Dirinya menyebut, nelayan sekarang sebagai "pengusaha nelayan" karena memiliki alat produksi terutama tenaga kerja yang berasal dari luar Bali.
Dosen Program Studi (Prodi) Destinasi Pariwisata Politeknik Pariwisata Bali itu menceritakan, kemunculan pandemi Covid-19 praktis menghancurkan aktivitas pariwisata di Desa Adat Kedonganan, termasuk kafe yang dimiliki oleh sekitar 1.200 KK pangarep.
Ditutupnya cafe seafood Kedonganan mulai 22 Maret 2020 berdampak luar biasa. Sebanyak 1.100 orang yang bekerja di kafe sebagai pelayan dan dapur berhenti.
Ditutupnya kafe ini juga berimbas pada 1.200 KK sebagai share holder.
• Trafik Naik, Jaringan XL Axiata Siap Layani Kebutuhan Lebaran
• Warga Kampung Muslim Angantiga Petang, Laksanakan Sholat Ied di Rumah Masing-masing
Biasanya setiap bulan mereka mendapatkan penghasilan dari keberadaan kafe tersebut.
Sejak kafe ini ditutup 1.200 KK itu tak lagi mendapatkan penghasilan dari sana.
Tak hanya itu, termasuk semua usaha yang terkait pariwisata, seperti supplier, dagang canang, transportasi dan sebagainya, juga tak beroperasi.
"Saat sekarang kegiatan kepariwisataan betul-betul tidak bisa berlangsung, sudah tutup sama sekali termasuk pantai kami yang ditutup," kata dia.
Menjaga "napas"
Ditutupnya sektor pariwisata menyebabkan perekonomian masyarakat Desa Adat Kedonganan runtuh.
Mertha mengatakan, penutupan pariwisata di Desa Adat Kedonganan ini telah berdampak pada 80 persen perekonomian masyarakat.
Melihat situasi ini, Mertha tak tinggal diam dan berupaya menjaga "napas" perekonomian masyarakat Desa Adat Kedonganan.
Ia akhirnya mengadakan diskusi dengan seluruh prajuru desa adat berkitan dengan penanganan pandemi Covid-19 beserta dampaknya.
Dari hasil diskusi itu, ada beberapa hal yang berhasil diputuskan guna meminimalisir dampak ekonomi di masyarakat.
Upaya itu Mertha lakukan dengan memberikan stimulus ekonomi hang dilakukan bekerja sama dengan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Kedonganan.