Menerka Semesta Kita, Masuk ke ‘Semesta’ Sang Perupa

Pernahkah kita menerka bagaimana rupa sebuah semesta yang penuh dengan keliaran imajinasi, kebebasan tiada batas?

Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/Ni Ketut Sudiani
Salah satu lukisan yang dipamerkan dalam pameran bertajuk “Semesta Kita” di Bentara Budaya Bali, yang berlangsung hingga 27 Januari 2019. 

Pastilah sebuah perjalanan yang panjang, terutama bagi sang kreator mencipta karya-karyanya.

Para penggagas yakni Amalia Prabowo, Kanoraituha Wiwin, bersama Wicaksono Adi, dan Bentara Budaya Bali telah mempersiapkannya sedari tahun 2017.

Sekaligus pula untuk menuju Festival Bebas Batas 2019, festival pertama yang menampilkan karya seni brilian dari para seniman disabilitas, yang diinisiasi Direktorat Kesenian, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Baca: Vandalisme Masih Terjadi di Denpasar, Kasatpol PP: Kami Kesulitan Melacak Pelakunya

Baca: Surat Keterangan Miskin Tak Berlaku dalam Penerimaan Peserta Didik Baru 2019

Baca: Gubernur Koster akan Keluarkan Pergub Penggunaan Energi Bersih Terbarukan di Provinsi Bali

Unspoken World

Kurator menyebut karya mereka sebagai gambaran dari dunia yang nyaris tak tersampaikan, semesta yang unspoken, dunia yang ‘berbeda’ dengan yang dialami orang kebanyakan.

Dari 56 lukisan yang berangka tahun dari 2012 hingga 2018 itu, publik dapat menyaksikan gambaran semesta yang seakan begitu kelam, tragis, penuh misteri, juga sebuah kenaifan dan kemurnian anak-anak yang melukiskan sesuatu apa adanya.

Ekspresi akan apa yang mereka rasakan dan pikirkan pada satu momen tanpa terbebani kepentingan apapun.

Ada pula lukisan nirsosok, atau dikatakan sebagai abstrak, yang sama sekali tidak secara gamblang menampakkan tokoh, latar tempat, maupun deskripsi sebuah peristiwa.

Melainkan perpaduan bebas aneka warna yang dipuas, dicipta sealur perasaan, pikiran, juga imajinasi sang kreator.

Cukup jauh berbeda, pada lukisan lainnya, justru muncul gambaran yang sangat detail memenuhi kanvas.

Di dalamnya pun dapat dirasakan ada sebuah kesadaran akan komposisi, pilihan warna, yang tampaknya juga merupakan sebuah respons akan kehidupan sosial masyarakat.

Masing-masing anak muda ini hadir dengan caranya yang berbeda dan publik dapat dengan segera merasakannya.

Setiap kreator memiliki karakter yang cukup kuat, sehingga walaupun lukisannya diletakkan secara acak, kita dapat mengenali siapa pelukisnya.

Coba kita perhatikan karya Anfield Wibowo, kelahiran Jakarta, 19 November 2004.

Lukisan-lukisannya terbilang cukup mencekam.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved