Kisruh Tanah Adat di Bandara Bali Utara, Bendesa Laporkan Satu Warganya Ini ke Polisi
Rencana pembangunan bandara di wilayah Desa/Kecamatan Kubutambahan Buleleng, kisruh.
Penulis: Ratu Ayu Astri Desiani | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, SINGARAJA - Rencana pembangunan bandara Bali Utara di wilayah Desa/Kecamatan Kubutambahan Buleleng, kisruh.
Status lahan kini menjadi perdebatan antara warga.
Beberapa kelompok masyarakat menyebut jika pihaknya lebih setuju apabila lahan seluas 370 hektar milik duwe pura yang saat ini masih dikontrakkan kepada PT Pinang Propertindo agar dijual saja kepada pemerintah sehingga menjadi status milik negara.
Hal ini tentu bertentangan dengan keinginan Klian Desa Adat Kubutambahan, Jro Pasek Warkadea bersama warga lain, yang ingin mempertahankan agar status tanah tetap menjadi milik desa adat setempat.
Perwakilan Warga, Sujana Budi ditemui Minggu (11/10/2020) mengatakan, lahan seluas 370 hektar itu dikontrakan kepada PT Pinang Propertindo selama 30 tahun terhitung sejak 1991 sampai 2026, dan bisa diperpanjang tanpa batas waktu.
Informasi yang dianggap valid itu diterima oleh pihaknya dari berbagai instansi.
Dengan demikian, masyarakat pun menilai bahwa saat ini tanah duwe pura sejatinya sudah tidak ada, karena tidak memiliki hak untuk mengelola.
“Yang ada tinggal SHM (Sertifikat Hak Milik) yang selalu dibangga-banggakan. Artinya kami sekarang hanya punya legalitas sertifikat, namun hak pengelolaannya sudah tidak ada. Sesungguhnya tidak ada kontrak dengan tanpa batas waktu, itu sebenarnya cacat hukum. Namun investor yang dihadapi ini kan hebat, desa adat tidak akan bisa melawan,” ucapnya.
• Kementerian Perhubungan Kaji Angkutan Masal dari Denpasar ke Bali Utara
• Pengusaha Dorong Bali Segera Bangun Bandara Bali Utara
• Belum Siap New Normal, Pengusaha Dorong Bangun Bandara Bali Utara Untuk Selamatkan Pariwisata Bali
Dengan dikontrakannya lahan duwe pura tersebut, pemerintah pun hingga saat ini kesulitan untuk membangun bandara di wilayah tersebut.
Sehingga sejumlah masyarakat sebut Sujana Budi sepakat agar lahan tersebut dijual saja kepada pemerintah, sehingga bandara yang selama ini diidam-idamkan oleh masyarakat setempat dapat segera terealisasi.
Hal ini juga sejalan dengan opsi yang diberikan oleh pemerintah pusat saat melaksanakan paruman secara tertutup pada Selasa (6/10) lalu di Pura Desa Adat Kubutambahan.
Dari paruman yang dipimpin oleh Wakil Bupati Nyoman Sutjidra itu, kata Sujana Budi, pemerintah menawarkan agar tanah duwe pura dibeli senilai Rp 50 Miliar, dan uangnya akan dititipkan di Pengadilan.
“Kalau tanah sudah dibeli oleh pemerintah, investor tidak akan bisa menuntut.
Namun sayangnya saat paruman dia (Jro Warkadea,red) tidak hadir dan tidak mau menandatangani kesepakatan tersebut.
Sehingga kami berpikir dia lebih memikirkan kepentingan pribadi.