Jerinx SID Dilaporkan ke Polda Bali

Sidang Perkara Jerinx, Jiwa Atmaja Kritik Ahli Bahasa Yang Dihadirkan Jaksa

Sidang perkara dugaan ujaran kebencian dengan terdakwa I Gede Ary Astina digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar

Penulis: Putu Candra | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
Tribun Bali/Rizal Fanany
Saksi, Jiwa Armaja, ahli bahasa saat mengikuti sidang saksi kasus dugaan pencemaran baik dengan terdakwa I Gede Ary Astina atau Jerinx di Pengadilan Negeri Denpasar, Kamis (22/10/2020). 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Sidang perkara dugaan ujaran kebencian dengan terdakwa I Gede Ary Astina alias Jerinx (JRX) digelar di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Bali, Kamis (22/10/2020).

Dalam sidang kali ini mengagendakan mendengarkan keterangan ahli yang dihadirkan tim penasihat hukum Jerinx.

Tim hukum yang dikoordinir oleh I Wayan "Gendo" Suardana menghadirkan ahli bahasa yang juga pensiunan dosen di Fakultas Sastra Unud, Made Jiwa Atmaja.

Selama hampir 1,5 jam, Jiwa Atmaja memberikan keterangan atau pendapatnya dihadapan majelis hakim, tim Jaksa Penuntut Umum (JPU), juga tim penasihat hukum Jerinx.

Baca juga: 2 Kesalahan Memotong Ini Bikin Daging Merah Segar Jadi Alot

Baca juga: Kasus Kematian dengan Positif Covid-19 Bertambah Satu Orang di Bangli

Baca juga: Lee Min Ho Ditawari Bermain di Film Pachinko, Kisahkan Tentang Hal Ini

Pada intinya Jiwa Atmaja mengkritisi kajian yang dilakukan oleh ahli bahasa yang pada sidang sebelumnya dihadirkan oleh tim jaksa penuntut.

"Perkara bahasa itu tidak bisa dikaji dari segi bentuk leksikal saja karena menurut ahli bahasa, bahasa itu terdiri dari dua bentuk. komponen bentuk akustik dan pemberian mental," jelasnya ditemui usai sidang.

Jadi kajian ahli yang sudah disampaikan itu bentuk harus sampai pada pemberian mental.

Ia mengatakan, ahli bahasa yang dihadirkan tim jaksa, hanya mengulas pada bentuk kata saja.

Tidak sampai melihat kecakapan seorang penyair atau penulis lirik lagu.

"Kita harus melihat posisinya itu sebagai Jerinx seorang penyair, yang mempunyai diksi berbeda. Itu yang tidak dilihat jaksa dan sebagainya. Diksi yang dia gunakan menyebabkan satu kata berbeda dari arti leksikal," terang Jiwa Atmaja.

Lebih lanjut dijelaskan Jiwa Atmaja, jika satu kata "kacung" dan "menyerang" itu konotasinya buruk di leksikal kamus.

Namun dalam diksi seorang penyair kata itu tidak buruk.

"Kata menyerang dia (Jerinx) tidak mempunyai kekurangan untuk menyerang. Kata menyerang maksudnya, dia tidak akan berhenti bertanya sebelum pertanyaannya di jawab. Maknanya kan baik. Diksinya saja yang berbeda dengan diksi orang biasa, ahli bahasa linguistik," katanya.

Dengan adanya perbedaan diksi itu akan gampangnya pihak lain menganggap Jerinx mempunyai niat buruk.

Ditanya kenapa Jerinx menggunakan diksi itu.

Menurutnya, Jerinx menggunakan bahasa itu karena seorang seniman.

Seorang seniman atau penyair menggunakan diksi dengan pilihan kata khusus.

Diksi yang dipilih diharapkan mempunyai tenaga untuk menyita perhatian orang sehingga pertanyaannya dijawab.

"Sehingga adalah kata konspirasi busuk, atau kata saya tidak akan berhenti menyerang.
Apa ada niat buruk? Kan tidak," tegas Jiwa Atmaja.

Mengenai emoticon babi, katanya tidak bisa dilihat semata-mata dari arti kamus.

"Itu kata maknanya akan berubah ketika diksi orang berbeda. Emoticon babi yang disediakan pengelola medsos tinggal kita comot dan tidak ada hubungannya dengan wacana yang diatasnya," terangnya.

"Dan sifatnya bisa tanpa makna. Kalau dikatakan babi tidak ada kalimatnya subjek yang dituju. Memang di kalimat "IDI kacung WHO" ada subjek IDI, orang boleh menuntut . Postingan lain tidak ada subjek," imbuh Jiwa Atmaja.

Pihaknya pun menerangkan, saat ditanyakan jaksa mengenai norma berbahasa.

"Saya bilang tidak ada nornal di medsos kan. Tidak ada Undang-Undang yang mengatur bahasa di medsos. Terus saya disalahkan. Saya sampai bilang ke jaksanya, ajarin saya norma mengenai bahasa di medsos," tutur Jiwa Atmaja.

Menurutnya, kebebasan berekspresi di medsos itu terutama bahasa yang digunakan tidak bisa diatur dengan norma sepanjang tidak ada subjek.

"Maka tidak ada alasan memperkarakan bahasa itu. Kalau menyebut IDI segala macam, anda punya alasan untuk tersinggung. Tapi norma tidak ada, itu kebebasan berekspresi dia akan membentuk ragam ekspesi di medsos," jelas Jiwa Atmaja.(*).

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved