Berita Denpasar
Hasil Panen Rumput Laut di Serangan Tak Menentu, Nyoman Puja Bersyukur Masih Didukung Banyak Pihak
Saat mentari baru mengintip dari ufuk timur, I Nyoman Puja sudah menapakkan kakinya di perairan dangkal Serangan.
Penulis: Ni Luh Putu Wahyuni Sari | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR – Saat mentari baru mengintip dari ufuk timur, I Nyoman Puja sudah menapakkan kakinya di perairan dangkal Serangan.
Tangannya cekatan merapikan tali-tali budi daya, meski ia tahu: tak ada jaminan panen akan berhasil.
Tapi bagi Nyoman Puja, menyerah bukan pilihan—ia tetap merawat rumput lautnya dengan
harapan dan tekad yang tak pernah surut.
Baca juga: Jaga Harmoni Serangan, Dari Doa Tumpek Kandang Hingga Tukik Menyapa Samudera
Budi daya rumput laut di Serangan bukan sekadar mata pencaharian—ia adalah warisan, identitas, dan napas hidup warga pesisir selama puluhan tahun.
Namun, ritme laut yang dulu bersahabat kini semakin menantang. Cuaca sulit ditebak, kualitas air tak menentu, dan hama datang tanpa aba-aba.
“Sekarang banyak bibit dimakan hama sebelum panen. Biasanya satu tali bisa dapat delapan sampai sepuluh kilo, tapi belakangan bisa kosong,” kata I Nyoman Puja, Ketua Kelompok Petani Rumput Laut Serangan.
Baca juga: IMBAS Serangan AS ke Iran 97 WNI Dievakuasi, BP3MI Pastikan Tak Ada Pekerja Migran Asal Bali
Kemunduran hasil panen ini telah berlangsung sejak beberapa bulan lalu. Keberadaan hama ikan elak dan ikan tabasan menggerogoti rumput laut budi daya yang dirawat dengan apik oleh kelompok petani rumput laut Serangan.
Meski mengaku banyak menghadapi tantangan di laut, Nyoman Puja tetap bersyukur adanya dukungan dari berbagai pihak, termasuk PT Bali Turtle Island Development (BTID).
Baca juga: IMBAS Serangan AS ke Iran 97 WNI Dievakuasi, BP3MI Pastikan Tak Ada Pekerja Migran Asal Bali
“Kami tidak sendirian. Dulu kami distribusi hasil panen menggunakan jukung, melalui jalur air. Sekarang, sejak ada jembatan dan jalan yang dibangun BTID, hasil panen bisa diangkut lewat jalur darat, jadi jauh lebih cepat dan efisien,” lanjutnya.
Rumput laut yang dibudidayakan sebagian besar berasal dari Eucgeuma Cottonii dan Spinosum.
Bibitnya diikat secara horizontal pada tali yang dibentangkan di laut dangkal.
Setiap 30-40 hari, rumput laut siap panen, jika kondisi laut memungkinkan.
Namun kondisi ideal kini semakin jarang.
Hama laut datang tanpa pola tetap.
Saat ini, petani hanya bisa menyelamatkan sebagian kecil dari total bibit yang ditanam.
“Ada musim di mana kami hanya panen untuk menjaga agar bibit tidak hilang semua. Bukan untuk dijual, tapi agar tetap bisa menanam lagi musim berikutnya,” lanjut Nyoman Puja.
Sejak tahun 1996, anggota kelompok petani rumput laut Serangan semakin berkurang.
Sebagian besar lainnya beralih profesi karena ketidakpastian hasil panen dan kondisi laut yang makin sulit diprediksi.
Dalam situasi seperti ini, warga Serangan tidak hanya bergantung pada hasil panen mentah. Mereka mulai mengolah rumput laut menjadi produk bernilai tambah: dari agar-agar rumahan, jajanan pasar, hingga rujak bulung dan lawar laut – dua kuliner khas yang makin jarang ditemukan, tapi sarat makna budaya.
Penurunan hasil panen rumput laut juga berdampak terhadap penghasilan pelaku usaha rujak bulung.
Ni Kadek Erni, seorang penjual rujak bulung di Desa Serangan menceritakan sulitnya mendapatkan rumput laut yang menjadi bahan utama.
“Sudah dua bulan kami tidak menyediakan rujak bulung dalam menu, sulit sekali saat ini mendapat
bulung boni,” ungkapnya.
Petani berharap adanya dukungan yang berkelanjutan dari berbagi pihak, termasuk pelatihan budi daya yang lebih adaptif serta bibit unggul.
Baca juga: Gagas Inovasi Kluster Rumput Laut, Brida Upayakan Sinergikan Pertanian Rumput Laut dan Pariwisata
Bagi mereka, rumput laut bukan sekadar komoditas, tapi juga kehidupan yang dijaga setiap hari, sebelum fajar datang.
I Nyoman Puja secara tidak langsung menggantungkan harapannya pada generasi mendatang untuk melanjutkan budi daya rumput laut ini.
“Saya tidak bisa berandai-andai. Hanya bisa berpaku pada regenerasi, rasanya generasi kali ini cukup sulit,”
ujarnya.
Hal serupa terjadi juga pada Ni Made Rubeg, dengan tangan keriputnya, Ni Made Rubeg merawat helai demi helai rumput laut.
Dari Banjar Peken, Desa Serangan, perempuan tangguh ini menjadi wajah dari ketekunan dan cinta pada alam.
Rumput laut menjadi sumber penghidupan bagi beberapa warga pesisir di Serangan, yang telah diwariskan secara turun-temurun.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.