Berita Bali

AMBANG Batas Modal PMA Jadi Rp100 Miliar, Pemprov Bali Bidik Sharing Investor Berkualitas 

Di antaranya dengan kondisi dan karakteristik daerah, khususnya Bali yang padat investasi dan memiliki struktur sosial-budaya yang unik.

ISTIMEWA
RAKOR – Gubernur Bali Wayan Koster bersama Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra, Dinas PMTSTP Kabupaten/Kota se-Bali, dan Tim Pengkaji Regulasi OSS saat rakor evaluasi OSS RBA di Jayasabha, Denpasar, Rabu (8/10). 

TRIBUN-BALI.COM  — Reformasi Sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (OSS RBA) perlu dilakukan agar lebih sinkronisasi. Di antaranya dengan kondisi dan karakteristik daerah, khususnya Bali yang padat investasi dan memiliki struktur sosial-budaya yang unik.

Gubernur Bali Wayan Koster menilai sistem perizinan yang sepenuhnya otomatis telah menghilangkan peran pemerintah daerah. Bahkan izin bagi Penanaman Modal Asing (PMA) bisa terbit tanpa verifikasi kabupaten/kota. 

“Dengan modal hanya 10 miliar, banyak investor asing leluasa masuk. Padahal angka itu sering hanya tercatat di atas kertas. Praktiknya di bawah 1 miliar, tapi mereka sudah menguasai jenis-jenis usaha rakyat,” ujar Koster saat memimpin rapat koordinasi evaluasi OSS RBA bersama Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali, Dewa Made Indra, Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PMPTSP) Kabupaten/Kota se-Bali, dan Tim Pengkaji Regulasi OSS di Ruang Rapat Kertasabha, Jayasabha, Denpasar, Rabu (8/10).

Baca juga: ASET BPD Bali Meningkat Hingga Rp 42,4 Triliun, Tidak Terlepas Dukungan Penyertaan Modal

Baca juga: BARBAR Alih Fungsi Lahan di Badung, Melonjak Drastis, Masa Kepemimpinan Giri Prasta Capai 348 Hektar

koordinasi evaluasi OSS RBA bersama  Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra, Dinas PMTSTP Kabupaten/ Kota se-Bali, dan Tim Pengkaji Regulasi OSS di Ruang Rapat Kertasabha, Jayasabha, Denpasar, Rabu 8 Oktober 2025. Ist
koordinasi evaluasi OSS RBA bersama Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra, Dinas PMTSTP Kabupaten/ Kota se-Bali, dan Tim Pengkaji Regulasi OSS di Ruang Rapat Kertasabha, Jayasabha, Denpasar, Rabu 8 Oktober 2025. Ist (istimewa)

Koster pun mengusulkan ambang batas modal PMA sebesar Rp 10 miliar sudah tidak relevan untuk Bali. “Bagi Bali yang nilai ekonominya tinggi, angka Rp 10 miliar itu terlalu rendah. Kita usulkan dinaikkan menjadi Rp 100 miliar agar investor asing yang masuk benar-benar berkualitas,” ujar Koster.

Ia menambahkan, selama ini modal tersebut jarang terealisasi. Banyak izin hanya formalitas administratif tanpa realisasi lapangan. “Inilah yang membuat investasi asing membanjiri sektor kecil yang seharusnya menjadi ruang hidup pelaku local,” katanya. 

Koster mencontohkan, di Kabupaten Badung saja lebih dari 400 orang asing memiliki usaha rental kendaraan, belum termasuk usaha bahan bangunan dan kuliner yang berdiri di lahan milik warga lokal. “Kalau dibiarkan, pelaku luar akan membanjiri sektor ekonomi kita. Ruang usaha anak-anak Bali diambil, ekonomi rakyat akan lumpuh,” katanya.

Menurutnya, kondisi ini merupakan akibat langsung dari norma OSS yang seragam secara nasional, tanpa memperhatikan kondisi daerah yang padat investasi seperti Bali.

“Bali tidak bisa dipukul rata dengan daerah lain. Kita harus naik kelas, butuh norma yang berbeda dan kewenangan yang lebih besar di daerah,” tegasnya. Koster menyoroti lemahnya pengawasan daerah yang berdampak langsung pada pelanggaran tata ruang.  

“Kewenangan kabupaten/kota terbatas, RDTR banyak yang belum lengkap. Akibatnya, izin bisa terbit di kawasan yang seharusnya dilindungi,” ujarnya.

Dalam rapat kemarin, membahas berbagai persoalan implementasi OSS, mulai dari ketidaksinkronan norma pusat dan daerah, lemahnya verifikasi izin, hingga dampaknya terhadap kemandirian ekonomi masyarakat Bali. Koster menilai akar masalah OSS RBA ada pada ketidakharmonisan norma antara regulasi pusat dan daerah. 

“Norma yang diatur di PP dan undang-undang pusat berlaku umum, padahal di bawah kita punya perda RTRW dan RDTR yang seharusnya jadi acuan utama. Akibatnya, izin usaha bisa keluar meskipun melanggar tata ruang,” kata Koster

Sekretaris Daerah (Sekda) Provinsi Bali Dewa Made Indra menambahkan, akar persoalan OSS RBA juga terletak pada hilangnya verifikasi dokumen dan verifikasi faktual dalam proses izin.

“Sekarang izin bisa keluar hanya dengan surat pernyataan, tanpa pembuktian. Tidak ada verifikasi modal, lokasi, atau kelengkapan dokumen. Semua berjalan otomatis,” jelas Dewa Indra.

Ia menyebutkan banyak izin pariwisata keluar tanpa pengawasan, bahkan bangunan berdiri di sempadan sungai dan pantai. Ironisnya, sektor pariwisata yang jelas berisiko tinggi justru diklasifikasikan sebagai risiko rendah dalam sistem OSS.  

“Seharusnya sektor pariwisata di Bali dikategorikan risiko tinggi. Kalau izinnya terlalu mudah, dampaknya sangat besar terhadap lingkungan dan masyarakat,” tegasnya.

Ia juga menyinggung maraknya minimarket berjaringan yang berdiri berderet di kawasan padat penduduk. “Coba lihat, di satu jalan bisa tiga sampai empat minimarket berdampingan. Kalau ini terus dibiarkan, warung kecil dan usaha lokal kita akan mati semua,” kata Koster.

Sejumlah usulan strategis akan disampaikan ke Pemerintah Pusat dan DPR RI usai Rapat koordinasi evaluasi OSS RBA yang dipimpin Gubernur Bali Wayan Koster bersama Sekretaris Daerah Provinsi Bali Dewa Made Indra, Dinas PMTSTP Kabupaten/ Kota se-Bali, dan Tim Pengkaji Regulasi OSS digelar di Ruang Rapat Kertasabha, Jayasabha, Denpasar, Rabu (8/10). 

Beberapa usulan tersebut yakni pertama, sinkronisasi norma OSS dengan regulasi daerah (RTRW dan RDTR). Kedua, Pengembalian kewenangan verifikasi izin kepada pemerintah daerah.

Ketiga, Klasifikasi ulang sektor usaha, terutama pariwisata dan perdagangan modern, menjadi risiko menengah atau tinggi. Keempat, Kenaikan ambang modal PMA untuk daerah padat investasi seperti Bali

Kelima, hak koreksi daerah terhadap izin yang melanggar tata ruang atau berkembang melebihi kapasitas. Keenam, Pemberian kewenangan daerah menentukan bidang usaha yang sudah jenuh.

“OSS yang terlalu tersentralisasi ini sudah tidak sesuai dengan semangat otonomi daerah. Semua kendali ada di pusat, daerah hanya jadi penonton. Kita harus ubah norma-normanya supaya daerah punya ruang untuk menjaga keberlanjutan ekonomi dan budaya Bali,” ujar Gubernur Koster 

Koster menyampaikan komitmennya untuk membawa hasil pembahasan ini langsung ke pemerintah pusat dan DPR RI. “Masalah utamanya bukan teknis, tapi normatif. OSS dalam bentuk sekarang telah mengambil alih kewenangan daerah dan menimbulkan banyak korban di lapangan,” katanya.

Koster menegaskan bahwa Bali, sebagai daerah yang sudah matang investasinya, membutuhkan skema kebijakan khusus agar pengelolaan ruang dan investasi tidak menimbulkan ketimpangan sosial dan kerusakan lingkungan.

“Saya akan sampaikan langsung ke kementerian dan DPR agar norma dan pasal-pasal yang bermasalah disesuaikan. Bali tidak menolak investasi, tapi harus ada keberpihakan yang jelas pada ekonomi rakyat,” pungkasnya. (sar)

Bali Sering Kecolongan 

Izin Penanaman Modal Asing (PMA) dikelola oleh pemerintah pusat. Ini menyebabkan jumlah izin UMKM di Bali yang digunakan oleh WNA tak dapat terhitung.

Hal tersebut diungkapkan oleh, Kepala Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) Provinsi Bali I Ketut Sukra Negara. 

Namun, kata Sukra secara ketentuan UU 25/2007 tentang Penanam Modal, modal PMA minimal Rp10 miliar. Sehingga, izin yang diberikan melalui OSS otomatis akan masuk ke golongan/skala usaha besar (non UMKM). 

“Jadi klaim izin UMKM (Usaha Mikro, Kecil dan Menengah) kepada PMA tersebut secara sistem tidak dimungkinkan dan perlu diperdalam lagi,” jelas Sukra beberapa hari lalu. 

Sukra Negara mengungkapkan bahwa dengan aturan seperti ini kemungkinan temuan BPKP adalah izin-izin UMKM orang lokal yang merupakan nominee dari penanam modal luar negeri.

Ia mengungkapkan permasalahan sesunguhnya adalah masih terdapat kegiatan usaha skala rendah yang terbuka bagi PMA, seperti NIB dan Sertifikat Standar terbit tanpa verifikasi, sehingga rentan penyalahgunaan.

“Kewenangan penerbitan dan pengawasan perizinan berusaha PMA berada di pusat, sehingga daerah seringkali kecolongan,” imbuhnya. 

Pihaknya kembali menjelaskan bahwa berdasarkan PP 7/2021, kategori UMKM berdasarkan modal usaha, yaitu usaha mikro modal usaha maksimal Rp1 miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan).

Usaha kecil modal usaha antara Rp1 miliar hingga Rp5 miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan). Usaha menengah modal usaha antara Rp5 miliar hingga Rp10 miliar (tidak termasuk tanah dan bangunan).

Agar tak kecolongan, sebaiknya ada keterlibatan atau rekomendasi dari Pemerintah Daerah. “Keterlibatan atau ada rekomendasi daerah. Gubernur telah membentuk tim pengkajian OSS,” tutupnya. 

Ketua Dewan Ekonomi Nasional Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan sebelum pernah membeberkan banyak izin UMKM di Bali yang diberikan untuk usaha modal asing.

Hal ini terkuak usai adanya audit dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang menemukan banyaknya penyalahgunaan izin usaha pada penanaman modal asing (PMA). (sar)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved