Serba Serbi

Balai Hasil Jarahan Perang, Saksi Bisu Kisah Berdirinya Puri Kauhan Ubud

zaman feodal, zaman kerajaan, perang masih kerap terjadi dalam perebutan kekuasaan.

Tribun Bali/AA Seri Kusniarti
Bale Gede Puri Kauhan Ubud hasil rampasan perang  

Namun tidak demikian halnya bagi para pedagang China, yang biasanya selalu punya cara untuk menyelundupkan barang dari luar negeri.

Apalagi orang-orang mereka sangat diuntungkan oleh negeri Mengwi yang memiliki sejumlah pelabuhan penting di Bali.

Ketika pelabuhan-pelabuhan di bagian utara sudah dikuasai raja-raja Buleleng, dan yang di Blambangan sudah jatuh ke tangan pemerintah kolonial Belanda di tahun 1880-an.

Kerajaan Mengwi masih memiliki pelabuhan penting di bagian Selatan.

Pelabuhan-pelabuhan yang masih tersisa itu, memudahkan Mengwi melakukan hubungan dengan para pedagang asing, sehingga memungkinkan mereka membeli senjata api dan mengimpor teknik-teknik militer baru, yang selanjutnya membuat pelaksanaan kekuasaan mereka semakin efektif.

“Perang Oka Negara II dimulai ketika sisa-sisa pendukung setia Oka Negara, di bawah pimpinan Dewa Ketut Sandat menyerang pasukan Mengwi,” jelasnya.

Pasukan Mengwi yang diserang oleh pendukung Oka Negara sedang berada di wilayah Negara, atas permintaan Tjokorda Gde Soekawati.

Tujuan sebenarnya hanya untuk pamer kekuatan saja.

“Namun justru menjadi pemicu dari pecahnya perang Negara II. Dalam perang itu, pasukan Negara mendapat restu dari Dewa Agung Klungkung. Sementara, tentara koalisi Peliatan, Ubud, dan Tegallalang mendapat dukungan Kerajaan Mengwi,” jelas pria asli Ubud ini.

Bersama dengan sanak familinya, terutama punggawa Tegallang dan Peliatan, Tjokorda Gde Soekawati berhasil menguasai hampir seluruh daerah barat daya Gianyar.

Hal ini menjadikan Mengwi berhadapan dengan Ubud, sebagai kelompok kekuatan baru di timur yang dihindari untuk dilawan.

Seperti sudah dibicarakan pada bagian lain, di bawah kepemimpinan Agung Kerug, Mengwi justru bersekutu dengan Tjokorda Gde Soekawati yang sedang bermusuhan dengan Klungkung.

Mengwi pun secara terang-terangan ikut melawan Dewa Agung Klungkung.

Jika Agung Kerug, seorang pejabat tinggi (patih) kerajaan Mengwi saja sudah berkoalisi dengan Tjokorda Gde Sukawati dan Mengwi, sebagai sebuah kerajaan sudah secara terang-terangan ikut melawan Dewa Agung Klungkung saat berlangsung Perang Negara, lalu di mana posisi Tjokorda Ketut Rai, apakah dia harus berpihak pada Mengwi atau Klungkung.

“Nordholt mengatakan, persekutuan itu terlihat ketika Agung Kerug berkoalisi dengan Tjokorda Gde Soekawati untuk terlibat dalam Perang Negara II. Mereka melakukan serangan bersama terhadap pengikut Dewa Agung Klungkung yang masih menguasai daerah selatan Gianyar,” sebutnya.

Pada bulan Juli 1890 dan Januari 1891, berarti enam bulan sebelum runtuhnya Mengwi, sekutu Klungkung memberikan perlawanan.

“Saat itu mereka masih kuat. Namun pada Mei 1981, sebulan sebelum runtuhnya Mengwi, pasukan koalisi Mengwi dan Ubud kembali melakukan serangan. Kali ini mereka tampil sebagai pemenang. Puri Negara dibakar dan perlawanan Klungkung terpecah,” katanya.

Tiba-tiba terjadi serangan balik dari pasukan sekutu Klungkung.

Dalam suasana kacau dan panik sejumlah laskar Mengwi menyerah dan sebagian besar lainnya terbunuh.

Campur tangan Mengwi di Gianyar pun, kata dia, tidak banyak membuahkan hasil.

Hasil tak terduga itu mengakibatkan pasukan Mengwi telah mengalami kemunduran drastis.

Sementara Tjokorda Gde Soekawati tidak mampu memberikan bantuan secara maksimal kepada Mengwi, karena dia sendiri sedang membutuhkan banyak pasukan untuk mengamankan daerahnya.

Pasukan koalisi Peliatan di bawah pimpinan Tjokorda Gde Soekawati, akhirnya dapat menghancurkan pasukan Negara.

Wilayah Negara, dan daerah bekas taklukannya, kemudian dibagi menjadi daerah kekuasaan punggawa Peliatan, punggawa Ubud, dan punggawa Tegallalang.

“Karena Tjokorda Gde Soekawati memainkan peranan yang sangat penting, maka kepadanya diberikan bagian yang paling besar,” imbuh Ari.

Tjokorda Ketut Rai dan saudara-saudaranya yang terlibat dalam Perang Negara Negara II, mendapatkan pampasan perang berupa sebuah bale gede, bangunan tanpa dinding, yang seutuhnya merupakan hasil jarahan perang.

“Dengan demikian, dari sumber tradisional dan kolonial yang dapat dicari dan ditemukannya Nordholt menunjukkan ada tiga fakta penting yang dapat dipetik untuk mencari titik temu dan titik silang, yakni di bawah kepemimpinan Agung Kerug, Mengwi justru bersekutu dengan Tjokorda Gde Soekawati yang sedang bermusuhan dengan Klungkung,” jelasnya.

Mengwi pun secara terang-terangan ikut melawan Dewa Agung Klungkung.

Kedua, pada Juli 1890 dan Januari 1891, berarti enam bulan sebelum runtuhnya Mengwi, sekutu Klungkung memberikan perlawanan.

Ketiga, pada Mei 1981, sebulan sebelum runtuhnya Mengwi, pasukan koalisi Mengwi dan Ubud kembali melakukan serangan.

“Ada sisa waktu satu bulan, rentang waktu yang relatif pendek untuk sebuah kisah sejarah, namun cukup panjang bagi Tjokorda Ketut Rai sekeluarga untuk ikut pulang menengok anak dan istrinya, yang tidak terlibat dalam Perang Negara II,” katanya.

Alasan historis ini sekaligus mementahkan pendapat yang mengatakan Tjokorda Ketut Rai dan keluarganya sudah ada di Ubud sebelum runtuhnya Mengwi.

Ketika perang Mengwi berkecamuk, ia memutuskan mengajak keluarga pindah ke Ubud.

Apa alasan kepindahan Tjokorda Ketut Rai sekeluarga ke Ubud.

Serangan yang bertubi-tubi yang dilakukan oleh pasukan koalisi Badung dan Tabanan yang didukung Klungkung, menjadikan kemampuan Mengwi untuk bertahan nyaris musnah.

Kebanyakan mekel dan manca menyadari, tidak ada gunanya melanjutkan pertempuran.

Mereka berbondong-bondong berbalik arah berpihak ke penakluk dan berjanji bersekutu dengan penguasa, sang penakluk. 

Situasi dan kondisi Mengwi saat itu, memang betul-betul gawat dan bahkan darurat.

Ketika para pemimpin Tabanan dan Bangli mengetahui Mengwi sudah runtuh, mereka ikut menyerang.

“Tabanan bergerak ke Blayu. Tidak ada perlawanan dari penguasa Blayu, dia justru memilih jalan bunuh diri. Wilayah kekuasaan Blayu lalu digabungkan dengan Tabanan. Wilayah Tabanan jadi semakin luas dengan masuknya Kaba-Kaba,” sebutnya.

Para bangsawan Kaba-Kaba yang dulu mengungsi ke Tabanan, kini kembali ke daerahnya dan berlindung di bawah tuannya yang baru, Raja Tabanan.

Di sisi lain, Bangli menyerang Carangsari dan Petang dan sama sekali tidak terjadi perlawanan.

Kedua penguasa di puri tersebut mengakui Raja Bangli sebagai atasan mereka, yang baru dan mulai sejak itu membayar upeti kepadanya yang diambil dari keuntungan penjualan kopi dan candu.

Pada 20 Juni 1891, Mengwi kalah.

Tapi sebelum Mengwi runtuh, pasukan Badung menganggap tidak perlu lagi melanjutkan pertempuran, sebab semua keinginannya sudah tercapai.

“Oleh karena itu dia mengirim utusan ke Mengwi, untuk meminta raja supaya menyerah seperti yang pernah terjadi di tahun 1823. Fakta tersebut menunjukkan ada kesempatan bagi Mengwi untuk melakukan sidang besar, guna mengambil keputusan apakah ingin melanjutkan perang atau menyerah,” katanya.

Di mana posisi Tjokorda Ketut Rai saat itu.

Tidak ada yang bisa menjawab, tapi melihat fakta lain yang menyertainya di kemudian hari, terbukti bahwa dia berkompromi dengan Klungkung.

Tentunya atas sepengetahuan Klungkung pula, Badung dan Tabanan mengibarkan bendara putih, karena bagi Klungkung tujuan perang melawan Mengwi, bukan untuk menghancurkannya, melainkan menguasainya, sebagai pengganti kegagalan menguasai Gianyar.

“Tjokorda Ketut Rai mengetahui taktik itu, sehingga dia tidak ikut melanjutkan peperangan, memilih berkompromi dengan Klungkung,” jelasnya.

Di sisi lain, ia juga sudah berjanji kepada Tjokorda Gde Soekawati untuk ikut membangun Ubud, seperti yang terekam dalam memori di Puri Kauhan Ubud.

Rupanya Raja Mengwi bergeming.

Dia tidak melakukan apapun.

Itu artinya bagi Badung sama dengan perang tetap berlanjut.

“Keputusan Tjokorda Ketut Rai berkompromi dengan Klungkung terekam dalam sebuah memori, diperoleh Arybuwana dari salah seorang saudara sepupunya di Mengwi, yang tentunya didasarkan pada memori yang terwariskan di sana,” tegas Ari.

Sebelum meninggalkan Mengwi, Tjokorda Ketut Rai sempat mengajak saudaranya bersembahyang di altar pemujaan Meru Tumpang tiga di Pura Batan Nyuh.

Pura ini dibangun Tjokorda Gde Oka Gelgel, sebagai tempat pemujaan kepada kawitan, leluhur.

Setelah itu masih sempat menitipkan pura tersebut kepada warga Batan Tubuh, yang juga merupakan pemaksan, penanggung jawab dan pelaksana upacaranya.

Fakta ini menunjukkan perpindahan Tjokorda Ketut Rai ke Ubud, berlangsung dalam situasi tidak ada atau jeda perang.

Bukti dari pernyataan itu, dapat dilihat dari gambaran situasi saat Tjokorda Ketut Rai dan menyeberangi sungai Ayung.

“Saat itu, Oka Krebek masih berusia sekitar 15 tahun, karena itu dia masih berpegangan dengan pamannya, Anak Agung Ketut Gelgel. Kakak sepupunya Oka Krebek, Anak Agung Raka Togog berpegangan dengan Tjokoda Ketut Rai, sedangkan ibu tirinya, Sayu Ketut dipegang oleh dua orang abdi laki-laki,” sebutnya.

Rencananya setelah tiba di ubud, namun anaknya, Oka Krebek menolak.

Lalu mereka menuju ke Puri Saren, tempat tinggal Tjokorda Gde Soekawati, dan diajak tinggal di sana selama sebulan.

Istana Tjokorda Gde Soekawati masih sangat sederhana saat itu.

Bangunannya terbuat dari batang pohon Jarak, yang buahnya bisa diolah jadi minyak lampu.

Berarti kondisinya sangat miskin sekali.

“Informasi ini jauh lebih masuk akal, karena sebelum perang meletus, masih ada peluang bagi Raja Mengwi untuk berdamai dengan musuh-musuhnya, dan peran Klungkung sangat dibutuhkan untuk mencapai tujuan tersebut,” katanya. 

Setelah itu, Tjokorda Ketut Rai bersama dengan kakak sepupunya Oka Krebek, Anak Agung Raka Togog, dan dua orang pengiringnya pergi ke Klungkung untuk memberitahukan Dewa Agung Klungkung bahwa mereka akan menetap di Ubud, Gianyar, Bali.

Jika demikian, Oka Krebek dan ibunya dibiarkan tinggal di Ubud.

Mengetahui hal itu Dewa Agung Klungkung memberikan izin, asalkan bisa membangun rumah dan merajan.

Begitu kembali ke Ubud, mereka diberikan tanah kosong yang sekarang menjadi Puri Kauhan Ubud.

Setelah tinggal sekitar setahun, mereka mulai membangun merajan atau kuil keluarga, namun tidak sampai selesai.

Merajan itu baru dapat diselesaikan sekitar tahun 1918.

“Jadi, Tjokorda Ketut Rai tidak dapat menyaksikan secara langsung keruntuhan kerajaan Mengwi. Ketika pasukan Badung semakin mendekat ke istana, para pimpinan Mengwi melakukan pertemuan singkat di Puri Gede ia sudah berada di Ubud. Di tempat ini dia kemudian bertemu lagi dengan para pejabat tinggi kerajaan Mengwi yang dapat meloloskan diri dari medan perang,” jelasnya.

Di bawah komando punggawa Ubud, para pelarian tersebut berniat menjalankan aksi untuk merebut kembali negara Mengwi.

Mereka lalu bersekutu dengan Raja Karangasem untuk melawan Raja Klungkung.

“Anak Agung Gede Agung alias I Gedu, Putra Mahkota Raja Mengwi bahkan sebelumnya sudah mengirim surat kepada Raja Karangasem untuk meminta perlindungan bagi dirinya dan keluarganya.

Sulit dipahami bagaimana respon Tjokorda Ketut Rai ketika gagasan itu dimufakati.

“Di mana posisinya, apakah ia berpihak pada para petinggi Mengwi itu atau membela Ubud. Nyatanya mereka tetap berada di Ubud, membela kepentingan Tjokorda Gde Soekawati. Karena itu fakta yang menyebutkan bahwa setelah beberapa waktu tinggal di Ubud, Tjokorda Ketut Rai sempat pergi ke Ke Klungkung, sulit dimengerti karena dalam pergaulan para kesatria tidaklah mungkin dalam situasi perang seperti itu, ada pihak yang bersikap mendua, di satu sisi berpihak kawan dan di sisi lain lawan,” tegasnya.(*).

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved