Kesehatan

Cegah Tindakan Bunuh Diri, Masyarakat Diharapkan Mampu Kelola Manajemen Stres, Ini Kata Psikiater

Tiga faktor yang dimaksud yakni gangguan depresi, gangguan bipolar, kemudian gangguan skizofrenia atau gangguan jiwa berat.

Penulis: I Made Prasetia Aryawan | Editor: Wema Satya Dinata
Gambar oleh Wokandapix dari Pixabay
Foto ilustrasi kesehatan mental - Cegah Tindakan Bunuh Diri, Masyarakat Diharapkan Mampu Kelola Manajemen Stres, Ini Kata Psikiater 

TRIBUN-BALI.COM,  TABANAN - Dokter spesialis kesehatan jiwa (Psikiater) di Tabanan, dr. I Gusti Ngurah Bagus Mahayasa, Sp. KJ menyebutkan ada tiga faktor menjadi penyebab maraknya peristiwa gantung diri di Bali, khususnya di Tabanan.

Di Tabanan sendiri sudah ada tiga kasus bunuh diri selama sepekan ini.

Sehingga, masyarakat diharapkan mengelola manajemen stres yang terjadi pada dirinya sendiri dengan berbagai cara.

Misalnya berkegiatan yang ia senangi seperti berkebun dan lain sebagainya.

Baca juga: Enam Manfaat Puasa untuk Kesehatan Mental

Tiga faktor yang dimaksud yakni gangguan depresi, gangguan bipolar, kemudian gangguan skizofrenia atau gangguan jiwa berat.

Khusus untuk pasien skizofrenia ini sering disebabkan oleh adanya bisikan-bisikan atau halusinasi.

"Dan jika bukan karena gangguan jiwa berat, itu disebabkan oleh stres yang berlebihan. Sehingga pengelolaan manajemen stres itu sangat penting dilakukan," jelas dr Mahayasa saat dikonfirmasi, Selasa 20 April 2021.

Kenapa orang stres itu ada yang bunuh diri dan ada yang tidak bunuh diri ?

dr Mahayasa menerangkan, hal tersebut dipengaruhi atau tergantung oleh kapasitas mentalnya.

 Kapasitas mental tersebut adalah kekuatan seseorang menerima stres tersebut.

Yang berpengaruh di dalamnya adalah karakter yang sudah dibentuk sejak kecil.

"Sebenarnya, semakin banyak orang stres, tapi bisa mengambil hikmah positifnya akan semakin baik. Apabila sebaliknya akan membuat seseorang menjadi sakit," ungkapnya.

Dia mencontohkan, mental seseorang diibaratkan sebagai karet.

Dalam kehidupan nyata, karet itu biasanya dimelarkan hingga sepanjang-panjangnya namun akhirnya terputus juga.

Baca juga: 5 Bahan Alami untuk Sakit Kepala dan Baik untuk Kesehatan

Itu sama dengan kapasitas mental manusia.

Nah ketika mental sudah rapuh tersebut sudah rusak, mereka terkadang mencari jalan alternatif salah satunya adalah bunuh diri ini.

Bunuh diri dianggap sebagian orang sebagai alternatif bagi dirinya sendiri, padahal sudah jelas tidak sama sekali.

 Peristiwa bunuh diri ini sangat merugikan lingkungan sekitarnya, seperti keluarga yang ditinggalkan.

Sebenarnya mereka justru egois karena ingin menyelesaikan masalahnya sendiri saja.

"Sayangnya, masyarakat masih tabu untuk berkonsultasi ketika menemukan masalah. Itu sangat disayangkan sekali, sehingga masyarakat diharapkan berkonsultasi. Dengan begitu nantinya kita akan mencari solusi bersama," ungkapnya.

Bagaimana dengan tingkat depresi sepama pandemi ini?

Dokter spesialis kesehatan jiwa ini menuturkan saat ini banyak masyarakat yang justru merasa cemas (ansietas).

Kecemasan tersebut muncul lantaran ketidaksiapan situasi dan kondisi pandemi saat ini yang tidak ada kepastiannya kapan akan selesai.

Saat ini masyarakat sedang berhadapan dengan tingkat kecemasan tinggi.

Pertama, mereka belum melihat tanda-tanda Covid-19 akan berakhir.

Baca juga: Air Kelapa untuk Kesehatan, Kurangi Risiko Asam Lambung Hingga Cegah Gangguan Jantung dan Ginjal

Kedua, masyarakat masih belum mengerti apa yang harus dilakukan di tengah pandemi ini.

Sementara itu, rata-rata mereka yang mengalami kecemasan di usia 40-60 orang atau usia produktif.

Tingkat konsultasi di masa pandemi ini justru meningkat cukup signifikan hingga 40-60 persen dibandingkan sebelum pandemi.

Dengan kondisi tersebut, ia mengimbau kepada seluruh masyarakat agar tidak terlena dengan kondisi tersebut.

Seharusnya masyarakat mencari solusi atau mencari apa yang dilakukan untuk mengurangi masalah atau tingkat kecemasannya.

"Kita contohkan solusi yang bisa dilakukan adalah soal pertanian. Ketika misalnya ada warga yang memiliki lahan namun tidak terpakai, bisa dialihkan atau dimanfaatkan oleh warga lain daripada tidak terawat. Kuncinya komunikasi saja. Tanaman yang bisa saat ini mungkin Porang itu karena tidak merusak tanaman induknya. Artinya porang ini memanfaatkan lahan yang kurang produktif," jelasnya.(*)

Artikel lainnya di Kesehatan

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved