Sampah di Bali
Sosok I Nyoman Suwirta, Pernah Tiap Hari Naik Truk Sampah, Kelola Sampah Mandiri Sejak 2016
Pasca ditutupnya Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Suwung, permasalahan sampah di Bali kini menjadi perhatian publik.
Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
"Kalau dulu kami menyebutnya Bang Daus (lubang daur ulang sampah). Kalau sekarang dari bapak atau ibu gubernur menyebutnya Teba Modern. Apapun namanya, konsepnya sama untuk memfermentasi sampah organik," ungkapnya.
Setiap hari ia buang sampah organik di Bangdaus yang memiliki kedalaman sekitar 1,5 meter.
Lalu setiap hari disiram dengan air dan ditutup.
Hasil pengelolaan sampah organik di Bangdaus itu biasanya dipanen setahun sekali, menghasilkan fermentasi untuk bahan baku pupuk organik.
Sementara sampah plastik dikumpulkan setiap hari, dan dua minggu sekali diambil oleh DLHP atau desa untuk dikelola di TPS3R atau TOSS (tempat olah sampah setempat).
"Jadi selama ini sampah rumah tangga saya sudah bisa dikelola. Sampah organik tidak sampai ke luar rumah."
"Kalau ini bisa diterapkan seluruh masyarakat, alangkah bagusnya," ungkap tokoh asal Pulau Ceningan, Kecamatan Nusa Penida tersebut.
Ia berharap konsep-konsep kelola sampah seperti itu, bisa diterapkan tidak hanya di rumah tanggal.
Termasuk di pelantoran, intansi swasta maupun negara, hingga ke sekolah-sekolah.
"Kalau ada komitmen dan kemauan, sebenarnya tidak susah (kelola sampah). Cuma masalah sampah kalau terus dibahas, terus diperdebatkan tidak akan pernah selesai."
"Harus berani memulai dikerjakan (kelola sampah mandiri)," ungkap Suwirt. (*)
Berita lainnya di Sampah di Bali
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.