Berita Bali
Gubernur Bali Koster Sebut Ada Pihak Ingin Adu Domba MDA dengan Desa Adat
Sektor pariwisata paling besar membuat ekonomi Bali dapat bertumbuh sebab hulunya budaya.
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Gubernur Bali, Wayan Koster menanggapi polemik yang ada di Majelis Desa Adat (MDA) Bali belakangan ini.
Koster menyebutkan ada pihak yang ingin mengadu domba MDA dengan desa adat.
“Secara khusus saya ingin menyampaikan bahwa ada yang mengganggu desa adat, saya tidak tahu. Ada yang menginginkan agar desa adatnya tidak kuat seperti sekarang, tahu saya,” jelas Koster pada Rapat Paripurna ke-26 DPRD Bali, Senin 28 Juli 2025.
Koster mengatakan ketika desa adat ini lemah, tak ada satupun yang peduli.
Baca juga: TEGASKAN Tak Larang Indomaret! Koster: Bukan Larang 100 Persen Tapi Dikendalikan
Sekarang begitu desa adat kuat, menurutnya ada pihak yang ingin mencoba mengadu domba antara desa adat dengan MDA.
“Ada yang ingin mencoba mengadu domba Desa Adat dan MDA. Bahwa ada yang kurang-kurang sedikit, iya. Belum sempurna, iya. Tapi kondisi sekarang sudah jauh lebih bagus daripada situasi sebelumnya. Maka kalau ada yang mengusik ini, akan saya hadapi. Semua akan saya hadapi. Siapapun juga orangnya,” tegas Koster.
Untuk menghadapi adu domba tersebut, Koster menuturkan tak memerlukan banyak orang ia bisa lakukan hal tersebut sendiri sebagai Gubernur Bali.
Ia menegaskan tidak takut, karena Desa Adat adalah warisan dengan satu-satunya provinsi di Indonesia yang masih kokoh dan utuh desa adat berjumlah 1.500.
Jika Desa Adat diusik, Koster menegaskan apa yang akan diandalkan ke depan untuk masa depan Bali sebab Bali tidak memiliki minyak, gas dan batubara.
Bali hanya memiliki budaya berbeda dengan daerah-daerah yang memiliki tambang yang setiap hari dikeruk dan lama-lama habis serta meninggalkan masalah warisan lingkungan.
“Tapi kalau budaya dia kita jaga, dia tidak akan pernah habis. Karena ada di pikiran, ada di rasa, ada di pelaku. Jadi sepanjang pelaku itu ada, maka budaya di mana ini akan selalu kokoh, enggak akan pernah mati,” sambungnya.
Sektor pariwisata paling besar membuat ekonomi Bali dapat bertumbuh sebab hulunya budaya.
“Siapa hulunya ini? Penjaganya desa adat, enggak ada yang lain,” ujarnya.
Koster pun mengajak seluruh anggota DPRD Bali untuk mengelola perbedaan pendapat dengan sebaik-baiknya dan mencari solusi yang tepat tanpa harus berpolemik secara terbuka di ruang publik.
Sebab Koster menilai hal tersebut dapat berdampak negatif terhadap keberadaan desa adat.
Lebih lanjut, Koster menekankan terdapat faktor eksternal yakni Sampradaya asing yang akan merusak Desa Adat.
“Faktor dari eksternal yaitu pengaruh asing ajaran Sampradaya asing yang merusak desanya. Ini yang harus kita hadapi sama-sama,” bebernya.
Ia pun kembali mengingatkan saat dulu desa adat diawal berdiri tidak pernah mendapat peran dari pemerintah. Bahkan pada saat Orde Baru, Desa Adat akan dijadikan kelurahan.
Pria asal Sembiran Tejakula Gubernur terdahulu yakni Ida Bagus Mantra, karena telah menjaga keberadaan Desa Adat.
“Kemudian dibuatkan Perda Tahun 2001 revisi Tahun 2003, Perda nomor 3. Sehingga waktu itu namanya Desa Pakraman bisa terjaga. Tapi hanya dibuatkan Perda saja, tidak diberikan apa-apa. Desa Pekraman pada saat itu hidup tapi sekadar hidup,” kata dia.
Sehingga pada saat itu Bali kesulitan mencari pradesa dan prajuru untuk Desa Adat.
Menurut, Koster pada saat itu tidak ada yang memberikan pertimbangan apapun.
Sehingga sangat disyukuri pada saat itu masih ada orang yang masih bersedia ngayah menjadi bendesa.
Karena ngayah, bendesa pada saat itu tidak mendapatkan apapun.
“Ada kebaikan juga Pemerintah Kota Denpasar waktu itu sekadar memberikan insentif. Ada yang Rp 150 ribu, ada yang Rp 500 ribu. Kasihan, ada juga yang sama sekali tidak peduli. Sehingga keberadaan desa adat waktu itu yang punya peranan yang begitu besar terhadap Bali, menjaga budaya Bali tidak terurus dengan baik karena regulasinya yang kurang kokoh,” katanya.
Maka begitu Koster menjabat menjadi Gubernur, Desa Adat dibuatkan Perda Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali.
Koster membeberkan bahwa perjuangan untuk meloloskan Perda nomor 4 tahun 2019 ini di Kementerian Dalam Negeri tidak mudah. Bahkan Perda ini hampir tidak disetujui.
“Waktu itu saya berdebat pada satu argumen telak, tidak bisa mengelak. Akhirnya setuju, besoknya baru disetujui. Nah, dengan Perda ini yang isinya sangat fundamental dan komprehensif, desa adat kita itu mendapat kedudukan yang makin kuat,” jelasnya.
Setelah itu, Desa Adat didukung dengan anggaran karena kemampuan keuangan fiskal Pemprov Bali terbatas yakni hanya Rp 300 juta namun dengan Perda serta anggaran ini, anggaran Rp 300 juta, sudah masuk ke akun Kementerian Dalam Negeri.
Menjadikan satu-satunya di Indonesia, provinsi yang memiliki akun Desa Adat Keuangan yakni hanya Bali.
Bahkan, saat ini Provinsi lain mulai belajar ke Bali tentang pengelolaan Desa Adat.
Karena sebagian provinsi sebenarnya dulunya sebelum Republik ini ada, keberadaan Desa Adat lebih dulu ada.
Desa Adat di Bali historisnya, sosiologisnya sangat kuat sebab sudah beribu-ribu tahun ada sebelum Indonesia ini ada.
“Saya tahu untuk merontokkan Bali ini mudah. Satu titik, desa adat. Jadi, karena itu tidak boleh ada toleransi sedikitpun terhadap siapapun yang mau mengganggu desa adat. Kita pertaruhkan jiwa kita untuk desa adat. Jangan coba-coba ada yang terpengaruh dengan ini, itu, ini, itu, bohong,” kata dia. (sar)
Kumpulan Artikel Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.