Berita Klungkung
DARAH Sapi Kurban Simbol Pengorbanan Suci, Mecaru Mejaga-jaga di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa
Tradisi Mejaga-jaga tidak berhenti di sana. Daging sapi dibagikan kepada warga sebagai berkah, sementara kulitnya digunakan dalam prosesi pecaruan.
Penulis: Eka Mita Suputra | Editor: Anak Agung Seri Kusniarti
TRIBUN-BALI.COM - Suasana pagi di Desa Adat Besang Kawan Tohjiwa, Kelurahan Semarapura Kaja, Kecamatan Klungkung, Jumat (22/8) berbeda dari biasanya. Warga sudah memenuhi areal pura dan jalan desa.
Sejak matahari baru menampakkan sinarnya, warga sudah berkumpul. Mereka bersiap mengikuti salah satu tradisi sakral yang diwariskan leluhur, Mecaru Mejaga-jaga.
Tradisi ini bukan sekadar upacara adat, melainkan wujud yadnya besar untuk menetralisir desa dari pengaruh buruk, baik yang terlihat (sekala) maupun tak kasat mata (niskala).
Prosesi ini diyakini mampu menjaga keseimbangan hidup antara Parahyangan (hubungan dengan Tuhan), Pawongan (hubungan antarmanusia), dan Palemahan (hubungan dengan alam).
Bendesa Besang Tohjiwa, Nyoman Sujana mengatakan, sarana utama dalam upacara ini adalah seekor sapi pilihan.
Baca juga: PASCA Tragedi Maut di Monkey Forest, Desa Adat Segera Gelar Upacara Mecaru Ageng, Kini Closed Dulu!
Baca juga: Gong Sakral Terbakar Sampai Pecah, Warga Akan Mecaru Pasca Kebakaran di Pura Dalem Agung Getakan
Tidak sembarangan, sapi harus sehat tanpa cacat, dan pemilihannya dilakukan secara khusus oleh keturunan pemangku-pemangku adat, di antaranya Pemangku Prajapati, Pemangku Catus Pata, dan Pemangku Dalem.
Sejak pukul 07.00 Wita, sapi dimandikan dan dibawa ke depan Pura Puseh. Di sana, Pemangku Catus Pata menebas bagian pantat kanan sapi menggunakan senjata tajam yang disakralkan, Balakas Sudamala.
Darah pertama yang menetes dianggap sebagai awal dari proses penyucian. “Sapi kemudian diarak keliling desa, melewati batas-batas suci dari Pura Dalem, perbatasan timur, hingga Pura Prajapati di barat,” ungkap Sujana.
Di setiap titik, prosesi penebasan dilakukan kembali, menandai simbol “pembersihan” dari segala pengaruh negatif. Terakhir, sapi kembali ke Catus Pata, titik pusat desa, untuk rangkaian upacara berikutnya.
Bagi warga Desa Besang Kawan Tohjiwa, darah sapi kurban justru adalah simbol pengorbanan suci. Ceceran darah dipercaya sebagai penetralisir dan pelindung desa.
Bahkan, masyarakat rela berebut tetesan darah tersebut karena diyakini mujarab untuk mengobati berbagai penyakit.
Tradisi Mejaga-jaga tidak berhenti di sana. Daging sapi dibagikan kepada warga sebagai berkah, sementara kulitnya digunakan dalam prosesi pecaruan.
Semua rangkaian ini diyakini sebagai sarana “nyomiang” menyeimbangkan energi alam semesta agar desa senantiasa harmonis.
Wakil Bupati Klungkung Tjokorda Gde Surya Putra yang hadir langsung didampingi Camat Klungkung, I Putu Arnawa menegaskan makna luhur tradisi ini.
“Tradisi yang diwariskan leluhur ini adalah doa agar desa senantiasa bersih dari hal-hal negatif, sekaligus memohon kemakmuran bagi warga, terutama dalam hasil pertanian,” ujarnya.
Waspada Demam Tinggi Disertai Ruam, 11 Kasus Suspect Campak di Klungkung Diperiksa di BLK Surabaya |
![]() |
---|
Jalan Krodit dan Kerap Macet, Usulan Penataan Pasar Mentigi Nusa Penida Bali Belum Ada Kejelasan |
![]() |
---|
Klungkung Bali Siaga Campak, Temukan 11 Suspect, Hasil Lab Negatif |
![]() |
---|
Pria Ini Nekat Curi Motor Tetangga Kos di Klungkung Bali, Rendy Ditangkap Saat Tiba di Ketapang |
![]() |
---|
90 Persen Pembangunan Wisata di Nusa Penida Bali Belum Kantongi Izin, Diharapkan Pemerintah Peka |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.