dan Jerman saat itu, tidak semuanya tepat walau tidak salah, dimana Jepang sebagai negara feodal dengan Raja sebagai poros paling atas kekuasaan.

Menurut Soepomo, sistem pemerintahan seperti ini sama persis dengan sistem kepemimpinan dalam pemerintahan di Jawa yang menggunakan model Kawulo Manunggaling Gusti. 

Diterapkan dalam pemerintahan kerajaan Mataram Islam di Jawa yang mengadopsi sistem pemerintahan pada Kerajaan Majapahit, dimana Raja sebagai Gusti atau kepala negara dengan perangkat wakilnya Perdana Menteri sebagai kepala pemerintahan. 

Soepomo menolak konsep individualisme barat, sesuai rujukan dari filsuf Inggris, Jeremy Bentham. Menurut Soepomo, konsep individualitas ala barat bertentangan dengan struktur masyarakat desa yang merupakan soko guru untuk cermin struktur masyarakat yang lebih luas seperti negara.

Bentuk paling ideal dan orisinil adalah dari sistem penyatuan antara Kawulo (rakyat) dengan pemimpin (Gusti). Masyarakat Desa Adat merupakan referensi paling sempurna dan orisinil bagi Soepomo dalam sistem pemerintahan kita dari sudut sistem ketatanegaraan.

Dimana, dalam negara integralislis ala pemerintahan Desa, tidak ada pertentangan dan selalu ada Harmono kepentingan. Ini karena negara dikelola secara kekeluargaan, layaknya sebuah keluarga harmonis. Negara Integralistik  dalam perspektif  Soepomo berakar dari struktur sosial masyarakat desa, dimana setiap orang dan golongan memiliki tempat dan kewajiban sendiri sendiri sesuai kodratnya.

Marsilam Simanjuntak  dalam studi yang sangat impresif soal konsep Negara Integralistik, dalam bukunya, Marsilam menguraikan bagaimana Sorpomo "membayangkan" hal sistem dan ketatanegaraan. Marsilam fokus pada kohesitas gagasan Soepomo dengan pemikiran Hegel, yang mana menurut penulis, aliran dan pendapat  dari Benedict Spinoza  dan Adam Muller serta George W.F .Hegel, bukan merupakan rujukan dan memberi  pengaruh kepada Soepomo dalam mengusulkan ide Negara Integralistik.

Sebagai seorang bangsawan Keraton Kasunanan Surakarta, Soepomo mengambil contoh dari kehidupan sistem pemerintahan kerajaan Mataram Islam dan Majapahit dalam pemerintah Desa - Desa adat, yang di konseptualkan dalam sistem terbentuk nya sebuah negara baru yang bernama Indonesia. Kebetulan lulusan pendidikan hukum di Belanda, pendapat para filsuf Eropa pada abad ke-18  dan 19 hanya sebagai referensi,  perbandingan pandangan. 

Pada era kini dalam era Reformasi, ide terbentuknya Negara Integralistik dari Soepomo dan tulisan Mpu Tantular dalam Kakawin Nagara Kertagama yang menggambarkan situasi dan sistem kekuasaan saat itu, dan terbentuknya Kontitusi dan Dasar Negara Pancasila saat Indonesia Merdeka, telah dirombak total melalui amandemen sampai empat kali yang jujur penulis katakan sudah kehilangan Ruh dan jati diri serta arah tujuan sebagai bangsa sesuai  UUD 1945 saat berlaku nya Dekrit Presiden 5 juli 1959. 

Pada masa Orde Baru, memang tidak semuanya sempurna, wajar ada kekurangan. Dalam dokrinisasi politik contohnya, dimana institusi TNI saat itu menjadi Dwi fungsi ABRI, yang bukan lagi sebagai alat pertahanan dan keamanan tapi juga sekaligus alat politik. Ini yang harus diperbaiki, bukan seperti mengejar tikus dalam lumbung padi bukan tikusnya yang di bunuh akan tetapi justru lumbungnya yang dibakar. 

Sebagai penjelmaan suara bagi seluruh rakyat, ada lembaga tertinggi yang namanya MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), yang dulu merupakan dewan rembuk Desa Adat, yang memberikan keputusan yang diambil secara musyawarah mufakat, terdiri dari wakil tetua adat, tetua agama, wakil pemuda, wakil perangkat pemerintahan desa. 

Demikian juga MPR yang susunan anggotanya, terdiri dari Seluruh anggota DPR RI, wakil golongan yaitu golongan  dari perwakilan agama seluruh Tanah air, wakil dari organisasi kemasyarakatan, organisasi pemuda dan wakil Daerah yang mewakili daerah masing - masing yang saat ini diwakili oleh anggauta DPD, yang pada masa lalu diwakili oleh Gubernur, Bupati , Walikota yang merupakan wakil di daerah yang merupakan  penjelmaan seluruh rakyat melalui perwakilan.

MPR diberikan mandat dan wewenang menyusun GBHN (Garis Besar Haluan Negara) sebagai panduan dari tujuan pembangunan  bangsa ini. Tertata dan terstruktur dalam jangka pendek, menengah dan Panjang yang dituangkan pemerintah dalam Repelita. 

Itulah wujud dari sistem Negara Integralistik yang ditulis Mpu Prapanca di   Kakawin Nagara Kertagama dan sistem pemerintahan desa dalam lingkup skala negara.

Saat ini, kewenangan MPR sudah dicabut sehingga tidak ada lagi GBHN dan Repelita yang berakibat bangsa ini kehilangan arah (Kompas), petunjuk arah pembangunan tidak ada lagi. Masing – masing pemerintah daerah, dalam otonomi daerah, bisa menerjemahkan sesuai dengan perspektif masing masing. Belum lagi sistem pemilihan langsung, dimana sebelum reformasi, MPR adalah lembaga tertinggi yang merupakan mandataris Presiden dan wakil presiden. Kemudian  dirubah menjadi suara rakyat  menjadi Mandataris Presiden  melalui Pemilu langsung. Kita sama – sama  bisa lihat dan merasakan , dimana seolah kita sudah kehilangan.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved