Sorotan Sidang Bendesa Adat Berawa, Ketut Riana Keberataan Didakwa Dugaan Kasus Pemerasan Rp 10 M
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Bendesa Adat Berawa, Badung, I Ketut Riana menjalani sidang perdana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Denpasar, Kamis (30/5).
Ketut Riana didudukkan sebagai terdakwa kasus dugaan pemerasan atau pungutan liar (pungli) Rp 10 miliar terhadap seorang pengusaha di Berawa.
Tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), I Nengah Astawa dkk dalam surat dakwaan yang dibacakan di hadapan majelis hakim pimpinan Gede Putra Astawa mendakwa Ketut Riana dengan dakwaan tunggal.
Baca juga: Pasek Suardika Pertanyakan Beda Penanganan OTT Bendesa Adat dan Pejabat Imigrasi
Perbuatan terdakwa Ketut Riana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf e jo Pasal 18 UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor sebagaimana telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Menanggapi dakwaan tim JPU, I Ketut Riana mengaku keberatan. Atas hal itu, terdakwa melalui tim penasihat hukumnya, I Gede Pasek Suardika dkk akan mengajukan eksepsi.
"Terhadap dakwaan yang sudah dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), kami mengajukan eksepsi," ucap Pasek Suardika. Dengan diajukan eksepsi, sidang akan kembali digelar Kamis (6/6) dengan agenda pembacaan nota keberatan dari tim penasihat hukum terdakwa.
Ketut Riana yang menjabat Bendesa Adat Berawa masa bakti tahun 2020-2025 dalam perkara ini diduga bermaksud menguntungkan diri sendiri dengan menyalahgunakan kekuasaannya sebagai bendesa adat.
Sebagai bendesa adat yang merupakan pucuk pengurus Desa Adat Berawa, terdakwa mengambil keputusan terhadap rencana investasi di desanya tanpa melalui Paruman Desa Adat.
Baca juga: Sorotan Kasus OTT Bendesa Adat Berawa Badung dan Berikut Jadwal Sidang Pertama oleh PN Denpasar
Terdakwa dinilai telah memaksa saksi Andianto Nahak T Moruk selaku Direktur PT Bali Grace Efata yang melaksanakan pekerjaan mengurus perizinan Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) Apartemen PT Berawa Bali Utama yang rencananya akan dibangun di Jalan Berawa.
Terdakwa meminta uang Rp 10 miliar dengan dalih untuk kontribusi atau sumbangan (dana punia) pembangunan Desa Adat Berawa.
Dari jumlah tersebut, terdakwa telah menerima uang Rp 50 juta. Penyerahan uang bertempat di Starbucks Simpangan Dewi Sri Jalan Sunset Road Legian, Kuta, 23 November 2023.
Lalu Rp 100 juta diserahkan dan diterima oleh terdakwa di Cafe Casa Bunga Jalan Raya Puputan, Renon, Denpasar Selatan, 2 Mei 2024.
Uang Rp 100 juta adalah bagian dari permintaan terdakwa Rp 10 miliar kepada saksi Andianto Nahak T Moruk.
Saat menerima uang Rp 100 juta itu, terdakwa Ketut Riana diringkus tim tindak pidana khusus (pidsus) Kejati Bali dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT).
I Gede Pasek Suardika selaku anggota penasihat hukum terdakwa Bendesa Adat Berawa, I Ketut Riana menemukan fakta baru dalam perkara yang menjerat kliennya tersebut.
Baca juga: KASUS OTT Bendesa Adat Berawa, Pasek Suardika: Kok Beda Penanganan dengan Kasus Pejabat Imigrasi?
Saat diumumkan oleh pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali, Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Ketut Riana terkait dugaan jual beli lahan oleh seorang pengusaha di wilayah Desa Berawa, Tibubeneng, Kuta Utara.
Namun pada dakwaan yang telah dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) perkara yang menjerat Ketut Riana soal pengurusan izin investasi.
"Awalnya kasus ini diumumkan terkait jual beli lahan di Desa Adat Berawa. Saya cek ternyata tidak ada dilakukan jual beli lahan. Di dakwaan kemudian berubah menjadi soal pengurusan izin investasi. Jual beli lahannya hilang," kata Pasek Suardika ditemui usai sidang di Pengadilan TipikorDenpasar, Kamis.
Mantan wartawan ini pun mengecek dan mendapat fakta bahwa lahan yang akan digunakan oleh pengusaha atau investor adalah milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Bali.
"Naluri saya sebagai wartawan, saya cek ternyata lokasi itu tanah Pemprov Bali. Tanah pemprov Bali ini dikerjasamakan, dan saya akan ungkap ada motivasi korupsi yang lebih besar di dalamnya," ungkapnya.
Didesak siapa yang mengkerjasamakan, Pasek Suardika mengatakan, akan mengungkapkannya nanti di persidangan.
Pihaknya menduga ada dugaan praktik korupsi yang nilainya cukup fantastis terkait kerja sama memanfaatkan lahan Pemprov Bali.
"Ada dugaan praktik korupsi yang nilainya cukup besar. Kita jangan lihat hanya PT Berawa Bali Utama saja. Itu satu kasus tanah Pemprov Bali yang dikerjasamakan. Berapa duit yang masuk ke Pemprov Bali, berapa duit yang dikerjasamakan antara pengusaha dengan pengusaha asing. Itu nilainya puluhan miliar untuk 1 case. Jangan-jangan beliau (terdakwa) ini dihadirkan untuk menjadi martir untuk mengetahui praktik tanah-tanah Pemprov Bali yang menurut data perkiraan saya jumlahnya cukup besar," kata Pasek Suardika.
Baca juga: KASUS OTT, Bendesa Adat Berawa Melawan, Praperadilkan Kejati Bali, Pasca Ditetapkan Tersangka!
Tim penasihat hukum terdakwa Ketut Riana mengajukan permohonan penangguhan penahanan. Surat permohonan disampaikan setelah tim JPU membacakan surat dakwaan di Pengadilan Tipikor.
"Sederhana saja. Apa bedanya pejabat imigrasi yang di-OTT bisa ditangguhkan penahanannya. Kenapa bendesa adat (terdakwa) tidak bisa ditangguhkan," kata Pasek Suardika.
"Malah kami takutnya yang pegawai negeri itu sudah pindah jabatan sudah pindah dari Bali. Masih selamat. Masak hukum kita begitu ditunjukkan di Bali. Bendesa adat kencengin yang imigrasi dilonggarin. Tidak boleh begitu. Biar nanti publik melihat," sambung Pasek Suardika.
Di sisi lain, Pasek Suardika menyesalkan perlakuan Kejati Bali dalam penanganan terdakwa.
Di mana keluarga Ketut Riana dilarang menjenguk saat ditahan di Lapas Kelas IIA Kerobokan.
"Yang paling saya sesalkan, ketika beliau (terdakwa) ditangani di kejaksaan. Keluarganya tidak boleh membesuk ke lapas tanpa izin kejaksaan. Kami harus ribut di lapas untuk penasihat hukum bisa ketemu dengan terdakwa. Pertunjukan apa ini, tidak boleh begitu. Bendesa adat dibegitukan, pejabat imigrasi ditangguhkan. Enak sekali," ungkapnya.
Terdakwa Ketut Riana baru bisa atau diizinkan dijenguk oleh keluarga saat berkas telah dilimpahkan ke pengadilan.
"Ini fakta, silakan cek ke lapas. Pejabat lapas semua mengatakan harus ada izin dari kejaksaan. Di KUHAP tidak ada mengatur begitu. Itu hak terdakwa. Zaman reformasi kok masih ada yang begini. Jaksa Agung harus melihat kejadian ini di Bali," ujar Pasek Suardika.
Pasek Suardika mempertanyakan adanya perlakukan berbeda dalam penanganan OTT Ketut Riana dan OTT pejabat Imigrasi, yakni Kepala Seksi Pemeriksaan I Kantor Imigrasi Kelas I Khusus TPI Ngurah Rai, Hariyo Seto atau HS. Namun sebelum itu, pria yang juga politikus ini telah mengajukan permohonan praperadilan terkait penetapan tersangka Ketut Riana.
"Kami mengajukan praperadilan, tadi sudah disidangkan. Karena perkara pokoknya sudah masuk (sidang) otomatis permohon praperadilan gugur," terangnya.
Pasek Suardika pun menyayangkan, lantaran permohonan praperadilannya belum sempat diuji di persidangan. Kami sangat menyesalkan, tapi tidak apa-apa, kami masih ada ruang eksepsi untuk perkara pokok. Nanti di eksepsi bisa diuji tentang apa yang kami mohonkan di praperadilan," sambungnya.
Terkait penanganan perkara oleh Kejati Bali yang menjerat Ketut Riana, kata Pasek Suardika cukup spesial dan sangat cepat. Berbanding jauh dengan penanganan OTT pejabat imigrasi terkait kasus fast track. (tribun bali/can)