Laporan Jurnalis Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengeluarkan surat edaran (SE) yang mengatur harga tertinggi penarikan biaya tes cepat (rapid test) antibodi.
Dalam SE bernomor HK.02.02/I/2875/2020 Tentang Batasan Tarif Tertinggi Rapid Test Antibodi itu, Kemenkes RI mematok tarif termahal sebesar Rp 150 ribu.
”Batasan tarif tertinggi untuk pemeriksaan rapid test antibodi adalah Rp150 ribu," tulis SE yang ditetapkan 6 Juli tersebut.
Berkaitan dengan kebijakan tersebut, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali meminta waktu kepada Kemenkes RI untuk melakukan penyesuaian.
• PBB Umumkan Amerika Serikat Resmi Keluar dari WHO Mulai Juli 2021
• Begini Cara Simpan Buah yang Sudah Dikupas Supaya Tahan Lama dan Tetap Segar
• Harga Daging Ayam di Karangasem Tembus Rp 50.000 Per Kilogram
"Saya sudah minta kepada pusat agar diberikan waktu untuk kita menyesuaikan, karena sekarang kan harga rapid test di atas itu (Rp 150 ribu) harganya," kata Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Ketut Suarjaya saat dikonfirmasi Tribun Bali melalui sambungan telepon, Rabu (8/7/2020) siang.
Dirinya menuturkan, harga rapid test saat ini rata-rata masih berada di harga Rp 220 ribu per satuannya.
Bahkan sebelumnya harga rapid test sempat berada di Rp 400 ribu, namun sekarang sudah terjadi penurunan.
Jika misalnya fasilitas kesehatan membeli rapid test seharga Rp 220 ribu dan langsung mengikuti kebijakan Kemenkes RI, maka akan terjadi kerugian.
"Jadi saya minta ke pusat agar kita diberikan waktu semua. Kan seluruh Indonesia ini. Jadi mungkin diberikan waktu dua minggu gitu sehingga bisa menghabiskan stok yang ada," jelasnya.
Bagi Suarjaya, bagi fasilitas kesehatan pemerintah sendiri sebenarnya tidak masalah dengan adanya kebijakan harga rapid test maksimal Rp 150 ribu karena memang dibeli dari anggaran negara dan digunakan untuk screening.
Namun bagi fasilitas kesehatan swasta yang menerapkan rapid test berbayar tentu bakal mengalami kerugian.
Apalagi mereka yang melakukan rapid test di fasilitas kesehatan swasta biasanya memang melakukan rapid test dengan permintaan sendiri.
"Kalau di pemerintah sih tidak ada masalah, tapi yang di swasta ini yang kadang-kadang kasihan juga," jelas Suarjaya.
Namun setelah adanya penyesuaian yang barangkali memakan waktu satu sampai dua minggu, Suarjaya memastikan bahwa pihaknya akan menjalankan kebijakan yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI.
• Penerapan Sanksi Pararem Covid-19 pada Zona Merah di Denpasar Lebih Ketat
• 5 Zodiak Sangat Berlebihan Saat Menghadapi Masalah, Sampai Dijuluki Drama Queen, Kamu Termasuk?
• New Normal, Pengelola Destinasi & Akomodasi Wisata di Gianyar Wajib Kantongi Sertifikat
Suarjaya menjelaskan, bahwa saat ini produk rapid test sudah tersedia cukup banyak dengan harga bervariasi, namun rata-rata memang berada di Rp 220 ribu.
Saat ini sudah ada informasi bahwa pemerintah akan membuat rapid test dalam jumlah banyak dengan harga Rp 75 ribu.
Apabila hal itu benar, Suarjaya menilai masuk akal pengenaan biaya rapid test di fasilitas kesehatan maksimal sebesar Rp 150 ribu.
Namun saat ini dirinya menilai belum masuk akal, terlebih pemerintah telah mengeluarkan surat edaran namun belum menyiapkan sarana rapid test yang terjangkau.
"Rapid test masih mahal dibeli, sedangkan aturannya dipatok Rp 150 ribu maksimal. Saya tentu sangat setuju kalau harganya lebih murah atau terjangkau. Tetapi karena kondisinya seperti itu yang kita mungkin perlu waktu lah untuk penyesuaian," kata dia.
Dirinya menjelaskan, Pemprov Bali dalam satu hari bisa menghabiskan rapid test antara 3 sampai 4 ribu per hari yang digunakan untuk tracing contact dan di fasilitas kesehatan, baik di puskesmas maupun rumah sakit.
Di sana pasien-pasien yang membutuhkan tindakan terlebih dahulu minimal harus dilakukan rapid test.
Selain itu, jika terdapat suatu kasus yang meluas di daerah tertentu, pihaknya juga bakal melakukan rapid test massal.
"Jadi kira-kira antara 3 sampai 4 ribu lah dalam sehari (menghabiskan rapid test-nya)," tutur Suarjaya
Sementara itu, berdasarkan SE yang dikeluarkan oleh Kemenkes RI, besaran tarif rapid test maksimal Rp 150 ribu berlaku untuk masyarakat yang melakukan pemeriksaan atas permintaan sendiri.
Rapid test harus dilaksanakan oleh tenaga medis kesehatan yang memiliki kompetensi dan berasal dari fasilitas pelayanan kesehatan.
"Surat Edaran ini dimaksudkan untuk memberikan kepastian bagi masyarakat dan pemberi layanan rapid test antibodi agar tarif yang ada dapat memberikan jaminan bagi masyarakat agar mudah untuk mendapatkan layanan pemeriksaan rapid test antibodi," tulis SE tersebut.
SE yang ditandatangani oleh Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kemenkes RI, Bambang Wibowo tersebut mengacu pada Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan, Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nonalam Covid-19 Sebagai Bencana Nasional dan lainnya.
"Agar fasilitas pelayanan kesehatan atau pihak yang memberikan pelayanan pemeriksaan rapid test antibodi dapat mengikuti batasan tarif tertinggi yang ditetapkan," bunyi perintah dalam surat edaran itu.
Rapid test sendiri banyak dilakukan di masyarakat untuk perjalanan dalam negeri. Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto lewat Surat Edaran (SE) Menkes Nomor HK.02.01/Menkes/382/2020 Tentang Protokol Pengawasan Pelaku Perjalanan Dalam Negeri di Bandar Udara dan Pelabuhan dalam Rangka Penerapan Kehidupan Masyarakat Produktif dan Aman Terhadap Corona Virus Disease 2019 (Covid-19), mewajibkan seluruh awak dan calon penumpang angkutan laut maupun udara melampirkan surat keterangan sehat dan hasil pemeriksaan rapid test antibodi saat membeli tiket perjalanan.
"Pada saat pembelian tiket pesawat dan atau kapal, penumpang yang akan melakukan perjalanan dalam negeri wajib menunjukkan surat keterangan hasil pemeriksaan RT-PCR negatif atau surat keterangan hasil pemeriksaan rapid test antigen/antibodi nonreaktif kepada pihak maskapai/operator pelayaran/agen perjalanan secara elektronik maupun non elektronik," bunyi salah satu aturan yang tertulis dalam Surat Edaran itu.
Namun, masyarakat yang ingin melakukan rapid test kemudian dibuat kebingungan karena harganya yang bervariasi.
Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi juga sempat mengeluhkan mahalnya biaya rapid test. Dia meminta Kementerian Keuangan memberikan subsidi kepada masyarakat yang hendak melakukan perjalanan.
Keluhan serupa dilayangkan Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk Irfan Setiaputra.
Menurutnya, tidak adanya pengaturan harga maksimal rapid test membuat layanan ini kerap sulit diakses masyarakat.
"Kami sungguh menyesalkan banyak orang kemudian menari di atas penderitaan kami hari ini, dengan menawarkan harga rapid test yang terlalu melambung," kata dalam rapat bersama Panja Pemulihan Pariwisata DPR, Selasa (7/7/2020).
"Hari ini ada yang mengatakan (biaya) sudah Rp120 ribu, tapi ada yang bilang Rp80 ribu. Jadi, ini yang perlu terus menerus kami cari kenapa masih ada yang Rp350 ribu-Rp500 ribu," jelasnya.
Sementara Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Letjen Doni Monardo pernah mengatakan tes kesehatan terkait virus corona dengan metode rapid test tidak efektif dan tak akurat.
Rapid test ini ditempuh pemerintah karena dinilai lebih murah.
"Ternyata juga rapid test ini tidak semuanya efektif. Oleh karenanya ke depan kita lebih banyak mendatangkan PCR test," kata Doni dalam Rapat Kerja Komisi VIII DPR RI dengan Kepala BNPB. (*)