Kesaktian tersebut, membuatnya sombong dan angkuh sehingga berani melawan para dewa.
“Tidak lagi menjadi sosok pangeran yang baik hati, tetapi justru menjadi angkuh,” jelasnya.
Rakyat Nusa yang memuja Hyang Widhi, dewa, bhatara, dan leluhur pun dilarang.
Bahkan tidak segan-segan I Gede Mecaling, memberikan hukuman kepada rakyatnya yang berani melanggar larangannya ini.
Atas ulahnya tersebut, para dewa pun menjadi resah, terlebih kesaktiannya yang sangat tinggi tak ada yang menandingi.
Para dewa akhirnya memutuskan mengutus Dewa Indra ke bumi untuk menghukum I Gede Mecaling.
Dewa Indra mengetahui kelemahan I Gede Mecaling pada ‘taringnya’ sehingga ia ke bumi adalah bermaksud memotong taring I Gede Mecaling.
Mendengar dirinya akan dihukum dan dibunuh oleh Dewa Indra, segera I Gede Mecaling mempersiapkan segala sesuatunya dengan baik untuk melawan Dewa Indra.
“Singkat cerita, sampailah Dewa Indra di bumi,” katanya.
Pertarungan Dewa Indra dengan I Gede Mecaling tak terhindarkan.
Dewa Indra nampak gagah dengan senjata panah di tubuhnya.
Menatap tajam-tajam di sekelilingnya dengan sikap mawas diri, sembari berhati-hati sebab I Gede Mecaling bukanlah lawan biasa, tetapi orang sakti yang telah menerima anugerah dari para dewa, terlebih berkah dari Dewa Siwa.
Baca juga: Mengenal Aksara Modre yang Dianggap Sakral dan Magis di Bali
Baca juga: Jero Made Bayu Gendeng: Ada Energi Kuat yang Melindungi Bali
Setelah beberapa saat sampai di bumi, Dewa Indra pun melanjutkan perjalanan menuju tanah Nusa, dan selama dalam perjalanan Dewa Indra selalu waspada, jika ada serangan sekala-niskala.
Akhirnya, sampailah Dewa Indra di tanah Nusa.
“Setelah mereka berhadapan, tidak ada yang dapat menghalangi dua ksatria ini untuk berperang. Deru angin dan deburan ombak pantai Nusa menjadi sebuah isyarat, bahwa mereka harus saling menghancurkan,” tegasnya.
Mereka sama-sama sakti, dan pantang bagi mereka untuk melarikan diri dari pertarungan.
Suara burung bangkai memekakkan telingga, gagak bersorak, dan tak terkecuali anjing melolong pertanda bahwa akan ada pertempuran hebat antara keduanya.
Selanjutnya mereka pun saling serang, mereka juga sangat mahir memainkan jurus-jurus silat.
Berbagai macam siddhi pun dipraktikkan, sehingga badai begitu hebat terjadi dan gemuruh hebat keluar tatkala ilmu mereka beradu.
Dewa Indra dengan kesaktian wajranya, menyerang I Gede Mecaling.
I Gede Mecaling tak tinggal diam ketika diserang, dan ia mengeluarkan kesaktiannya anugerah dari Hyang Siwa dan Bhatari Durga.
Seketika dirinya mampu mengubah wujud menjadi sosok yang lebih menyeramkan, bersenjatakan kampak sakti.
Meraung dan tawa yang menggelegar membuat bumi bergetar.
Manusia biasa yang melihat perubahan wujud beliau sudah pasti ketakutan.
Bahkan seketika jiwa akan terlepas dari badannya, bersembunyi karena takut melihat perangai I Gede Mecaling.
Setelah menubah wujud, hanya Dewa Indra yang tidak mengalami ketakutan.
Ia menghunus senjata tombak dan menyerang I Gede Mecaling.
Terjadilah perang tanding yang lebih menakutkan lagi.
“Mata biasa sudah tidak bisa lagi melihat gerakan mereka, yang sangat cepat. Kecuali bagi orang yang memiliki waskita akan melihat keduanya mengeluarkan jurus-jurus andalannya. Kilatan cahaya keluar dari dua senjata kapak dan tombak beradu,” ujarnya.
Kampak sakti diayunkan lalu ditangkis dengan tombak.
Saat tombak berayun menderu, suaranya menakutkan sekali.
Seolah-olah akan siap memangsa.
Pun demikian ketika kampak sakti diayunkan, suaranya bergemuruh seolah-olah hendak membinasakan apapun yang menyentuh mata kampak.
Perang semakin seru dan semakin hebat.
Dewa Indra menjauhi I Gede Mecaling dengan lompatan kecil ke belakang.
I Gede Mecaling seketika menghentikan serangan.
Dewa Indra nampaknya mulai berpikir untuk segera mengakhiri pertempuran ini, sebab ini akan membawa akibat pada bumi.
Akhirnya, Dewa Indra melompat tinggi terbang ke arah I Gede Mecaling, sembari menghunus senjata sakti keris anugerah dari Bhatara Siwa.
Keris yang terhunus mengeluarkan pamor yang menyilaukan, seperti sinar jutaan matahari.
Selanjutnya, dengan keris di tangan kanan, Dewa Indra menukik menuju I Gede Mecaling.
Dewa Indra fokus kepada dua taring I Gede Mecaling yang akan dipotongnya.
I Gede Mecaling mengetahui bahwa senjata keris sakti itu, adalah anugerah dari Dewa Siwa.
I Gede Mecaling pun merasa bahwa dirinya sudah akan dikalahkan.
Karena hanya senjata dari Dewa Siwa lah yang dapat menaklukkannya.
Setelah taring I Gede Mecaling berhasil dipotong, barulah ia berhenti menggemparkan seisi jagat raya.
Setelah itu, Pangeran I Gede Mecaling kembali melakukan tapa brata yoga semadi.
Pengastawanya ditujukan kepada Ida Bhatara Rudra.
Lalu Ida Bhatara Rudra pun berkenan turun ke bumi, memberikan anugerah kepada I Gede Mecaling, berupa Panca Taksu.
Panca Taksu ini, di antaranya adalah Taksu Balian,Taksu Penolak Grubug, Taksu Kemeranan, Taksu Kesaktian, dan Taksu Penggeger.
“Sebagai pengabih utama Ida Bhatari Durga Dewi, beliau diberi wewenang oleh Ida Bhatari Durga Dewi untuk mencabut nyawa manusia yang ada di bumi,” katanya.
Pangeran I Gede Mecaling juga diberikan wewenang sebagai penguasa samudera.
Karena hal itulah, ia sering juga disebut Ida Ratu Gede Samudera.
Gelar Pangeran I Gede Mecaling yang diberikan oleh Durga Dewi yaitu Papak Poleng, dan permaisurinya Sang Ayu Mas Rajeg Bumi diberi gelar Papak Selem.
Akhirnya, I Gede Mecaling moksa di Ped dan istrinya moksa di Bias Muntig.
Keduanya sekarang sebagai penguasa di bumi Nusa Penida, dan mendapat wewenang sebagai penguasa kematian.
“Akhirnya beliau bergelar Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling atau Ida Bhatara Ratu Sakti Mas Mecaling,” sebut Manca.
Akhirnya, masyarakat Hindu Bali kerap sembahyang ke Nusa untuk memohon agar dijauhkan dari mara bahaya dan bencana ke Ida Bhatara Ratu Gede Mas Mecaling.
(*)