Tak Perlu Angin Kencang, Layang-layang Celepuk Diburu oleh Rare Angon di Masa Pandemi Covid-19
Gede yang juga membuat layang-layang untuk dijual ini mengaku dalam seminggu dapat pesanan hingga 5 layang-layang celepuk.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Bulan ini merupakan musim layang-layang, dan banyak rare angon, sebutan untuk mereka yang bermain layang-layang, menerbangkan layang-layangnya.
Namun karena pandemi Covid-19, permainan layang-layang tak sesemarak tahun-tahun sebelumnya.
Tak ada lomba layang-layang, tak ada keramaian saat bermain layang-layang.
Oleh karena itu, layang-layang yang mudah terbang di pemukiman menjadi pilihan rare angon.
Salah seorang undagi layang-layang dari kelompok Layangan Andel-andel Team di Banjar Pagan Kelod, I Gede Arya Swastika mengatakan saat ini kebanyakan rare angon yang beralih ke layang-layang jenis celepuk (burung hantu).
• Tak Boleh Bergaya Hidup Mewah, Berikut Ini Besaran Gaji Polisi, Lengkap dari Tamtama hingga Jenderal
• Tak Lakukan Karantina, 14 Duktang di Blahbatuh Gianyar Disidak
• Hadapi Pra New Normal, Kabag Ops Polres Badung Lakukan Koordinasi, Ini yang Dibahas
Hal ini karena, lewat layang-layang ini bisa dikreasikan dengan berbagai jenis gambar.
Selain itu, layangan ini juga mudah diterbangkan di daerah pemukiman dan tak memerlukan angin kencang.
“Hanya dengan angin sepoi-sepoi saja sudah bisa menerbangkan layangan celepuk dengan ukuran 1.5 meter. Cukup dari rumah dan tak perlu ke tempat luas. Kalau yang layangan bebean kan ada ngelog, kalau di pemukiman itu agak sulit,” katanya saat diwawancarai, Senin (15/6/2020) siang.
Ia yang juga membuat layang-layang untuk dijual ini mengaku dalam seminggu dapat pesanan hingga 5 layang-layang celepuk.
Namun dirinya hanya akan membuat layang-layang jika mood-nya bagus.
• Ini Manfaat Terong untuk Kesehatan Tubuh, Bantu Mencegah Stres Oksidatif
• Tak Lakukan Karantina, 14 Duktang di Blahbatuh Gianyar Disidak
• Bosan Bosan Bosan, Pameran Virtual Seni Rupa Hadirkan 19 Karya
“Dalam membuat layang-layang ini saya pakai mood, kalau mood bagus baru buat. Ini kan hobi, dan kalau kurang bagus, saya tidak sreg untuk menjual, kasihan pembeli, apalagi di saat-saat seperti ini. Dan kebanyakan saya nolak pesanan juga kalau tidak mood,” katanya.
Untuk saat ini, agar layang-layang tersebut bisa tahan lama, ia membuat dengan sistem knock down atau bongkar pasang.
Tujuannya agar setelah musim layang-ayang berakhir bisa disimpan untuk digunakan tahun berikutnya.
“Kalau biasanya kan digantung di tembok, pasti cepat pudar warnanya atau bambunya rapuh. Kalau dengan sistem ini kan bisa dipakai untuk jangka waktu yang lebih panjang,” katanya.
• Petugas Pilah Sampah TOSS Karangdadi Klungkung Kerap Temukan Limbah Medis di Sampah Rumah Tangga
• China Siaga: Kasus Baru Covid-19 di Pasar Beijing Mencapai 79, Resiko Penularan Tinggi
Untuk layang-layang celepuk dengan warna polos berukuran 120 cm, ia jual dengan harga Rp 100 ribu.
Sementara yang dilengkapi dengan motif atau hiasan, ia jual dengan kisaran harga Rp 350 ribu tergantung pada tingkat kerumitannya.
“Ukuran yang kebanyakan dicari itu 130 cm atau 120 cm, namun ada juga yang mencari ukuran 150 cm. Selain itu anak-anak biasanya membeli layang-layang bebean plastik atau layangan cotek,” katanya.
Sementara penjual layang-layang dari Kesiman, Gede Supardiarta juga mengatakan jika yang paling dicari adalah layang-layang jenis celepuk.
“Ya karena proses pembuatannya tidak rumit. Kalau saya sehari bisa buat maksimal 4 layang-layang celepuk yang biasa dari mulai membelah bambu hingga memasang tukub,” katanya.
Namun jika dicat, karena masih menggunakan kuas, memerlukan waktu hingga 3 hari.
Selain itu ia juga membuat layang-layang dengan tukub yang di-print yang juga bisa diselesaikan dalam sehari.
Untuk harga layang-layang print ini tergantung ukurannya bekisar Rp 175 ribu.
“Karena saya kan beli sket gambarnya, kalau misalnya saya bisa buat sket sendiri pasti akan lebih murah harganya,” katanya.
Kesulitan membuat layang-layang yang di-print yakni menyesuaikan gambar dengan rangka layang-layang.
“Karena harus buat gambar dulu, pas nempelnya baru dicocokkan dengan rangka. Biasanya kan buat rangka dulu, baru buat tukubnya,” katanya.
Ia juga mengatakan, dipilihnya layang-layang celepuk ini karena lebih mudah untuk menerbangkannya.
Jika layang-layang bebean membutuhkan tempat yang lebih luas untuk menaikkannya. (*)
