Tajen Maut di Bangli

VONIS 20 Tahun Mangku Luwes Jadi Atensi Guru Besar Unud, Terpidana Bisa Hadapi Konsekuensi Ganda!

Yakni Prof. Dr. Gde Made Swardhana yang menyoroti prinsip Ultra Petita dan kegagalan program Pembebasan Bersyarat (PB).

DOK PRIBADI NARSUM
SOSOK - Guru Besar Universitas Udayana, Ahli Hukum dan Kriminolog Prof. Dr. Gde Made Swardhana. 

TRIBUN-BALI. COM, DENPASAR - Vonis 20 tahun penjara yang dijatuhkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Bangli, terhadap I Wayan Luwes alias Mangku Luwes, seorang residivis kasus pembunuhan, menuai sorotan tajam dari kacamata ahli hukum dan kriminolog.

Pasalnya, terdakwa didakwa dengan Pasal 338 KUHP yang memiliki ancaman hukuman maksimum 15 tahun. Keputusan hakim yang akhirnya menyamai tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) sebesar 20 tahun ini, disorot oleh Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Udayana.

Yakni Prof. Dr. Gde Made Swardhana yang menyoroti prinsip Ultra Petita dan kegagalan program Pembebasan Bersyarat (PB).

Mangku Luwes terbukti kembali melakukan tindak pidana pembunuhan, terhadap Komang Alam di Desa Songan, Kintamani, pada 14 Juni 2025.

Padahal ia baru bebas bersyarat pada Januari 2024, setelah menjalani hukuman 17 tahun penjara karena kasus pembunuhan berencana sebelumnya.

Baca juga: HISTERIS Kerabat Mendiang Komang Alam Dengar Putusan Hakim, Mangku Luwes Divonis 20 Tahun Penjara!

Baca juga: VONIS Mangku Luwes 20 Tahun Penjara, Padahal Keluarga Berharap Hukuman Mati, Ini Alasannya!

Persidangan - Mangku Luwes terdakwa yang divonis 20 tahun penjara, atas kasus pembunuhan oleh Pengadilan Negeri Bangli, Bali, Kamis 13 November 2025. 
Persidangan - Mangku Luwes terdakwa yang divonis 20 tahun penjara, atas kasus pembunuhan oleh Pengadilan Negeri Bangli, Bali, Kamis 13 November 2025.  (ISTIMEWA)

Prof. Gde Made Swardhana menjelaskan, bahwa vonis 20 tahun yang melebihi batas maksimum pidana dalam dakwaan 15 tahun berdasarkan Pasal 338 KUHP adalah perdebatan akademik yang sah. 

Secara hukum acara (KUHAP), ancaman pidana seharusnya tidak boleh melebihi batas maksimum yang didakwakan.

"Dalam kasus ini, baik JPU maupun hakim dinilai menggunakan prinsip ultra petita," ujar Kriminolog asal Singaraja, Bali ini melalui sambungan telepon dengan Tribun Bali, pada Jumat 14 November 2025. 

Dalam sistem peradilan, hakim memiliki kewenangan untuk memutus perkara berdasarkan tuntutan atau permohonan yang diajukan. 

Namun, dalam praktiknya, ada beberapa kasus di mana putusan hakim melampaui batas yang diminta oleh para pihak yang berperkara. Fenomena ini dikenal sebagai putusan ultra petita, yang sering menjadi perdebatan dalam berbagai bidang hukum.

Prinsip ultra petita umumnya, diterapkan secara ketat dalam hukum perdata dan pidana untuk menjaga kepastian hukum dan memastikan bahwa hakim tidak bertindak di luar kewenangannya. 

Namun, dalam hukum konstitusi, konsep ini memiliki penerapan yang lebih fleksibel, terutama ketika berkaitan dengan kepentingan umum.

Dalam konteks kasus ini, prinsip tersebut merujuk pada situasi di mana hakim atau jaksa, dalam pertimbangannya, memutuskan hukuman di luar batas ancaman maksimum demi keadilan, terutama pada kasus residivisme.

Profesor Swardhana menyoroti, bahwa tidak ada sanksi eksplisit dalam Undang-undang yang mengatur bagi jaksa yang menuntut atau hakim yang memutus melebihi batasan maksimum, membuka ruang interpretasi dalam praktik hukum.  "Ini perdebatan akademik, ya," ujar Prof Swardhana. 

"Tetapi prinsip ultra petita yang digunakan hakim dalam memutuskan perkara ini, diizinkan untuk melebihi dari tuntutan jaksa, ataupun ada dalam Undang-undang KUHAP itu sendiri. Boleh melebihi, dan itu prinsip ultra petita dalam hukum acara pidana, ada itu," jabarnya. 

Sumber: Tribun Bali
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved