Begini Makna Ketupat yang Menjadi Salah Satu Fenomena Kebudayaan Indonesia

Menurut buku Myth and Meaning (1978), kode-kode kebudayaan memang dapat dijelaskan melalui makanan tertentu yang dipilih oleh seubah suku.

Editor: Wema Satya Dinata
net
Ilustrasi ketupat 

TRIBUN-BALI.COM - Ketupat adalah makanan yang tidak asing keberadaannya saat perayaan hari besar keagamaan, salah satunya hari raya Idul Fitri.

Makanan ini telah menjadi sebuah fenomena kebudayaan yang khas di Indonesia.

Menurut buku Myth and Meaning (1978), kode-kode kebudayaan memang dapat dijelaskan melalui makanan tertentu yang dipilih oleh seubah suku. 

Mengutip Harian Kompas, 19 September 2009, Raymond Thallis meneliti hubungan antara makanan, pembentukan kosa kata, dan identitas kebudayaan.

728 Warga Binaan Pemasyarakatan Se-Bali Diusulkan Dapat Remisi Khusus Idul Fitri

35 ODP dan OTG di Kelurahan Kesiman Diberi Bantuan Sembako

Anggota yang Bertugas di Bandara & Pelabuhan Prioritas Rapid Test, Kapolresta Denpasar Jelaskan Ini

Adanya menu makanan yang berbeda dapat menjadi media untuk mengenang berbagai peristiwa penting dalam hidup manusia.

Filosofi ketupat

Pemahaman ketupat dengan metode semiologi Charles Sanders Peirce dapat dilihat sebagai ikon, lambang, dan simbol.

 Ikon adalah penunjuk langsung.

 Lambang merupakan proses pengangkatan ikon ke dalam norma-norma keseharian.

 Sedangkan simbol adalah lapis pemaknaan reflektif atas lambang yang terkait dengan struktur kebudayaan.

 Menjadi ikon, ketupat digambarkan sebagai makanan yang berbahan beras dan dibungkus dengan daun mudah dari pohon kelapa atau janur

Sebagai lambang, ketupat memberi arti penting dalam proses perayaan.

Makna ini dapat dilihat pada sebagian masyarakat pesisir Jawa yang membagi perayaan Lebaran menjadi dua, yaitu Idul Fitri dan Lebaran Ketupat. 

Kemudian, sebagai simbol, ketupat lahir sebagai wujud budaya pesisiran.

Mengutip Harian Kompas, Sabtu (19/9/2009), sumber dari Malay Annal (1912) oleh HJ de Graaf menyebutkan bahwa ketupat merupakan simbol perayaan hari raya Islam pada masa pemerintahan Demak yang dipimpin oleh Raden Fatah pada awal abad ke-15.

De Graaf juga menduga-duga alasan mengapa bungkus ketupat yang asli menggunakan janur.

AS Pasang Bendera Setengah Tiang, Pasien Covid-19 yang Meninggal Dekati 100.000 Orang

Ini 5 Zodiak yang Hanya Berpura-pura Peduli dengan Orang Lain, Apa Zodiakmu Diantaranya ?

Disarankan Daging Sapi daripada Daging Merah Lain, Makanan Ini Harus Dihindari Penderita Asam Urat

 Ia menyebut bahwa alasan pemilihan ini berkaitan dengan identitas budaya kepesisiran.

Sebab, pohon kelapa dikenal banyak tumbuh di daratan rendah.

 Selain itu, warna kuning memberikan arti khas untuk membedakan dari warna hijau dari Timur Tengah dan merah dari Asia Timur.

Budaya yang tak tergantikan

Selain makanan seperti ketupat, budaya saling mengunjungi juga menjadi salah satu budaya yang tidak bisa lepas dari tradisi hari raya Idul Fitri.

Kebiasaan ini juga dapat dijelaskan melalui etimologi kata ketupat, yakni dalam bahasa Jawa disebut kupat.

Pada frase kupat berarti ngaku lepat atau mengaku bersalah. 

Makna ini menuntut kita untuk menghilangkan rasa benci dan saling memaafkan.

Meskipun sederhana, ketupat membimbing manusia untuk berdamai dan memahami hakikat manusia itu sendiri.

Meskipun zaman telah berkembang dan banyak tradisi lebaran yang dapat dilakukan melalui media sosial, budaya ketupat tetap tidak tergantikan.

Budaya ketupat membuat orang-orang hadir, bertatap muka, dan saling bercerita sembari menyantapnya. 

Saat itu, kita disadarkan, betapa kehidupan sehari-hari telah membuat kita jauh dari keluarga, kerabat, dan sahabat.(*)

Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved