TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Permasalahan Desa Adat Jro Kuta, Desa Pejeng, Kecamatan Tampaksiring, Gianyar, Bali akhirnya ditengahi oleh sejumlah instansi di Kabupaten Gianyar, Kamis (8/10/2020).
Desa adat dan sejumlah krama yang selama ini berseteru ini diminta agar diselesaikan secara adat.
Berdasarkan data Tribun Bali, sejak beberapa bulan ini, situasi di Desa Adat Jro Kuta relatif panas.
Diawali oleh sejumlah krama mengadukan prajuru desa adat setempat ke Mapolres Gianyar, karena mensertifikasi tanah tebe (tanah belakang rumah warga) atas nama desa adat.
Menyusul laporan itu, prajuru pun mengenakan dua orang krama sanksi adat kanorayang atau dicoret sebagai krama adat.
Bahkan sanksi tersebut telah dirasakan dua krama ini, di mana mereka diusir dari pura setempat saat sedang ngayah.
• Dani Pedrosa Prediksi Pembalap Lain Susah Menang Jika Marc Marquez Comeback
• Pemprov Bali Tak Cairkan Bantuan Stimulus Usaha kepada Dua Orang Calon Penerima di Bangli
• 850 Pelanggar Telah Ditindak Selama Operasi Pengawasan Prokes di Karangasem
Menyikapi hal tersebut, sejumlah instansi terkait mulai dari aparat kepolisian, Danramil, Camat, Kesbangpol Gianyar, Majelis Desa Adat Gianyar hingga BPN Gianyar mengadakan diskusi dengan desa adat setempat.
Ketua Tim dari BPN Gianyar, Made Oka Darmawan mengatakan, sertifikat yang atas nama Desa Adat Jro Kuta tersebut keluar saat adanya program dari Presiden Jokowi tentang semua tanah harus disertifikasi.
“Di Desa Pejeng sendiri antusias warga awalnya berjalan dengan lancar, maka diproseslah tanah PKD ini sampai akhirnya terbit sertifikat. Selanjutnya mau dibagikan akhir tahun 2019 untuk mendata mana yang belum bersertifikat. Rencana ada penyerahan, akhirnya ada yang keberatan. Apa yang dipermasalahkan ini semestinya diselesaikan di desa. Karena ini tanah adat, mana tanah adat dan mana hak milik sudah jelas awignya,” ujarnya.
• Forapi Jaya dan Kemenpar Adakan Pelatihan Calon Auditor Pariwisata Bidang Usaha Hotel
• Titik Kumpul Keberangkatan Pasien Covid-19 Digeser dari Dishub ke Dinkes Buleleng
• Tak Banyak Perubahan Posisi Pemain, Ini Harapan Kadek Agung untuk Bali United
Kata dia, BPN tidak bisa menentukan mana tanah adat. Karena itu, jika ada warga yang keberatan, cukup diselesaikan di adat. Kemudian hasilnya diserahkan ke BPN.
"Kalau bisa, masalah ini diselesaikan di adat, supaya tidak sampai meluas lagi,” tandasnya.
Bendesa Adat Jero Kuta, Tjokorda Gde Putra Pemayun mengatakan, pertemuan ini atas inisiatif pihaknya di desa adat.
“Dari pertemuan tadi sudah dijelaskan bagaimana kronologis pensertifikatan itu. Intinya MDA, Camat, Kasat Bimas, termasuk BPN menyarankan agar diadakan pertemuan kembali di tingkat desa. Karena sampai saat ini pihak yang keberatan belum bisa dipertemukan,” jelasnya.
• Peringati Hari Penglihatan Sedunia, Berikut Tips Jaga Kesehatan Mata Anak di Zaman Serba Online
• Koordinator MAKI Boyamin Saiman Serahkan SGD 100 Ribu kepada KPK, Diberi Teman Lama
• Pembunuhan ASN Taufik Hidayat, Saksi Mata Lihat Korban Lari Ketakutan
“Yang keberatan pensertifikatan tanah itu ada 36 lahan, namun yang kena sanksi kanorayang ada dua orang. Awal turun sanksi desa sudah memberikan kelonggaran dengan memberikan kesempatan untuk meminta maaf di desa dan mencabut laporan selama tiga kali paruman. Namun sampai saat ini tidak ada langkah-langkah tersebut,” imbuhnya.
Mantan anggota DPRD Gianyar ini menegaskan, ketika warga yang menerima sanksi kanorayang tersebut mau meminta maaf dan mencabut laporan selama tiga kali paruman, kata bisa, sanksi kanorayang juga akan dicabut oleh pihak desa.
Kata dia, hal ini tertuang di dalam awig -awig desa setempat.
“Jika sampai paruman ketiga tidak ada meminta maaf dan mencabut laporannya, ya mereka, hak dan kewajiban diputus dari desa adat. Termasuk mengembalikan karang desa ke desa adat, yang bersangkutan harus mengembalikannya ke desa,” tandasnya. (*)