Sidang Kasus Perkara Jerinx di Pengadilan Negeri Denpasar, Pengacara Minta Putusan yang Adil

Sidang kasus ujaran kebencian dengan terdakwa I Gede Ari Astina alias Jerinx kembali digelar secara virtual di PN Denpasar, Selasa (29/9/2020).

Penulis: Putu Candra | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/I Wayan Erwin Widyaswara
Jerinx memeluk erat istrinya Nora Alexandra, kemudian mengajak Nora masuk ke dalam mobil tahanan, Selasa (29/9/2020) 

Dalam dakwaan ini, tim jaksa sama sekali tidak menjelaskan apa unsur yang saling mengecualikan antara Pasal 27 ayat (3) UU ITE dengan Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengakibatkan JPU menggunakan dakwaan alternatif. Sedangkan kedua pasal dakwaan ini sama sekali tidak saling mengecualikan.

Apa yang dilakukan JPU dalam dakwaan aquo adalah dakwaan yang tidak jelas dengan mencampuradukan semua dakwaan tanpa memberikan pengecualian.

Poin kedua, dakwaan tim jaksa kabur (obscuur libel). Ini karena tidak jelas siapa yang dimaksud oleh tim jaksa sebagai korban di dalam surat dakwaan.Yang dimaksud oleh tim jaksa dalam surat dakwaannya adalah Ikatan Dokter Indonesia (IDI) wilayah BALI.

Tentu ini harus dicermati mengingat bahwa laporan polisi nomor LP/263/VI/2020/Bali/SPKT, tertanggal 16 Juni 2020 yang dinyatakan sebagai korban adalah Ikatan Dokter Indonesia.

Yang dimaksud sebagai IDI adalah Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) yang berkedudukan hukum di Jakarta.

Adapun dr. I Gede Putera Suteja yang bertindak dalam kapasitasnya baik sebagai seorang dokter maupun sebagai ketua IDI wilayah Bali dalam perkara aquo sebagai pelapor mendalilkan diri mendapat kuasa dari PB IDI.

Hal lain yang dimaksud dengan IDI adalah PB IDI bukan IDI Wilayah Bali (sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga IDI).

Postingan terdakwa pada 13 Juni 2020 (sebagaimana telah diurai dalam dakwaan), dalam kalimat atau caption “…Saya gak akan berhenti menyerang kalian @ikatandokterindonesia sampai ada penjelasan perihal ini…”.

Dalil tim jaksa yang menyatakan, bahwa yang menjadi korban dari perbuatan terdakwa adalah IDI Wilayah Bali, maka uraian dalam surat dakwaan a quo sesungguhnya merupakan uraian yang keliru.

Poin berikutnya disebutkan, pengaduan dan kedudukan hukum/legal standing pengadu tidak sah secara hukum.

Dijelaskan Manik, jika IDI dikualifikasi sebagai korban, maka yang wajib hadir adalah representasi hukum dari IDI, yakni Ketua Umum PB IDI sebagai korban langsung.

Poin selanjutnya, surat kuasa pengaduan cacat hukum sehingga tidak sah hukum.

Dokter Suteja selaku pengadu hanya mencantumkan tanda tangan dari pemberi kuasa.

Tidak mencantumkan tanda tangan penerima kuasa. Ini menunjukan surat kuasa yang digunakan Suteja cacat formil.

Seusai mengurai sejumlah keberatan dan kejanggalan, Sugeng kemudian membacakan bagian penutup yang memuat permohonan eksepsi.

Ditegaskan Sugeng, berdasarkan penjelasan nota keberatan itu, disimpulkan bahwa dakwaan tim jaksa tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 ayat (2) huruf b Pasal 143 ayat (3) KHUAP.

"Oleh karenanya, kami mohon kepada majelis hakim yang terhormat agar memeriksa, mengadili dan memutuskan sebagai berikut. Satu, menerima nota keberatan dari penasihat hukum terdakwa I Gede Ari Astina alias Jerinx.

Dua, menyatakan surat dakwaan penuntut umum batal demi hukum atau setidak-tidaknya menyatakan, surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima.

Atau setidak-tidaknya menyatakan surat dakwaan dibatalkan. Ketiga, membebankan biaya perkara kepada negara.

"Apabila majelis hakim yang terhormat berpendapat lain mohon putusan yang adil. Demikian nota keberatan yang kami sampaikan dalam sidang terbuka untuk umum ini. Terima kasih," kata Sugeng.

Usai mendengarkan urai nota keberatan, Hakim Adnya Dewi memberikan waktu kepada tim jaksa untuk menanggapinya. Jaksa minta waktu seminggu untuk menanggapi eksepsi secara tertulis. Dengan demikian sidang selanjutnya akan digelar kembali 1 Oktober 2020. (can)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved