Serba Serbi
Pandangan Ida Pedanda Gede Bang Buruan Manuaba Terkait Ngidih Via Online
viral di media sosial, prosesi ngidih (meminang atau meminta )yang dilakukan secara virtual calon mempelai di Jepang, dan keluarganya di Bali.
Akhirnya, setelah berkonsultasi dengan banyak pihak, Malen mendapatkan informasi dari KBRI Tokyo bahwa mereka harus mendapatkan surat dan dokumen sah dari adat di Bali serta Kantor Catatan Sipil di Bali terlebih dahulu.
Diputuskanlah tanggal pernikahan Malen dan Gita pada Kamis (8/10/2020) kemarin.
Pihak Keluarga Malen dan Gita mengirimkan pakaian adat Madya sederhana untuk Malen dan Gita melaksanakan pernikahan secara online dari Jepang.
"Kalau untuk make up, kebetulan istri saya bisa sendiri, jadi dia sendiri yang make up wajahnya," kata Malen.
Untuk tetap menghormati adat istiadat di Bali, Keluarga Malen tetap melaksanakan proses upacara pawiwahan sebagaimana biasanya dilakukan oleh orang Bali saat menikah.
"Kami sangat menghormati dan menghargai adat istiadat di Bali. Berdasarkan saran dan masukan dari keluarga besar, sehingga dilaksanakan lah prosesi mesadok oleh keluarga besar saja dahulu dengan kami pun hadir secara online menggunakan aplikasi zoom saat prosesi ngidih (meminang)," kata Malen
Proses itu, kata Malen, sebagai syarat ia bisa mendapatkan surat secara sah dari adat tempatnya tinggal di Bali.
"Waktu acara kami yang dilakukan oleh keluarga di Bali dihadiri keluarga besar, kelian adat, kelain dinas masing-masing, serta mekalan-kalan dasar untuk pelengkap suatu pernikahan di Bali dikatakan sah tanggal 8 kemarin," tutur Malen.
Nah setelah upacara yang mereka gelar di Bali sah secara adat, surat nikah secara adat dan catatan sipil tersebut dikirimkan keluarga Malen ke Jepang.
"Setelah upacara tersebut di Bali, surat akan dikirimkan ke Jepang untuk kami melangsungkan pernikahan secara hukum di KBRI tokyo," tuturnya.
Tut Malen mengaku setelah pandemi Covid-19 mereda dan mereka bisa pulang ke Bali, mereka berencana melanjutkan uparaca pernikahan mereka yang belum mereka laksanakan, seperti banten bale, ngabe tipat bantal dan lainnya.
"Kurang lebihnya begitu, ini pengalaman berdasarkan kami. Mungkin teman yang di Australia dan Amerika atau negara lain yang melakukan hal serupa memiliki pertimbangan dan alasan khusus untuk melakukan prosesi tersebut.
Tuhan dan leluhur beliau berada dimana saja, yang terpenting niat dan keyakinan bhakti menjalankan sesuatu," tutur Malen.
Malen berharap masyarakat Bali bisa memaklumi proses pernikahannya yang digelar secara virtual.
"Saya lihat komentar netizen di media sosial pro kontra, padahal mereka tidak tahu yang sebenarnya terjadi.
Kalau tidak ada pandemi ini, kami tentu dengan senang hati melaksanakan pernikahan langsung tanpa harus melalui aplikasi," kata Malen. (*)