Berita Bali
Empat Jam Raup Rp 80 Ribu, Remaja Ini Ngamen di Denpasar Pakai Udeng untuk Hidupi Anak Istri
NB (16) diamankan di Kantor Satpol PP Kota Denpasar, Selasa 28 September 2021.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Putu Dewi Adi Damayanthi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - NB (16) diamankan di Kantor Satpol PP Kota Denpasar, Selasa 28 September 2021.
Pria yang masih berusia remaja ini diamankan saat mengamen di simpang Jalan Gatot Subroto-Jalan Nangka dengan menggunakan pakaian adat Bali.
NB mengamen bersama dua rekannya yakni IMA (11), IKIW (15) yang sama-sama berasal dari Desa Tianyar, Kecamatan Kubu, Karangasem.
Menurutnya, ia baru mengamen, seminggu lalu. NB juga mengaku sudah memiliki seorang istri dan anak usia 9 bulan.
Baca juga: Ikut Ngamen Mengenakan Udeng di Denpasar, Saiful dan Nito Dipulangkan ke Situbondo Jawa Timur
Kadang anak istrinya ia ajak mengamen ke pinggir jalan.
Dengan menggunakan pakaian adat dan berbekal sound lepas dalam 4 jam ia bisa meraup Rp 80 ribu.
"Dapat kadang Rp 50 ribu kalau sepi, bisa juga Rp 80 ribu kadang lebih. Waktu ngamennya 4-5 jam per hari," kata NB.
Di Denpasar, ia kos bersama anak istrinya di Jalan Kusuma Bangsa 2 denganmembayar Rp 400 ribu per bulan.
“Saya sudah dua tahun tinggal di Denpasar. Sebelumnya jadi buruh proyek, tapi sekarang sepi,” katanya.
Sebelum mengamen ke jalan, dia sempat mengamen di kawasan Pasar Pidada.
Namun oleh pengelola pasar, dia tak diizinkan mengamen di pasar sehingga turun ke jalan.
Untuk mengamen, dia mengeluarkan modal Rp 600 ribu untuk membeli sound system jinjing kecil.
Menurutnya, dia meminjam uang untuk membeli sound system tersebut.
“Saya pinjam uang untuk beli itu dan sekarang belum balik modal,” akunya.
Dia mengaku menikah saat berumur 15 tahun.
Datang ke Denpasar sejak dua tahun lalu dengan harapan bisa hidup lebih baik ketimbang hidup di kampung. Sementara itu, dua temannya yakni IMA (11), IKIW (15) tidak sekolah.
IKIW (15) biasanya mengikuti sekolah pasar di Pasar Badung, Denpasar, Bali.
Menurut pengakuannya, dirinya diam-diam ikut mengamen tanpa sepengetahuan pihak penyelenggara sekolah pasar.
Kasatpol PP Kota Denpasar, I Dewa Gede Anom Sayoga mengatakan, tiga pengamen maudeng tersebut diamankan di simpang Jalan Gatot Subroto-Jalan Nangka.
Sayoga mengatakan, terkait keberadaan pengamen maudeng ini pihaknya sempat melakukan koordinasi dengan tetua desa adat.
Namun mereka mengaku kesulitan memantau warganya.
"Katanya alasannya menjenguk keluarga sakit di Denpasar. Jadi sulit melarang karena alasannya rasional," katanya.
Ia mengatakan, fenomena mengamen dengan pakaian adat Bali tak hanya dilakukan oleh orang Bali.
Dia juga sempat mengamankan dua orang yang berasal dari Jawa.
"Kami dapat amankan dua orang menggunakan pakaian adat. Saat kami tanya asalnya dari Banyuwangi dan Situbondo," katanya.
Sayoga menambahkan, titik-titik yang sering dijadikan tempat mengamen maupun menggelandang yakni Simpang Pidada, Pesanggaran, perempatan Sanur, dan perempatan Tohpati.
Sayoga mengaku pihaknya sudah berupaya menyalurkan beberapa pengamen maupun gepeng untuk bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga maupun tukang kebun.
Namun mereka tidak betah dan memilih kembali ke jalan.
Baca juga: Perbekel Tianyar Tengah Karangasem Akan Nasehati Nengah Bayung, Ditertibkan Saat Ngamen di Denpasar
Selain mengamankan 3 pengamen memakai udeng, juga mengamankan 4 pengemis dan gelandangan.
Dua pengemis tersebut masih di bawah umur.
Belakangan ini di beberapa titik di Kota Denpasar ditemukan beberapa pengamen menggunakan pakaian adat.
Mereka menggunakan pakaian adat lengkap dengan udeng, kemben dan anteng.
Selain itu mereka juga membawa sound jinjing kecil dan menyanyikan lagu Bali.
Kebanyakan pengamen tersebut berasal dari Kabupaten Karangasem.
Ternyata aksi ini juga ditiru oleh pengamen yang berasal dari luar Denpasar.
Satpol PP Kota Denpasar mengamankan dua pengamen luar Bali yang berpakaian adat.
Keduanya yakni Saiful Santoso (42) dan Nito (33) asal Situbondo Jawa Timur.
“Ternyata bukan orang Bali saja yang pakai udeng, ada juga dari luar. Kami curiga karena dia memakai udeng dan kemben asal-asalan dan suaranya medok. Setelah kami amankan ternyata memang dari luar,” kata Sayoga.
Sayoga menduga, mereka ikut menggunakan udeng karena mengikuti tren yang terjadi saat ini.
Dengan menggunakan ‘kearifan lokal’ pihaknya juga menduga akan lebih menarik simpati masyarakat.
Setelah diamankan dan didata, kedua pengamen ini diserahkan ke Dinas Sosial untuk diproses pemulangannya ke daerah asalnya.
“Kami teruskan ke Dinas Sosial tadi pagi bersama lima orang gelandangan dan pengemis lainnya. Setelah kami proses 7 orang tersebut, kami jaring lagi 7 orang gepeng dan pengamen,” katanya.
Sejak Januari hingga September 2021, Satpol PP Kota Denpasar telah mengamankan 273 pengamen, gepeng, pengasong, hingga orang terlantar.
Rinciannya yakni Januari 33 orang, Februari 10 orang, Maret 24 orang, April 47 orang, Mei 33 orang, Juni 47 orang, Juli 25 orang, Agustus 12 orang, September 42 orang.
Terkait fenomena tersebut, Kepala Satpol PP Provinsi Bali, Dewa Nyoman Dharmadi menyebutkan, pihaknya sudah mengambil beberapa langkah untuk mengantisipasi maraknya hal tersebut.
Salah satunya dengan melakukan koordinasi antarlembaga, di kabupaten/kota maupun di lingkungan Pemprov Bali.
Hal ini karena sesuai instruksi Gubernur Bali, Wayan Koster menurutnya para pengamen, gelandangan, dan gepeng tersebut diminta dibina.
"Jadi maraknya pengamen, gepeng, yang bertebaran lah di prapatan jalan-jalan besar kita sudah sempat koordinasikan dengan Dinas Sosial, Satpol PP Denpasar dan Badung untuk antisipasi, termasuk juga bukan mengambil alih tapi mencoba sesuai arahan Pak Gubernur untuk menindaklanjuti pembinaan," katanya, Selasa.
Dewa Dharmadi menyebutkan, setelah mengamankan para pengamen, gelandangan, dan gepeng, pihaknya langsung mendata untuk segera dilakukan koordinasi dengan daerah asalnya.
Tidak hanya itu, pihaknya juga telah menyiapkan berbagai pelatihan-pelatihan keterampilan kerja maupun UMKM kepada para pengamen, gelandangan, dan gepeng.
Terkait dengan pelatihan tersebut, ia menjelaskan jika nantinya mereka akan ditampung di asrama yang dimiliki Dinas Sosial di wilayah Pemogan, Denpasar Selatan.
Sedangkan, para pelatihnya berasal dari Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali.
Psikolog: Anaknya Tidak Ingin Ikut
PSIKOLOG UPTD PPPA Kota Denpasar I Putu Galang Darma Putra S mengatakan, ada tiga aspek yang menyebabkan anak tersebut ikut turun ke jalan.
Pertama, aspek biologis karena terdesak kebutuhan dasar, seperti makan, termasuk ekonomi.
Kedua, aspek psikologis karena terdesak dalam hal ekonomi, maka muncul rasa tidak nyaman dan aman.
“Karena keadaan ekonomi mereka tidak terpenuhi, maka mereka merasa tidak aman dan nyaman, itu termasuk pada aspek psikologis,” kata Galang.
Ketiga, aspek sosial karena adanya ajakan dari teman maupun orangtua.
Apalagi banyak anak yang berasal dari satu daerah yang sama ikut menggepeng ataupun menjadi pengasong.
“Ada ajakan dari temannya dan juga orangtua. Bahkan ada orangtua lain yang menitipkan anaknya, sehingga mereka juga diajak menggepeng. Apalagi menurut pengakuannya banyak anak dari desanya yang juga melakoni hal itu,” katanya.
Selain itu, menurutnya sebagian anak kecil akan merasa nyaman saat bersama orangtuanya, meskipun diajak untuk menggepeng ketimbang tinggal di rumah sendiri.
“Padahal saat ditanya sebenarnya anak ini tidak ingin melakoni hal ini, tapi karena diajak ibunya maka mereka merasa lebih nyaman,” katanya.
Selain memberikan konseling kepada anaknya, dirinya juga memberikan konseling dan edukasi kepada orangtuanya.
“Kami berikan penyadaran bahwa anak kecil itu tugasnya bermain dan belajar, bukan bekerja. Bahkan saya tanya orangtuanya, dia tidak tahu berapa umur anaknya. Jadi kesadaran administrasinya juga rendah,” katanya. (sup/gil)
Kumpulan Artikel Denpasar