Geliat Zine di Denpasar, Jadi Media Pergerakan Maupun Alat untuk Mengekspresikan Diri
Bahkan zine ini kini menjadi media pergerakan di Bali untuk menyuarakan beberapa aspirasi pembuat atau kelompok tertentu.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Wema Satya Dinata
Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Tak banyak yang tahu apa itu Funzine atau yang disingkat Zine.
Namun Zine ini kini hidup dan menggeliat di Bali khususnya di Denpasar.
Ada beberapa Zine yang muncul belakangan, misalkan saja I Ni Timpal Kopi, Mula Keto Zine, atau Pemantjar.
Bahkan zine ini kini menjadi media pergerakan di Bali untuk menyuarakan beberapa aspirasi pembuat atau kelompok tertentu.
• Pengendara Harus Cek Masa Berlaku SIM, Telat Perpanjang Wajib Bikin Ulang dari Awal
• BLT Karyawan Rp 1,2 Juta Cair Besok 27 Agustus 2020, Tahap Pertama Disalurkan pada 2,5 Juta Pekerja
• Kuota Pemesanan Uang Rp 75.000 Hingga 30 September 2020 Sudah Habis, Tapi Masih Ada Tahap Berikutnya
Zine ini merupakan media cetak alternatif yang biasanya diterbitkan secara personal atau kelompok kecil dan diproduksi dengan cara fotocopy.
Di Denpasar, zine ini muncul sekitar tahun 90-an yang dipopulerkan anak-anak sastra Universitas Udayana.
Salah seorang pegiat zine, Rai Astrawan mengatakan tidak ada batasan dalam sebuah zine kecuali batasan yang dibuat oleh si pembuatnya sendiri.
“Para pembuat zine dapat menentukan zine apa yang akan dibuat. Dia merupakan publikasi yang otonom dan nonkomersial. Isinya beragam, boleh puisi, opini, cerpen, ilustrasi, foto dan apa saja selama itu bisa dicetak dan dipertanggungjawabkan,” kata Rai yang kini mengelola zine I Ni Timpal Kopi.
Dirinya mengaku sudah aktif dalam dunia zine ini sejak tahun 2011.
Ia pun menyebutkan keunggulan zine terletak pada kebebasan dan keberanian dari penulisnya sendiri.
“Kebebasan dan keberanian yang ada dalam zine bisa jadi stimulan bagi anak muda yang hendak menulis,” sambungnya.
Ia pun mengatakan zine tidak memiliki aturan dan perbedaannya dengan majalah terletak pada kebebasan penulisnya.
“Aturannya yakni tanpa aturan. Tapi harus ada pertanggungjawaban juga,” katanya.
Pegiat zine lainnya, Juli Sastrawan mengatakan, keberadaan zine saat ini sedikit berbeda dengan dulu.
• Satu Korban Kejang-kejang dan Tak Sadarkan Diri, Laka Lantas di By Pass Ngurah Rai Denpasar
• Wawali Jaya Negara Hadiri Karya Pedudusan Alit Pura Pengulun Subak Pagutan Padangsambian Kaja
• Kasus Covid-19 di Jembrana Melonjak, RSU Negara Siapkan Tambahan Ruang Isolasi 22 Bed
“Dulu zine digunakan sebagai media informasi setara dengan majalah. Namun saat ini zine dilirik untuk berkegiatan dalam seni sastra. Zine dulu dijadikan salah satu media untuk menyebarkan informasi yang sifatnya kelompok. Sebagai media untuk protes.
Dan memang zine itu hadir semacam melawan sesuatu yang tidak bisa diakomodir media mainstream, bisa diakomodasi oleh zine. Beda dengan sekarang yang mungkin lebih untuk mengekspresikan diri dengan tulisan, gambar foto dan yang lainnya,” kata pengasuh zine Pemantjar ini.
Setiap tahunnya di Denpasar lewat perkumpulan Denpasar Kolektif diadakan Bali Zine Festival.
Beragam informasi yang dicetak lewat zine akan banyak dijumpai pada festival tersebut.
Kertas-kertas zine dipajang, digantung ataupun disusun di rak.
“Tapi karena situasinya seperti ini kami tidak bisa gelar festival. Jadinya ya tunda dulu. Siapa tau akhir tahun nanti bisa mereda, jadi bisa digelar. Sementara kami buat diskusi-diskusi kecil terkait zine lewat virtual saja,” katanya.
Zine biasanya berukuran lebih kecil dibandingkan majalah pada umumnya yakni kurang dari A5.
Zine bisa dipublikasikan oleh perorangan tanpa harus melewati proses publikasi yang rumit.
Dalam satu zine biasanya menggunakan satu topik atau tema tertentu dan dibuat dengan metode DIY (Do It Yourself).
Mengingat zine bisa diproduksi sendiri, cara publish-nya cukup menggunakan mesin fotocopy.
Bisa diterbitkan secara periodik maupun tidak. (*)