Serba Serbi

Ini Penjelasan Sulinggih Soal Perbedaan Nyegara Gunung dan Meajar-ajar, Serta Makna Ngenteg Linggih

ida rsi menjelaskan hal tersebut karena ketika roh itu belum di-linggih-kan, dan baru dilakukan nyegara gunung.

Penulis: AA Seri Kusniarti | Editor: Wema Satya Dinata
tribunbali/dewa dedy farendra
ilustrasi persembahyangan di Pura Goa lawah, Klungkung, Bali. Ini Penjelasan Sulinggih Soal Perbedaan Nyegara Gunung dan Meajar-ajar, Serta Makna Ngenteg Linggih 

Sehingga banyak yang akhirnya berat, dan berpikir melakukan upacara adalah hal yang berat.

Padahal hal itu, tidak diharuskan oleh agama Hindu.

“Kalau kita berada di Bali Selatan, maka arah utara atau kaja atau kanan itu jika dilihat menurut palinggih maka kanan adalah utara. Sedangkan kalau menurut orangnya kanan adalah selatan.

 “Padahal sebenarnya yang harus dilakukan adalah di kanannya palinggih bukan dikanannya manusia. Karena yang dikanan palinggih disebut luanan, yang kalau di Bali Selatan maka luanan berada pada utara atau yang disebut kaja,” tegas beliau.

Sedangkan jika di Bali Utara, maka luanan ada di selatan sehingga kaja adalah selatan.

Ini akan membingungkan jika tidak dipahami.

 Kemudian di wilayah Kubu, Karangasem maka timur adalah selatan atau kelod sedangkan barat adalah kaja.

“Kaja, Kelod, kanan, kiri, membuat masyarakat bingung. Oleh sebab itu, patokannya adalah luanan dan teben.

Kesimpulannya, kata beliau, umat Hindu dalam upacara agama tidak memakai istilah kanan dan kiri.

Tetapi luan dan teben, untuk laki-laki ditaruh di luan. Pada Bali Selatan luanannya adalah di utara atau kaja.

Kalau Bali Utara, luanannya adalah di selatan atau kaja juga. Sedangkan di daerah Kubu, Karangasem luanan itu adalah di barat.

Baca juga: Bagaimana Upacara Ngaben Sebelum Buda Kliwon Pegat Uwakan?

“Sehingga kita tidak akan bingung saat ngalinggihang. Ingat bukan ngenteg linggih, karena ada perbedaan ngelinggihang dengan ngenteg linggih,” sebut beliau.

Mantan wartawan ini, menjelaskan ketika habis mamukur adalah ngalinggihang, karena setelah itu ada uacara yang disebut nilapati dan ini sangat penting.

 Sebab nilapati menyatukan purusha pradana jadi satu dibakar. Kemudian setelah itu abunya ditanam dibelakang rong telu, dan dibuatkan daksina linggih di tengah-tengah yang disebut dengan Bhatara Hyang Guru.

Bhatara Hyang Guru, tidak lain adalah Siwa. Yang disebut dengan Atma Tattwa. Atma Tattwa, Sidha Tattwa, dan Prama Siwa tattwa.

Halaman
1234
Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved