Breaking News

Sampah di Bali

Produsen AMDK Lokal di Bali Akui Tak Pernah TTD Pernyataan Persetujuan Hentikan Produksi Bawah 1L

Kemasan plastik botol juga menjadi satu satunya sampah plastik, yang terbukti telah membuka lapangan kerja dan membantu ekonomi rakyat.

ISTIMEWA
Surat Edaran (SE) Gubernur Bali, I Wayan Koster, yang melarang agar industri Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) tidak memproduksi lagi produk kemasan, yang berukuran di bawah 1 liter sejak awal mendapat penolakan dari para produsen AMDK lokal di Bali. Hingga saat ini belum ada produsen lokal yang menandatangani pernyataan persetujuan.  

Dengan melarang produksi AMDK di bawah 1 liter itu, menurutnya, itu sama saja merugikan industri AMDK lokal di Bali, khususnya yang hanya fokus di gelas plastik dan botol.

“Itu ada beberapa industri. Jadi, kalau produk gelas dan botol  dihentikan, mesin yang full untuk produk itu berarti nggak bisa dipakai lagi lah. Itu mau dikemanakan,” cetusnya.
 
Dia mengatakan, untuk satu mesin saja termasuk pernak-perniknya, total investasinya sudah mencapai sekitar Rp 4 miliar. “Saya saja masih pusing memikirkan SE ini. Pasalnya, kami sekarang mau merambah ke kemasan di bawah 1 liter. Tiba-tiba SE muncul. Bank yang ngasih pinjaman duit ke saya kan otomatis langsung nelepon saya terkait dampak SE ini ke perusahaan. Mereka mungkin khawatir juga,” tuturnya. 

Pemilik industri AMDK lokal Bali lainnya, Hermawan Ketut juga menyampaikan hal serupa, yaitu belum menandatangani pernyataan persetujuan terhadap SE Gubernur yang melarang produksi AMDK di bawah 1 liter.

Menurut pemilik AMDK merek Amiro yang berlokasi di Singaraja ini, industri AMDK lokal di Bali sangat galau dengan keluarnya SE tersebut. “Apalagi, saya yang hampir 80-90 persen mainnya di cup atau gelas plastik, sangat berdampak lah. Malah saya juga baru beli mesin untuk cup yang agak gede. Saya bingung mau diapain nanti itu,” ucapnya. 

Kemudian, dia juga mengaku sudah membuat gudang-gudang baru AMDK. “Nah, karena sudah terlanjur invest, terpaksa harus direlokasi, transformasi ke bisnis lain. Makanya saya bikin gudang itu untuk kandang sapi,” ucapnya sembari berharap SE itu bisa ditinjau kembali.

Dia beralasan bermain di industri AMDK cup agar bisa bersaing di pasar, di mana masyarakat Bali masih sangat membutuhkannya pada saat acara-acara adat. “Kalau bermain di galon atau botol-botol besar, kita nggak bisa lawan perusahaan AMDK besar,” tukasnya. 

Untuk mencabut izin perusahaan, dia juga menyampaikan bahwa itu tidak mungkin dilakukan mengingat izin usaha untuk mendirikan industri AMDK itu diperoleh dari pusat. Artinya akan dicabut izinnya. Meski demikian, dia menuturkan SE itu telah menyebabkan penjualannya turun hampir 40 persen. 

Karenanya, dia juga mengatakan setuju jika ada upaya hukum yang dilakukan untuk membatalkan SE tersebut. “Apalagi industri AMDK lokal di Bali ini mempekerjakan banyak tenaga kerja lokal. Saya sendiri ada 42 karyawan yang bekerja di pabrik yang semuanya dari lokal. Tapi sekarang sudah berhenti 8 orang akibat demand turun karena SE itu yang menyebabkan saya tidak mampu lagi bayar mereka,” ungkapnya. 

Pemilik PT. Dewata Tirta Perkasa yang memproduksi AMDK merek Holy, Ary Daniel, juga berharap agar SE pelarangan terhadap AMDK ukuran di bawah 1 liter ini bisa dikaji ulang. Dia juga menyatakan mendukung dilakukannya gugatan hukum terhadap SE tersebut.

“Padahal saya baru dua tahun menjalankan bisnis ini dan sudah mempekerjakan 15 orang lokal. Saya juga sedang merencanakan untuk merambah ke produk kemasan botol dan sudah desain-desain label sama botolnya. Saya bingung, mesinnya sudah beli tapi tiba-tiba muncul peraturan ini,” katanya seraya menyampaikan pabriknya hanya memproduksi cup dan galon saja saat ini. (*)

Halaman 2 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved