Sponsored Content

Pandangan Yuridis-Sosial terhadap Abolisi dan Amnesti dalam Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto

Presiden Prabowo Subianto secara resmi memberikan abolisi untuk Tom Lembong dan amnesti untuk Hasto Kristiyanto

Istimewa
SOSOK - Dr. I Wayan Sudirta, SH, MH, Anggota Komisi III DPR RI. Tinjauan Yuridis-Sosial terhadap Abolisi dan Amnesti dalam Kasus Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto 

Ia menyetujui tanpa melakukan rapat koordinasi dengan kementerian terkait.

Jaksa menyalahkan Tom karena tidak menunjuk BUMN untuk menstabilkan harga gula di Indonesia. Ia malah menunjuk Induk Koperasi Kartika (INKOPKAR), Induk Koperasi Kepolisian Negara Republik Indonesia (INKOPPOL), Pusat Koperasi Kepolisian Republik Indonesia (PUSKOPOL), dan Satuan Koperasi Kesejahteraan Pegawai (SKKP) TNI Polri. Tom didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pada 18 Juli 2025, Tom divonis 4,5 tahun penjara. 

Selanjutnya dalam pertimbangan Presiden untuk memberikan abolisi, Menteri Hukum menjelaskan bahwa pertimbangan pemberian abolisi itu didasari pula oleh pertimbangan-pertimbangan subjektif, salah satunya kontribusi Tom Lembong terhadap negara. 

Walaupun begitu tidak sedikit pihak yang menyarankan kepada Tom Lembong untuk menolak abolisi dan terus berjuang hingga putusan. 

Bahkan terdapat informasi bahwa Kejaksaan juga masih dalam proses mempelajari putusan hakim untuk pengajuan banding.

Dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No. 31/PUU-VIII/2010, MK menyatakan bahwa penggunaan kewenangan prerogatif presiden tidak boleh melanggar prinsip due process of law dan non-diskriminatif. 

Artinya Pemberian abolisi kepada individu tertentu tanpa kriteria obyektif dan tidak berlaku umum berpotensi melanggar asas kepastian hukum dan keadilan. 

Abolisi harus proporsional dan tidak dapat digunakan sebagai alat perlindungan terhadap elit politik.

Amnesti untuk Hasto Kristiyanto

Amnesti adalah penghapusan akibat hukum pidana terhadap sekelompok orang atau individu yang melakukan tindak pidana tertentu. 

Dalam doktrin klasik, amnesti berlaku untuk Delik politik, seperti pemberontakan, penghasutan terhadap negara, atau pelanggaran terhadap ketertiban umum yang bermotif ideologis. 

Selain itu amnesti juga diberikan dalam rangka Rekonsiliasi nasional pasca-konflik, pemberontakan, atau peralihan rezim.

Adapun dalam kasus Hasto, beliau sebelumnya divonis 3,5 tahun penjara karena terbukti bersalah memberikan suap kepada mantan komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait pengurusan pergantian antarwaktu (PAW) anggota DPR periode 2019-2024 untuk Harun Masiku. 

Dalam Putusan Hakim, Hasto dinilai telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP.

Menkumham menyebut bahwa pada mulanya pemerintah menargetkan pemberian amnesti terhadap 44 ribu narapidana. Hasto bersama 1116 terpidana lainnya akhirnya diberikan amnesti

Hal ini menjadi jawaban atas perjuangan Hasto dan seluruh pendukungnya yang selama ini menyerukan ketidakadilan dan kriminalisasi berdasar politik. 

Dengan amnesti tersebut maka seluruh akibat hukum pidana yang telah dijatuhkan kepada penerima amnesti dihapuskan. Dengan demikian status hukum mereka dipulihkan sepenuhnya. 

Dalam kasus pemberian abolisi dan amnesti terhadap Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto, maka semua proses hukum terhadap keduanya dihentikan, serta keduanya harus dilepaskan atau dibebaskan. 

Selanjutnya banyak pihak kemudian mulai mencoba untuk mengkaji apakah abolisi dan amnesti tersebut memang dapat atau layak diberikan. Apakah pemberian tersebut berafiliasi dengan kepentingan politis.

Untuk mengkaji hal ini, pertama kita harus mendalami dahulu makna dari amnesti dan abolisi. Amnesti dan Abolisi sebagaimana telah dikemukakan di atas memang dapat bernuansa politik, namun untuk memberikan keseimbangan dan obyektivitasnya, Amnesti dan Abolisi harus mendapat pertimbangan DPR. 

Oleh sebab itu, Presiden harus dapat menjelaskan alasan dari pemberian amnesti dan abolisi

Melihat dari alasan yuridisnya, maka Presiden memiliki hak prerogatif yang dijamin dalam Konstitusi untuk mengajukan amnesti dan abolisi kepada DPR demi kepentingan negara, termasuk dalam menciptakan stabilitas politik. 

Kita ketahui bersama bahwa gelombang protes terhadap proses hukum Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto sangat besar dan cukup menurunkan citra penegakan hukum.

Hal kedua adalah pentingnya kita memahami bahwa hukum sangat berhubungan dengan politik. 

Roscoe Pound misalnya mengemukakan bahwa hukum adalah hasil dari kehendak politik yang saling bersaing dan berinteraksi. 

Karl Marx menyatakan perspektif hukum yang dipandang sebagai alat kekuasaan dan tujuan politik. 

Niklas Luhmann mengemukakan terkait dengan teori interdependensi hukum yang menyatakan bahwa hukum dan politik sangat berinteraksi dan saling mempengaruhi. 

Aliran Realisme seperti Jerome Frank dan Karl Llewellyn juga melihat bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan kekuasaan politik. 

Seluruh teori tersebut menegaskan bahwa politik, pemerintahan, dan hukum saling berinteraksi. 

Amnesti dan Abolisi menjadi salah satu hal yang konkrit yang menjelaskan interaksi antara politik dan kekuasaan dengan hukum. 

Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan (Mendag) Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong) dan amnesti ke Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto

Wamensesneg Juri Ardiantoro mengatakan Tom dan Hasto memenuhi kriteria untuk mendapatkan abolisi dan amnesti demi persatuan. 

Meskipun begitu, banyak pihak seperti Organisasi masyarakat (misalnya YLBHI dan IM57+) juga kemudian menilai bahwa amnesti dan abolisi ini merupakan preseden buruk bagi proses penegakan hukum di negeri ini dan merupakan pengkhianatan atas janji pemberantasan korupsi yang diungkap oleh presiden. 

Hal ketiga kemudian adalah apakah pemberian tersebut kemudian menegasikan penegakan hukum?

Sejumlah akademisi hukum berpendapat bahwa Amnesti dan abolisi harus digunakan secara selektif dan proporsional demi menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum. 

Pertimbangan HAM dan keadilan restoratif menjadi landasan moral dalam penggunaannya. 

Dalam negara hukum, tidak ada kekuasaan yang absolut, termasuk hak prerogatif Presiden. 

Oleh karena itu, mekanisme kontrol oleh DPR bukan hanya formalitas, tetapi bagian dari prinsip konstitusionalisme. 

Prof. Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa hak prerogatif presiden tidak dapat dilepaskan dari prinsip checks and balances, dan harus ditujukan untuk kepentingan keadilan dan kemanusiaan. 

Abolisi dan Amnesti dalam hal ini tidak dapat dihubungkan dengan ketidakpercayaan pada sistem hukum atau absolutisme.

Menakar Amnesti dan Abolisi

Amnesti dan abolisi mencerminkan wajah manusiawi dari hukum. Dalam negara hukum yang demokratis, keduanya bukanlah bentuk impunitas, tetapi saluran korektif atas sistem peradilan yang bisa saja tidak sempurna. 

Oleh karenanya, penggunaan hak prerogatif Presiden ini harus dijaga agar tetap dalam koridor konstitusi dan etika publik. 

Politik kekuasaan dan hukum saling berinteraksi, namun kedewasaan dan pemikiran yang realis dan logis perlu untuk dikedepankan.

Dalam hal ini, kita boleh berpendapat pula bahwa Presiden, walaupun memiliki hak prerogatif yang diatur dalam Konstitusi, tidak serta merta memiliki kewenangan secara mutlak untuk melakukan semacam intervensi terhadap sistem peradilan dan penegak hukum. 

Prinsip check and balances dan saling menghormati antar-lembaga tetap ada dan diatur secara jelas. 

Presiden tetap membutuhkan pertimbangan DPR atau bahkan MA dalam hal pemberian Grasi dan Rehabilitasi. 

Dengan begitu, aturan yang ada tentang pemberian abolisi dan amnesti ini telah menegasikan kesewenangan atau intervensi penuh dari Pemerintah terhadap sistem penegakan hukum. 

Dengan adanya mekanisme pertimbangan tersebut, Presiden justru menghormati proses hukum dan mendukung penuh program penegakan hukum khususnya tindak pidana korupsi. 

Presiden dan DPR kemudian hanya menjadi jalan untuk mewujudkan kepentingan nasional dan keadilan sosial yang hidup dalam masyarakat.

Pemberian abolisi dan amnesti ini dapat pula dibaca sebagai jalan untuk memberi koreksi terhadap hasil sistem penegakan hukum. 

Ketika terjadi sebuah kekeliruan atau kekosongan hukum dan dimana sistem peradilan dan penegakan hukum tidak mampu untuk mengimplementasi sebuah keadilan sosial-politik, amnesti dan abolisi menjadi jalan untuk meluruskan jalan untuk mengutamakan kepentingan bangsa dan negara, stabilitas politik dan hukum, serta mengedepankan prinsip HAM dan kemanusiaan. 

Hal ini memperlihatkan semangat bahwa sistem hukum harus dapat menyeimbangkan tujuan hukum yakni keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. 

Selain itu semangat dalam merestorasi atau mewujudkan keadilan yang restoratif, restitutif, rehabilitatif, dan substantif dapat diwujudkan dalam mekanisme atau tindakan hukum yang luar biasa.

Kita boleh saja melihat bahwa dunia hukum dan demokrasi kita belum sepenuhnya dapat terlaksana dengan sempurna. 

Namun kini kita setidaknya telah teruji dengan kedewasaan politik dan kekuasaan, responsivitas terhadap keinginan masyarakat, dan instrumen hukum yang demokratis dan restoratif, sehingga menjadi pilar fundamental bangsa Indonesia yang memiliki semangat persatuan dan kesatuan, saling menghormati dan bergotong royong, berkeadilan sosial, dan mampu untuk menjadi dewasa secara politik yang mengakui segala kelemahan dan kekurangan untuk maju bersama. Semoga Indonesia makin jaya dan berdikari. Merdeka! (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved