Perda Atur Tak Ada Dikriminasi Terhadap Pendatang, Pecalang Diminta Beri Pengayoman Pada Tamiu
Raperda akan membahas terkait posisi krama wed (warga asli yang beragama Hindu), krama tamiu (pendatang Hindu) dan tamiu (pendatang non Hindu)
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Irma Budiarti
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ketua Pansus Raperda tentang Desa Adat DPRD Bali, Nyoman Parta menyatakan pembahasan Raperda sudah hampir rampung terkait ketentuan umum.
Selanjutnya yang juga dibahas dalam Raperda adalah terkait posisi krama wed (warga asli yang beragama Hindu), krama tamiu (pendatang Hindu) dan tamiu (pendatang non Hindu).
Menurut Parta, perlu diatur terkait posisi pendatang di desa adat agar tidak ada diskriminasi dalam melaksanakan kewajiban dan pengaturan hak-haknya.
“Walaupun mereka kategorinya tamiu (pendatang), tapi kan perlakuan desa adat tidak boleh diskriminatif,” kata Parta di Kantor DPRD Bali, Jumat (22/2/2019).
Baca: Meriahkan HUT ke-231 Kota Denpasar, Anak-Anak SLB Ikuti Lomba Membuat Canang Sari
Baca: Hari Terakhir Great Sale Rumah Belanja Denpasar, Harga Dimulai 25 Ribu
Maka dari itu ketika pendatang diminta ada kewajiban dan berkontribusi di desa adat di luar parahyangan (urusan keyakinan), seperti ikut membersihkan lingkungan desa, menjaga keamanan wilayah, berdana punia dan sebagainya, maka aktivitas mereka juga harus dilindungi.
Misalnya pada momen tertentu terjadi masalah, pecalangnya harus hadir.
Begitu juga pada momen tertentu ada ritual, misalnya khitanan, kawinan, pecalangnya hadir memberi pengayoman.
“Kan gitu seharusnya, orang mereka tinggal dalam masyarakat adat, dan tinggal dalam wewidangan desa adat,” ujar politisi asal Desa Guwang, Gianyar ini.
Baca: Makna Dan Kesakralan Tarian Legong Lasem Hingga Peserta Kerauhan di Depan Puri Agung Denpasar
Baca: Sandiaga Uno: Saya Anggap Itu Sambutan, Solidaritas Warga Gelar Aksi Dukung Jokowi
Berikutnya, lanjut Parta, agar tidak ada pungutan ilegal di wewidangan desa adat dan menyebabkan munculnya masalah hukum, maka penting adanya anggaran pendapatan dan belanja desa adat.
Pertama, mengenai kejelasan sumber masuknya uang ke desa adat.
“Ketika kita bicara sumber uang darimana, dasar hukumnya apa uang itu masuk supaya uangnya jelas,” imbuhnya.
Kedua, ketika sudah ada uang, desa adat harus merencanakan dirinya dalam satu tahun, dua tahun, tiga tahun akan dipergunakan sebagai apa.
Baca: Suwandi Berharap Porprov di Tabanan Lancar, KONI Bali Gelar Rapat Anggota Tahun 2019
Baca: 12 Atlet Muay Thai Bali akan Dikirim ke Liganas XI di Riau
Nantinya hal itu akan disusun persis seperti APBD karena desa adat harus modern walaupun lembaganya tradisional.
Sementara itu, Plt. Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, I Putu Astawa mengatakan, roh dari revisi Perda tentang desa adat ini sebenarnya dalam rangka penguatan desa adat karena desa adat secara Undang-undang sudah diakui kedudukannya.
Dalam rangka memperkuat itulah, dari unsur-unsur pemberdayaannya akan dikembangkan terutama dalam peningkatan kualitas SDM dalam menghadapi tantangan global, supaya Bali tetap memiliki daya saing dalam kancah nasional maupun internasional.
Baca: Bukan Hanya Mitos, Mata Berkedut Ternyata Pertanda Ada Yang Tidak Beres di Tubuh Anda
Baca: Kisah Sniper TNI Tatang Koswara Dihujani Peluru Usai Tembak Kepala Komandan Musuh
Disamping itu, kata Astawa, persoalan budaya dengan arus globalisasi saat ini akan terus terdegradasi.
