Bisnis

TANTANGAN Terbesar Industri Sawit Global Kini Hadapi Persepsi Negatif dan Kepercayaan 

Paganini kemudian menegaskan, bahwa teknologi harus dipandang bukan sebagai beban biaya, melainkan investasi strategis dalam daya saing.

Istimewa/Dokumentasi Panitia IPOC 2025
Adjunct Professor dari John Cabot University, Roma, Pietro Paganini, saat mengisi sesi diskusi panel di hari kedua penyelenggaraan IPOC ke-21. 

TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA — Industri sawit berada pada titik penting dalam menghadapi tekanan regulasi dan persepsi negatif dunia. 

Hal tersebut diungkapkan Adjunct Professor dari John Cabot University, Roma, Pietro Paganini, di hari kedua penyelenggaraan IPOC ke-21 pada Jumat 14 November 2025 di BICC The Westin Resort Nusa Dua.

Dalam paparannya berjudul “EUDR and Beyond: Navigating New Frontiers for Palm Oil”, Paganini menyatakan bahwa tantangan terbesar sawit saat ini bukanlah produktivitas, melainkan masalah persepsi dan kepercayaan.

“Kelapa sawit adalah komoditas yang paling produktif dan paling inklusif, tetapi justru memiliki reputasi paling buruk,” ujar Paganini dalam sesi diskusi panel.

Baca juga: LONGSOR Timbun Puluhan Orang di Cilacap! Bencana Ini Diluar Prediksi, Beberapa Jasad Dievakuasi!

Baca juga: JUMAT Curhat Bersama Sopir Travel, Polres Gianyar Singgung Soal Maraknya Curanmor dan Macet!

Suasana para narasumber saat sesi diskusi panel di hari kedua penyelenggaraan IPOC ke-21.
Suasana para narasumber saat sesi diskusi panel di hari kedua penyelenggaraan IPOC ke-21. (Istimewa/Dokumentasi Panitia IPOC 2025)


Ia menekankan, bahwa kesenjangan antara fakta dan persepsi telah membuat sawit kerap dijadikan kambing hitam, padahal komoditas ini berperan besar dalam pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan gizi dunia, serta efisiensi penggunaan lahan.

Menyoroti implementasi EU Deforestation Regulation (EUDR), Paganini menyebut regulasi tersebut sebagai awal dari gelombang baru standar pasar global. 

Menurutnya, dari pada melihat EUDR semata-mata sebagai hambatan, industri justru perlu menjadikannya arena kompetisi baru dalam membangun kepercayaan dan nilai tambah.

“Nol deforestasi dan keterlacakan penuh akan menjadi standar baru pasar global. EUDR membuka perlombaan global untuk membangun kepercayaan dan inovasi,” tegasnya.

Ia mengapresiasi adanya masa uji coba 24 bulan, masa transisi satu tahun bagi UMKM dan petani kecil, serta pembentukan komunitas praktik dan komite pengarah sebagai bentuk kompromi realistis untuk memastikan implementasi yang lebih inklusif.

Paganini kemudian menegaskan, bahwa teknologi harus dipandang bukan sebagai beban biaya, melainkan investasi strategis dalam daya saing.

“Teknologi adalah frontier baru bagi daya saing dan kepercayaan,” imbuhnya. Ia menekankan pemanfaatan drone dan satelit untuk pemantauan dan kepatuhan, blockchain untuk transparansi dan ketertelusuran, serta kecerdasan buatan (AI) untuk peningkatan efisiensi.

Menurut Paganini, peningkatan produktivitas melalui replanting, inovasi agronomi, hingga digitalisasi lahan merupakan pilar utama keberlanjutan.

“Semakin tinggi hasil panen, semakin rendah tekanan terhadap lahan. Inilah keberlanjutan yang sesungguhnya,” tuturnya. Ia menambahkan, bahwa arah pengembangan industri harus bergeser dari ekspansi lahan menuju pertumbuhan yang dilakukan dengan cerdas berbasis inovasi.

 

Melawan Narasi Negatif dengan Edukasi

 

Paganini menyoroti meningkatnya kebijakan anti-SAFA (Saturated Fat) dan maraknya klaim “palm oil-free” yang menurutnya menyesatkan konsumen dan tidak menyelesaikan persoalan nutrisi secara substansial.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 1/2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved