Siswa Pasraman di Tabanan Akan Dijadikan Watangan Calonarang, Dibakar Selama 3 Menit

“Empat kali percobaan kami dua kali sempat gagal, setiap kegiatan pasti akan ada resiko masing-masing. Jadi unsur kecelakaan itu tetap ada,”

Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali / I Made Prasetia Aryawan
KAIN MERAJAH - Guru Pasraman Cakra Ca Buana atau Nabe Calonarang, I Bagus Putu Budi Adnya, menunjukkan kain putih rajahan di Banjar Temuku Aya, Desa Tanguntiti, Selemadeg Timur, Tabanan, Bali, Senin (23/4/2018). 

Pertunjukan yang akan digelar ini sudah menjadi perbincangan di kalangan masyarakat, khususnya pencinta pertunjukan calonarang.

Mereka pun sudah tak sabar menantikan bagaimana prosesi bangke dibakar tersebut.

Untuk mempersiapkan pertunjukan secara matang, pihaknya pun melakukan empat kali percobaan.

Dari percobaan tersebut diakui bahwa dua kali di antaranya sempat gagal.

“Dari empat kali percobaan kami dua kali sempat gagal, itu karena setiap kegiatan pasti akan ada resiko masing-masing. Jadi unsur kecelakaan itu tetap ada,” ceritanya.

Tujuan yang paling utama dalam menyelenggarakan calonarang ini adalah untuk melestarikan budaya leluhur Bali, selain itu memberikan ruang bagi seniman calonarang untuk berkreasi.

"Sejumlah proses dalam pertunjukan calonarang sama seperti pertunjukan calonarang lainnya di Bali. Hanya saja, perbedaan terletak pada watangan yakni dibakar," katanya.

Awalnya watangan akan ditidurkan di tempat yang disediakan, kemudian akan dipercikkan panglukatan Panca Geni yang memiliki makna pembersihan jiwa, mental, dan diri.

Watangan selanjutnya akan diselimuti dengan kain rajahan yang telah dipasupati sebelumnya kemudian disiram dengan bahan bakar dan terakhir dilakukan pembakaran menggunakan kompor.

Prosesi watangan dibakar ini diperkirakan akan berlangsung sekitar tiga menit.

Budi Adnya menyatakan sudah menyiapkan ritual khusus untuk pelaksanaan calonarang ini.

Namun ia enggan menjelaskan lebih dalam lantaran merupakan suatu rahasia dari seniman calonarang sendiri.

“Intinya ada ritual untuk memohon keselamatan dan kelancaran selama acara pementasan berlangsung. Ritual paling sederhana adalah puasa selama lima hari lima malam dan diikuti ritual lainnya yang tak bisa disebutkan,” tegasnya.

Kemudian untuk resikonya, kata dia, antara pihaknya dengan watangan dan keluargana sudah ada kesepakatan. Namun Budi menyatakan bahwa akan tetap bertanggung jawab ketika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan secara medis.

Dia melanjutkan, kegiatan ini telah mendapat restu atau izin dari pihak Desa Pakraman Tanguntiti maupun aparat desanya.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 2/3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved